Friday, November 11, 2016

10 Cara Busuk untuk Menggagalkan Kemenangan Ahok

DUNIA HAWA - Pertarungan Pilkada DKI 2017 akan tercatat sebagai Pilkada DKI paling kotor dalam sejarah. Kubu Anti Ahok menghalalkan segala cara untuk menggagalkan kemenangan Ahok untuk terpilih menjadi Gubernur DKI 2017-2022. Mereka rela memanipulasi ayat Al Quran, menyebarkan kebohongan di media sosial, merekayasa survei, sampai melakukan ancaman fisik.


Berikut adalah sepuluh hal yang setidaknya tercatat sampai saat ini:

1. Menyebarkan kebohongan bahwa Al Maidah 51 memuat larangan memilih pemimpin Nasrani, padahal, sebagaimana bisa dibaca dalam terjemahan resmi Al Quran yang dikeluarkan Departemen/Kementerian Agama di Indonesia, Al Maidah 51 tidak memuat larangan memilih pemimpin Nasrani. Ini bisa dibilang sebagai kejahatan paling dahsyat karena melibatkan para ulama yang begitu saja mengabaikan fakta bahwa dalam terjemahan resmi yang diakui di Indonesia, tidak ada larangan memilih pemimpin Nasrani dalam Al Maidah. Imam Masjid Agung Istiqlal Prof. Nasaruddin Umar sebenarnya sudah mengungkapkan bahwa umumnya terjemahan Al Quran di dunia internasional pun tidak memuat kata ‘pemimpin’ dalam Al Maidah 51. Namun ini sama sekali diabaikan oleh para ulama anti Ahok, termasuk MUI, yang berkeras bahwa Allah sudah eksplisit melarang umat islam memilih pemimpin Nasrani.

2. Menyebarkan kebohongan di media sosial sehingga seolah-olah Ahok di Pulau Seribu pernah menyatakan “dibohongi oleh Al Maidah 51”. Ini dimulai oleh Buni Yani, dosen di London School of Public Relations (yang kini diberhentikan atau mengundurkan diri), yang melalui status FaceBook-nya mengedit pernyataan Ahok yang asli, sehingga menimbulkan kesan yang salah. Pertanyaan Ahok asli adalah: “dibohongi pakai Al Maidah 51” yang kemudian diubah menjadi “dibohongi Al Maidah 51”. Status ini kemudian disebarluaskan, walau sudah berulangkali diungkapkan bahwa teks itu bohong.

3. Menyerang ulama senior seperti Mantan Ketua PP Muhammdiyah Ahmad Syafii Ma’arif hanya karena sang ulama secara konsisten membela Ahok. Buya Syafii dimaki-maki, dilecehkan, dituduh sebagai orang dekat Ahok dan dibayar hanya karena ada foto yang menampilkan mereka berdua makan bersama, bahkan dianggap tidak lagi pantas menjadi orang Minang karena pembelaannya terhadap Ahok.

4. Mengancam kubu Ahok yang hendak bertemu langsung dengan rakyat di masa kampanye. Ini berulangkali dilakukan dan diketahui bahwa umumnya apa yang dikatakan sebagai ‘aksi penolakan warga’ itu sebenarnya dirancang dan dikoordinasi oleh orang-orang di luar daerah itu.

5. Menggelar unjuk rasa dengan judul “Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI” yang seolah-olah damai dengan biaya Rp 100 Miliar. Lucunya, walau aksi ini bernama Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI, Fatwa MUI tersebut tidak pernah ada.

Para pegiat unjuk rasa berusaha keras membangun citra bahwa kegiatan itu damai, namun laporan dari lapangan menunjukkan bahwa di sepanjang aksi terus terlihat pernyataan penuh kebencian dan ancaman untuk melakukan aksi melawan hukum. Kerusuhan di malam hari pecah antara lain karena mereka menuntut agar Ahok ditangkap saat itu juga, atau peserta unjuk rasa akan terus bertahan sampai permintaan mereka dipenuhi. Mereka juga siap dengan kelompok lapangan yang menggunakan kekerasan fisik.

Aksi sebesar ini pun hampir pasti didanai kelompok tertentu, walau berulangkali dikatakan oleh kelompok pelaku aksi bahwa kegiatan itu mereka danai sendiri. Ketua Gerakan sendiri, Bachtiar Nasir, menyatakan mereka disubsidi Rp 100 Miliar.

6. Mengancam rumah Ahok. Pada 4 November tersebut, aparat keamanan berhasil mencegah adanya kelompok-kelompok sipil yang berusaha mendatangi dan menyerang rumah Ahok.

7. Membuat survei abal-abal yang menujukkan suara dukungan terhadap Ahok sudah didekati suara dukungan terhadap Agus Yudhoyono atau  Anies Baswedan.

8. Membangun suasana ketakutan dan mengancam, termasuk menjatuhkan Jokowi, dengan harapan Ahok akan mundur dari pertarungan Pilkada demi kepentingan stabilitas.

9. Melibatkan kelompok-kelompok yang seolah datang dari Universitas terkemuka, seperti Universitas Indonesia, lengkap dengan atribut jaket kuning dan lambang UI; padahal kelompok-kelompok itu sama sekali tidak dikenal dalam lingkungan UI sendiri. Sebagai contoh, tiba-tiba saja adanya organisasi bernama Perhimpunan Ikatan Alumni UI yang mendukung gerakan anti Ahok, padaha lembaga resmi alumni UI yang dikenal dan diakui di lingkungan UI adalah ILUNI (tanpa Perhimpunan).

10. Memobilisasi media massa seperti grup MNC, yang pemberitaannya memuat narasi-narasi yang mengesankan ancaman dan teror agar Ahok segera diamankan. Grup MNC setiap hari menyajikan berbagai berita yang tidak sekadar menampilan fakta melainkan dipenuhi dengan kesimpulan-kesimpulan tendensius.

[ade armando via madinaonline]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment