DUNIA HAWA - Beginilah surat terbuka Anton Medan, seorang mantan napi yang kini menjadi mualaf kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) :
Pak Gubernur Yth.
SAYA memang bukan warga asli Jakarta, tapi kita sama-sama berasal dari etnis yang sama, Tionghoa. Meski lahir di Tebing Tinggi, tapi saya telah merasakan kerasnya hidup di ibu kota selama puluhan tahun.
Saya juga bukan orang yang suci untuk mengomentari Koh Ahok, saya hanya mantan perampok dan bandar judi yang kini telah insaf dan memeluk agama Islam.
Saya ingat betul beberapa bulan sebelum pesta demokrasi Pemilu Presiden 2014, Koh Ahok berkata kepada saya, “Koh Anton, tolong jelaskan kepada saya, syahadat itu apa?”. Mendengar hal itu, perasaan saya seperti naik roller coaster, rasa haru serta macam-macam rasa yang lain tercampur jadi satu.
Saya juga masih ingat, ketika Koh Ahok masih mendampingi Joko Widodo yang kala itu masih duduk di kursi nomor satu Jakarta menanyakan masjid di Balai Kota. Pada waktu itu saya katakan, “Balai Kota DKI kok tidak ada masjid” dan Koh Ahok pun terkaget-kaget. “Apa iya?” timpal koh Ahok saat itu. Koh Ahok pun lantas memerintahkan untuk membangun masjid di Balai Kota DKI.
Kita semua tahu, selama puluhan tahun DKI tidak memiliki masjid raya atau masjid agung (masjid besar), namun saat Koh Ahok menjabat sebagai wakil orang yang kini duduk teratas di Indonesia, Koh Ahok mengusahakannya, dan dibangunlah Masjid Raya DKI Jakarta di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat.
Sempat disayangkan saat Pak Jokowi menjadi presiden dan Koh Ahok menjadi penggantinya, muncul demonstrasi besar-besaran menolak Koh Ahok, dengan alasan karena tidak beragama Islam. Oknum-oknum orang Islam tertentu pun memaki-maki Koh Ahok di depan umum. Lalu muncul pula istilah ‘mulut comberan’ sebagai ungkapan untuk menunjukkan kebencian mereka terhadap Koh Ahok.
Terus terang, waktu itu saya langsung teringat kata-kata Gus Dur yang mengatakan, walaupun keluar dari pantat ayam, kalau telur, ambil. Maka, saya katakan juga, walaupun di comberan, kalau berlian, ambil.
Sebagai sesama turunan Tionghoa, semua orang tahu kalau saya dan Koh Ahok memiliki kedekatan. Saya ingat 6 tahun yang lalu, saat Koh Ahok bercerita ingin mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI melalui jalur independen. Targetnya waktu itu hanyalah, bisa tercatat pernah menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Saya pun membantu Koh Ahok dan ikut dalam pertemuan dengan berbagai elemen masyarakat.
Eh, dasar memang rezekinya, Koh Ahok malah dicalonkan sebagai wakil gubernur dan berpasangan dengan Joko Widodo, yang kemudian membawa Koh Ahok menjadi Gubernur DKI definitif. “Rezeki enggak akan ke mana”.
Jika kita ingat masa-masa sering ‘curhat’ dulu, Koh Ahok pun pernah bercerita kepada saya, ketika masih duduk di bangku SD dan SMP, Koh Ahok bersekolah di sekolah Islam. Tetapi, sayang tidak bisa ikut mengaji karena tidak boleh masuk masjid.
Mendengar hal itu saya bukan kaget, tetapi bingung. Bagaimana tidak, sedangkan dulu Nabi Muhammad ketika membangun Madinah dan memimpin pemerintahan dengan lebih 70 golongan, beliau tidak membangun balai pertemuan khusus, selain masjid. Namun, sebagai seseorang yang tidak memeluk Islam dari lahir, mohon dikoreksi jika saya keliru dan ada yang lebuh mengetahui perihal itu.
Saat terakhir pertemuan kita, saya ingat pernah bertanya kepada Koh Ahok, “Hok, gua nggak ingin lu masuk Islam waktu jadi gubernur. Nanti dibilang orang pencitraan”. Tapi Koh Ahok malah menimpali, “Tapi kalau hidayah datang, siapa yang bisa menghalangi?” Subhanallah. Mendengar itu saya hanya bisa diam terpaku.
Jika kita semua ingat, saat mengawal Republik Indonesia yang berdasar Pancasila, Agus Salim yang ketika itu menjadi Menteri Luar Negeri dan sedang berada di luar negeri secara tegas menyatakan identitasnya bahwa dirinya adalah orang Indonesia yang beragama Islam.
Pernyataan itu perlu dihayati dengan kesadaran keagamaan yang mendalam. Bangsa Indonesia dengan mayoritas umat Islam telah bersepakat mendirikan negara dengan dasar Pancasila. Bahkan dalam persiapan menuju kemerdekaan, muncul semacam aksioma, “Seseorang tidak punya bangsa apa artinya, sebuah bangsa tidak punya negara apa artinya, dan seseorang tak punya negara bisa berbuat apa untuk agama.”
Merujuk kekhasan perjuangan Islam yang rahmatan lil alamin, ada trilogi, Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Basariyah, dan Ukhuwah Wathoniyah (persaudaran Islam, persaudaraan kemanusiaan, dan persaudaraan kebangsaan). Sedangkan kalau ada trilogi lain dengan kebencian, seperti misalnya “Negara Islam, negara musuh, dan negara non-Muslim yang mengadakan perjanjian damai” itu sangatlah bertentangan dengan jiwa Bangsa Indonesia.
Perli diingat, sesungguhnya Islam yang bersenyawa dengan kultur bangsa Indonesia adalah teladan dunia. Mengawal negara yang berdasar Pancasila dengan perjuangan Islam rahmatan lil alamin tanpa kebencian, adalah sangat utama. Sehingga, siapa pun orang Indonesia berkewajiban mengawal Republik Indonesia yang berdasar Pancasila.
Wajar, dan bahkan seharusnya, jika saat ini masyarakat mengapresiasi orang seperti Koh Ahok, yang siap bertaruh nyawa untuk membangun Indonesia khususnya DKI Jakarta, menjadi lebih baik, yang ditunjukkan dengan satunya pikiran, ucapan, dan tindakan.
Umat Islam mengemban amanah, mengembangkan, dan mengamalkan konsep Iman-Islam-Ihsan. Jangan malah Ihsan diganti dengan panjang umur murah rezeki. Dan apabila kita berpikir dan berperasaan secara Islam, Insya Allah, kita layak menyebut Koh Ahok sebagai salah seorang patriot bangsa Indonesia yang Islami, meskipun dia non-Muslim.
Salam hormat,
Anton Medan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (DPP PITI).
suaranetizen
No comments:
Post a Comment