Saturday, October 22, 2016

Santri: Dari Pesantren Untuk Bangsa dan Agama


DUNIA HAWA - Santri adalah siswa pesantren, salah satu (atau mungkin satu-satunya) institusi pendidikan Islam tertua di Jawa. Penggagasnya adalah para kiai-Jawa yang kelak banyak bergabung di ormas Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Ada yang bilang lembaga dan sistem pendidikan pesantren itu dipengaruhi oleh tradisi Budha. Ada pula yang mengatakan dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan cara belajar-mengajar di Masjidil Haram, Makah. Apapun sejarah dan asal-usul pembentukannya, yang jelas pesantren memiliki kontribusi sangat besar bukan hanya bagi perkembangan Islam saja tetapi juga bagi bangsa, negara, dan umat pada umumnya. 

Para santri di pesantren-pesantren tradisional NU tidak hanya diajari mengaji tetapi juga mengkaji Al-Qur’an dan kitab-kitab keislaman klasik. Para santri bukan hanya dididik untuk memperdalam keimanan dan ilmu-ilmu keislaman tetapi juga bertoleransi dengan masyarakat sekitar. Pesantren bukan hanya sebatas institusi pendidikan saja tetapi juga lembaga pemberdayaan masyarakat yang turut terlibat dalam penanganan problem-problem sosial keumatan. 

Pesantren bahkan bukan hanya “tempat pengajian” saja tetapi juga benteng pertahanan umat dari penjajahan Belanda dan Jepang. 
Jelasnya, santri bukan hanya diajari untuk membela agama saja tetapi juga membela umat manusia, bangsa dan negara kita tercinta.

Dulu, pada zaman penjajah, kiai dan santri bersama para komponen bangsa lain, berkobar-kobar melawan bangsa kolonial untuk mempertahankan Tanah Air tercinta. Perang Jawa, Pemberontakan Banten, dan sejumlah perlawanan sengit melawan Belanda dan Jepang di sepanjang Pulau Jawa di awal abad ke-20 adalah tidak lepas dari pengorbanan dan perjuangan para santri ini. 

Kiai Abdul Karim menjadi salah satu penggerak utama “Pemberontakan Banten” pada 1888, Kiai Mojo alias Kiai Muslim Muhammad Khalifah, salah satu putra dari Kiai Khatib Imam Arif yang juga guru Pangeran Diponegoro, selain Kiai Hasan Besari, menjadi “ruh spiritual” dalam Perang Jawa, sementara Kiai Hashim Asy’ari (kakek Gus Dur) menjadi motor Resolusi Jihad dan inspirator Bung Tomo. 

Karena itu para santri tentu saja tidak akan terima jika Negara Indonesia beserta fondasi kenegaraan bangsa yang sudah dengan susah payah mereka perjuangkan itu kemudian dilecehkan seenak perutnya sendiri oleh para ormas Islam anyaran “kacung kampret” yang sama sekali tidak memiliki kontribusi kesejarahan atas pendirian bangsa ini. Tentu saja para santri tidak terima atas propaganda politik HTI untuk mengganti Pancasila dengan sistem politik khilaf bernama Khilafah, atau kaum “Salafi ekstrim” yang ingin mengubah dasar-dasar kenegaraan dengan sistem politik-pemerintahan “bermerk Islam”. Santri tidak terima karena mereka tahu kalau umat non-Muslim juga turut berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajah.  

Bagi santri, membela negara bukan berarti mengabaikan agama seperti yang biasa dituduhkan oleh “kaum unyu-unyu”. Justru dengan perjuangan membela negara dari tangan-tangan kolonial penjajah itulah, umat agama bisa dengan leluasa mengekspresikan nilai-niai keagamaan dan mempraktekkan ajaran-ajaran keislaman. 

Jika sekarang, para pendatang baru dan “pecundang kesiangan” semacam HTI dkk bisa mendompleng kayak “upil” di Negara Indonesia ini, antara lain, karena jasa para kiai dan santri. Sungguh aneh bin ajaib jika kemudian “mereka” malah mengatakan para kiai-pahlawan dan pejuang bangsa itu telah wafat sia-sia. Sudah “ngupil” gak tahu diri pula. 

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment