Thursday, October 13, 2016

Polemik Ahok, Semangat Agama atau Semangat Politik?


DUNIA HAWA - Diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) yang digelar oleh salah satu stasiun televisi swasta yang membahas soal kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta sekaligus petahana di Pilkada Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok semakin berbuntut panjang. Kondisi ini terjadi karena adanya silang pendapat antara kelompok yang menganggap bahwa Ahok telah melakukan tindak penistaan agama dengan menyatakan “dibodohi pake surat al-Maidah 51 dan macem-macem…” dan kelompok lain yang menganggap ada unsur kesengajaan dari lawan politik Ahok untuk menyebar fitnah dan kebencian yang dipolitisir sedemikian rupa melalui pernyataan Ahok yang tersebar luas melalui berbagai akun di media sosial.

Saya menyebut adanya dua kutub politik karena masing-masing dari kelompok ini adalah mereka yang secara politik pendukung dan non pendukung calon petahana. Bagi non pendukung petahana, pernyataan Ahok yang menyetir surat al-Maidah 51 saat kunjungan kerja dirinya ke Kepulauan Seribu serasa menjadi amunisi baru untuk menjatuhkan kredibilitas petahana dengan momentum yang sangat tepat. 

Rasa kebencian yang sudah tertanam sejak awal bagi mereka yang memang kontra Ahok bak gayung bersambut dengan cepat menggunakan pernyataan Ahok sebagai bentuk propaganda mereka dalam membangun image di masyarakat bahwa Ahok bersikap intoleran bahkan telah dianggap menghina dan melecehkan ulama serta agama Islam. 

Disisi lain, kelompok politik pendukung petahana tetap beranggapan bahwa pernyataan Ahok selama kunjungan kerja resminya adalah hal biasa dan tidak ada unsur penistaan terhadap agama.

Pro-kontra mengenai pernyataan Ahok ini justru tambah diperumit oleh hadirnya berbagai tokoh agama Islam yang justru memiliki latar belakang pemahaman keagamaan secara berbeda. Saya melihat, ada unsur keagamaan Islam dengan latar belakang berbeda seperti unsur NU dan  Muhammadiyah. Unsur NU-pun nampaknya bisa diwakili oleh kalangan NU “liberal” dan NU “konservatif”, Muhammadiyah-pun nampak sama mewakili kedua model seperti yang ada pada organisasi NU. 

Sebagaimana diketahui, NU “konservatif” diwakili oleh salah satu mustasyar-nya yaitu KH Saifuddin Amsir yang dikenal sebagai ulama berpengaruh di Jakarta. KH Saifuddin nampak memberi komentar yang tajam dan kritis terhadap kondisi polemik pernyataan Ahok. 

Tidak secara langsung kyai betawi ini “menghukumi” Ahok, tetapi lebih ke arah penyadaran agar umat selalu introspeksi dengan kondisi kebangsaan yang dinilai kisruh ini. Ahok bagi kyai Amsir bukanlah sosok yang harus dikagumi secara berlebihan karena masih banyak di Indonesia sosok-sosok lain yang lebih dapat dilihat sebagai calon pemimpin ketimbang terus menerus membela Ahok.

Kalangan NU “liberal” yang diwakili juga oleh salah satu pengurus suriyah PBNU, KH Ishomuddin nampak lebih terlihat “ambigu” ketika berupaya memposisikan dirinya untuk netral terhadap polemik pernyataan Ahok. KH Ishomuddin justru lebih melihat secara lebih besar kepada persoalan hubungan yang harus terbangun secara kemanusiaan dimana konsep ukhuwah basyariyah harus lebih dikedepankan dalam memandang polemik soal Ahok. Kalaupun Ahok disaat mengeluarkan pernyataannya disengaja, maka ia telah berbuat dzalim kepada umat dan kedzaliman dapat terselesaikan melalui bentuk nyata saling memaafkan. 

Kyai satu ini justru merasa bahwa tidak ada unsur kesengajaan yang dilakukan Ahok ketika membuat pernyataan tendensius kepada agama Islam. KH Ishomuddin nampaknya sangat kental membawa paradigma pluralisme yang cenderung liberal dengan menganggap bahwa semua manusia terlahir dalam “fithrah”nya masing-masing.

Kalangan muda Muhammadiyah yang melaporkan kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok nampak terlihat cenderung berparadigma konservatif dalam memandang soal polemik ini. Dahnil Anzar yang merupakan Ketua Pemuda Muhammadiyah tetap berkomitmen untuk mengawal proses hukum yang saat ini sedang dalam proses pengumpulan bukti-bukti dan saksi yang didalami pihak kepolisian. 

Danhil menganggap bahwa ketika terjadi perbuatan yang mencederai konteks keberagamaan dalam masyarakat maka perlu ditindaklanjuti secara hukum karena perbuatan ini jelas mengancam kehidupan keberagamaan yang ada dalam masyarakat. Artinya, bahwa meskipun Ahok sudah meminta maaf kepada publik soal perbuatannya, namun proses hukum tetap harus dilanjutkan sebagai efek jera karena telah membuat kondisi keberagamaan menjadi tidak kondusif.

Sikap konservatisme lainnya lebih terlihat menonjol ketika MUI memberikan paparan soal polemik Ahok. MUI secara tegas memberikan pendapatnya sesuai dengan kesepakatan hasil kajian bersama unsur-unsur yang ada didalamnya, bahwa Ahok telah melakukan penistaan terhadap agama Islam. Hal ini dijelaskan dengan dasar pernyataan Ahok yang seakan-akan sengaja menghina ulama sebagai penafsir al-Quran dan juga kitab suci al-Quran itu sendiri sebagai pedoman umat Islam. 

Pihak MUI yang diwakili oleh KH Tengku Zulkarnain membacakan 5 sikap berupa pendapat keagamaan MUI yang salah satunya menghukumi Ahok sebagai orang yang telah melakukan penistaan terhadap ulama dan agama Islam. MUI menyisir dua kata, yaitu “dibohongi” dan “dibodohi” yang dikaitkan dengan surat al-Maidah yang secara sengaja diucapkan Ahok. Ditambah lagi bahwa ada upaya terselubung sebagai bagian dari mencuri start kampanye yang dilakukan Ahok disaat kunjungan kerja dirinya sebagai gubernur DKI Jakarta ke Kepulauan Seribu.

Sikap yang lebih bijak nampaknya ditunjukkan oleh Buya Syafi’i Ma’arif, salah satu mantan ketua PP Muhammadiyah, agar umat tidak berlarut-larut dalam kubangan konflik yang justru akan memicu kebencian lebih besar yang justru dapat menghancurkan sendi-sendi keberagaman masyarakat . Buya Syafi’i beralasan bahwa Ahok bukanlah sosok yang dinilai oleh sebagian orang sebagai pribadi yang negatif yang secara sengaja memicu konflik dan akan memecah-belah persatuan bangsa ini. “Ahok bukan orang jahat” demikian penggalan kalimat Buya ketika ditanya soal polemik Ahok yang dianggap telah menistakan agama. 

Bagi saya, Buya nampaknya cenderung tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam soal polemik ini, karena ketika para agamawan atau tokoh masyarakat terlibat terlalu jauh, maka permasalahan ini justru akan semakin membesar sehingga pada akhirnya sulit ditemukan solusinya. Nampak sekali bahwa ungkapan-ungkapannya dalam hal menyikapi polemik soal Ahok ini, semakin menunjukkan kematangan berpikir dan bersikap sebagai sosok guru bangsa yang cenderung menjauhi konflik dan memberikan hal-hal yang solutif kepada umat.

Asumsi saya adalah justru polemik soal penistaan agama oleh Ahok ini bercampur-baur antara semangat keagamaan dan semangat politik. Hanya saja nuansa politisnya lebih kental karena serasa berhadap-hadapan antara pendukung dan non pendukung petahana ditengah memanasnya kontestasi Pilkada Jakarta. Kuatnya arus desakan masyarakat yang resistensi terhadap Ahok justru menjadi pemicu utama dalam menyikapi soal polemik ini. Semangat keagamaan yang dimunculkan seakan-akan hanyalah salah satu bentuk pembenaran yang “legal” untuk menjegal Ahok di Pilkada Jakarta. 

Walaupun demikian, semangat politik yang ditunjukkan oleh para pendukung petahana juga terlampau “subjektif” sehingga terkadang rasionalisasi pembelaan terhadap Ahok hanyalah dorongan kepentingan politik tanpa memandang objektivitas persoalannya. Saya kira, sikap objektif dalam memandang polemik ini didasarkan pada asumsi causalitas bahwa Ahok memang melakukan kesalahan dan dia harus tegar dan siap mempertanggungjawabkan seluruh konsekuensinya.  

Wallahu a'lam bisshawab

[syahirul alim]


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment