DUNIA HAWA - Saat membaca komenltar 'duet sumbang' Fahry Hamzah dan Fadli Zon dua wakil ketua DPR RI atas kehadiran Presiden Jokowi ke Kementerian Perhubungan terkait OTT pelaku pungli, timbul pertanyaan aneh di kepala, "Sejak kapan Fahri Hamzah dan Fadli Zon merangkap kerja jadi petugas protokoler yang mengatur kunjungan presiden ke suatu tempat?"
Ini mungkin pertanyaan nyinyir, sama nyinyirnya dengan pernyataan kedua wakil ketua DPR itu. Tapi meski nyinyir setidaknya pertanyaan soal alih profesi atau tambahan profesi sebagai petugas protokoler oleh kedua orang terhormat itu masih mendapat pembenaran. Alasannya sederhana, keduanya kan mengatur-atur kunjungan presiden ke suatu tempat. Itu biasanya dilakukan petugas protokoler.
Nah, mari kita perhatikan pernyataan keduanya dengan seksama agar bisa merenungi dan menangkap udang di balik batunya.
FAHRI HAMZAH: "Tak ada urgensinya presiden hadir OTT di Kemenhub terlebih uang pungli yang disita hanya puluhan juta. Itu hanya gejala dan bisa terjadi di mana-mana, di RT, di desa juga ada. "Apa presiden mau keliling 73 ribu desa untuk ngurusin uang puluhan juta".
FADLI ZON: Pemberantasan pungli seharusnya dilakukan secara sistemik. Presiden merumuskan roadmap serta aturan yang jelas. Kehadiran Presiden di lokasi tangkap tangan tak ada urgensinya. "Kehadiran Presiden itu jika ada kejadian yang luar biasa sehingga kehadirannya itu membuat orang gagal fokus. Gagal fokusnya itu, orang akan bertanya, ini mau menutupi isu apa?" (kompas.com, 11/10/2016)
Jadi baik menurut Fahri Hamzah maupun Fadli Zon, kehadiran Presiden Jokowi ke lokasi OTT di Kementerian Perhubungan tidak ada urgensinya. Sebabnya, kata Fahri, pungli itu baru gejala dan uangnya juga hanya puluhan juta. Fadli Zon menilai kunjungan itu membuat orang gagal fokus dan untuk menutupi isu.
Kalau mengikuti nalar Fahri Hamzah, presiden itu ngurusi yang besar-besar bukan pungli yang kecil seperti itu. Sementara nalar Fadli Zon agak berbeda yaitu presiden itu cukup duduk manis merumuskan roadmap serta aturan jelas. Presiden tak perlu datang ke lokasi OTT karena tak ada kejadian luar biasa.
Pertanyaannya kemudian, adakah hukum yang dilanggar presiden ketika datang lokasi OTT pungli di Kemenhub; adakah larangan presiden untuk datang ke sebuah lokasi yang ada kejadian yang dinilai kecil; sejak kapan presiden hanya bisa datang ke kejadian yang besar-besar; sejak kapan lembaga DPR mengurusi kegiatan protokoler presiden.
Pertanyaan itu cukup penting dijawab, sehingga misalnya suatu saat jika presiden datang ke rumah Mukidi dan Markonah untuk men-support agar mereka terus menggembirakan rakyat Indonesia, dengan kisah humornya, duet Fahri Hamzah dan Fadli Zon ini tak menyanyikan lagu sumbang lagi.
Misalnya, "Buat apa presiden datang ke rumah Mukidi, itu tak ada urgensinya. Itu hanya pencitraan saja. Presiden kan cukup membuat roadmap dan aturan jelas untuk mengembangkan dunia humor. Ini pasti pengalih perhatian dari isu yang ada".
Ya, tuduhan pencitraan, pengalihan isu, atau suara sumbang atas apa saja yang dilakukan Presiden Jokowi, memang sudah sangat sering terlontar dari kedua tokoh itu. Buktinya, silakan googling saja, nanti akan muncul aneka hal yang pernah dilontarkan keduanya. Fadli Zon, misalnya, baru beberapa hari lalu saat berbicara di FISIP UI juga sudah menyindir presiden. Ibaratnya, ucapan nyinyir, syak wasangka, tuduhan kepada presiden itu sudah seperti makanan lalapan politik mereka.
Kembali ke urusan OTT di Kemenhub. Pernyataan duet sumbang itu sungguh memprihatinkan karena menunjukkan mereka sepertinya tak punya rasa peduli yang lebih terhadap urusan pungli. Praktek yang sudah berjalan masif, bahkan di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi itu, memerlukan perhatian khusus agar bisa direm, dihilangkan, dan ditindak secara hukum.
Inilah yang mungkin tidak ditangkap oleh Fahri Hamzah maupun Fadli Zon, karena sifat dan sikap prasangka buruk dan nyinyirnya itu. Kehadiran presiden adalah pemberi perhatian lebih itu, yang diharapkan bisa menyemangati dan mendorong upaya pemberantasam pungli di Indonesia. Langkah itu juga diambil setelah satu jam sebelumnya presiden mencanangkan Operasi Pemberantasan Pungli.
Jadi, kehadiran presiden di Kemenhub itu bukannya tanpa makna, terlebih hanya sebagai pengalih perhatian. Kehadiran presiden adalah simbol peperangan terhadap pungli telah dimulai, beriringan dengan perang melawan korupsi yang digeber KPK. Dan, ini sejalan dengan upaya reformasi hukum yang mulai dijalankan pemerintah. Pencitraan? Jelas bukan; ini kerja.
OTT di Kemenhub itu hasil sitaannya juga tidak kecil-kecil amat. Uang tunainya Rp 17.270.000 ditambah Rp 34 juta ditambah Rp 61 juta. Totalnya, jumlahkan sendiri. Selain itu ada juga buku tabungan yang bersaldo Rp 1 miliar. Yang paling penting, pungli itu menyasar izin yang seharusnya sudah selesai secara online, tapi dilanjut di meja petugas. Kalau tak mau bayar, izin tak keluar.
Ini model pungli yang (maaf) biasa terjadi saat ini. Sistem boleh online, bayar tetap saja bisa dibuat dua tempat, satu di bank sesusi sistem online; dua dia di kantong petugas sesuai sistem pungli yang sudah mentradisi.Nah, inilah urgensinya menghentikan pungli yang korbannya menyasar masyarakat Indonesia secara luas.
Ya, namanya pungli, uangnya juga terhitung recehan di mata koruptor. Pungli itu pungutan liar, yang mengumpulkan mel-melan dari uang Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, Rp 50 ribu, Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu atau lebih. Sedikit demi sedikit akhirnya jadi bukit; karena punglinya sudah jadi bukit, pastilah korbannya tidak sedikit. Karena itu, pungli harus disikat habis.
Namanya pungli itu tidak hanya di Kemenhub, tapi banyak juga di sentra-sentra pelayanan masyarakat. Kata Ombudsman, pelayanan SIM dan Samsat itu juga banyak laporan pungli, ada juga di jembatan timbang, pengurusan KTP, sertifikat tanah, dll. Jadi, pungli itu memang menyasar masyarakat yang butuh pelayanan pemerintah.
Karena menyangkut pelayanan maka korbannya bisa dipastikan banyak atau berjamaah. Sebabnya sederhana, rakyat yang butuh pelayanan itu memang banyak karena jumlah penduduk Indonesia juga banyak. Karena itu, keresahan dan kerugian akibat pungli juga banyak. Ekonomi biaya tinggi, masyarakat terbebani, kesejahteraan menurun.
Itulah pungli, meski uangnya kecil tapi jika ditumpuk bisa jadi bukit. Kalau uangnya langsung gedebuk satu koper 50 miliar dolar Singapura, itu namanya sogokan atau upeti dan tidak lagi disebut pungli. Karena sifat merugikannya yang masal, menyasar khalayak luas, pemerintah bertekat menggelorakan lagi Operasi Pemberantasan Pungli di bawah koordinasi Menkopolhujam.
Inilah suasana kebatinan yang harus dipahami Fahri Hamzah dan Fadli Zon ketika melihat dan mendengar Presiden Jokowi hadir di OTT pungli di Kemenkumham. Itu adalah langkah penegasan bahwa pungli harus diberantas habis. Jadi ini tak ada kaitannya dengan presiden harus mengunjungi 73 ribu desa untuk melihat hal semacam itu.
Ini juga tak ada kaitannya dengan pengalihan isu atau keharusan presiden cukup duduk manis di belakang meja sambil mengagumi roadmap OPP dan rencana detailnya. Itu namanya tak nalar, tidak bisa menangkap suasana kebatinan betapa pungli sudah begitu parah dan harus diberantas habis.
Terus terang, mengherankan juga sikap dua petinggi DPR itu. Sebagai wakil rakyat, seharusnya mereka bisa merasakan suasana hati rakyat yang dipungli dan dampaknya bagi perekenomian bangsa. Seharusnya OPP yang digelorakan kembali oleh pemerintahan Jokowi, mereka sambut dengan gembira. Lho, lagu yang dinyanyikan kok malah "Halo-Halo Ahok....kita ketemu lagi di Sumbet Waras dan reklamasi." Itu lagu usang dan sumbang, yang terus diulang-ulang. Menjemukan, tidak kreatif dan mendidik.
Ini perlu jadi perhatian Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Nanti kalau tiba-tiba Presiden Jokowi nongol di kantor Samsat atau jembatan timbang, atau di pelabuhan, atau di tempat lain, jangan lagi ada nyanyian sumbang yang itu-itu saja. Sedikit cerdas dong.
Presiden Jokowi itu presidennya rakyat Indonedia. Semua rakyat berhak mendapat perhatiannya. Semua tempat di bumi Nusantara ini juga wajar saja didatanginya sesuai keperluan dan tujuan mengemong bangsa. Jadi nanti misalnya, presiden Indonesia memandang perlu untuk datang ke sebuah warteg, kampung kumuh, mendatangi Mbah Karjo yang sudah uzur, atau mungkin menyempatkan diri menengok Mukidi dan Markonah, itu sah-sah saja. Tak usah nyinyirlah. Sudah ada protokoler yang mengatur semua itu. Jadi Fahri Hamzah atau Fadli Zon tak usah ikut repot mengurusi. Kan lebih baik mengurui tugas-tugas di DPR yang perlu "disempurnakan" itu.
Memang sih, politikus itu suka bertindak sesuai logika politik yang berlaku. Kata K'er Felix Tani, orang Batak yang njawani itu, "Politisi itu boleh bohong tapi tak boleh salah". Artinya dia boleh bohong dengan merujuk fakta/data yang bias kepentingannya sebagai dasar pernyataan politiknya.
Dia harus melakukan itu agar pernyataannya tidak bertentangan atau menegasikan nilai/kepentingan partai pengusungnya. Kalau ini terjadi, maka dia telah melakukan kesalahan secara politis. Padahal politisi tak boleh salah.
Ketika saya tanya, apakah ini berarti politisi bisa menyebut bola itu kotak karena sesuai dengan sikap dan kepentingan partainyai, Felix menjawab, betul dan kita hanya perlu menggunan cara pandang tertentu sehingga bola yang bundar itu terlihat kotak.
Bisa saja pernyataan Felix itu benar dan bisa diterapkan dalam soal duet sumbang buat Presiden Jokowi ini. Sehingga, menjadi sebuah kesalahan jika Fahri Hamzah atau Fadli Zon memuji-muji kunjungan Presiden Jokowi di OTT di Kemenhub, karena tak sesuai dengan sikap dan kepentingan partainya. Politisi kan tidak boleh salah.
Sayangnya, rakyat banyak yang memilih para politisi sehingga bisa duduk di DPR itu tak mengenal kebenaran semacam itu. Bola itu, sampai kiamat pun bentuknya bundar dan bukan kotak. Itulah logika rakyat.
[muhammad mustain]
No comments:
Post a Comment