DUNIA HAWA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa mendapat fitnah bertubi-tubi tak lama setelah mengeluarkan rekomendasi terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
MUI menuding para pembela Ahok mulai melakukan pembunuhan karakter melalui media-media mereka. Yang menjadi sasaran adalah Lembaga Perlindungan Pengawasan Obat dan Makanan (LPPOM) MUI.
Dalam keterangan MUI yang beredar via WhatsApp hari ini (17/10), beberapa media daring seperti islamnkri, nkritoday, infomenia, hatree.me, sampai media syiah arrahmahnews.com memuat berita yang sama dan tendensisus.
Yakni seputar tudiangan korupsi senilai Rp 480 triliun.
"Mereka tidak bisa meragukan kredibilitas penafsiran Alquran oleh MUI, yang paling gampang diserang lewat isu korupsi," ujar Wakil Direktur LPPOM MUI, Osmena Gunawan.
Osmena menjelaskan, setidaknya ada beberapa fitnah yang disebar kepada MUI mengenai tudingan pungutan Rp 470 triliun ini. Dasar mereka adalah pemberitaan portal beritasatu.com tertanggal 13 November.
Dimana saat itu DPR tengah menggodok rancangan undang-undanng Jaminan Produk Halal. Saat itu, masih terjadi tarik ulur siapa yang bertanggung jawab terhadap kehalalan produk.
"RUU ini sendiri baru disahkan menjadi Undang-undang pada tanggal 17 Oktober 2014. Bodohnya media abal-abal, pro syiah dan akun pro Ahok ini tidak mengedit bagian kata rancangan untuk berita yang mereka baru lansir baru-baru ini, sementara RUU nya sendiri sudah disahkan menjadi UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal," ungkap Osmena.
Soal angka Rp 480 triliun, pihaknya berujar bahwa jumlah tersebut keluar dari perhitungan potensi pemasukan dari urusan label halal, bukan hitungan riil.
"Hitungan potensi ini pun masih ngawur dengan menghitung angka pengusaha sebanyak 40 juta, padahal menurut HIPMI per Mei 2016 jumlah pengusaha di Indonesia baru 1,75 juta. Tuduhan potensi pungutan sebesar 480 trilyun itu pun masih ngaco dengan membuat perkalian 40 juta pengusaha dikalikan biaya pengurusan sebesar 12 juta," jelas dia.
Faktanya, kata dia, dari 1,75 juta pengusaha tersebut, selama ini MUI baru mengeluarkan 13,000 sertifikat halal hingga tahun 2014.
"Jadi silahkan dikalikan saja 13,000 dikalikan 2 juta (ini tarif paling mahal loh), dikalikan dua (hitungan masa berlaku 2 tahun) berarti hanya 52 milyar. Luar biasa kan fitnah nya?," geram dia.
Dari 1,75pengusaha ternyata hanya 13000 produk yang memakai sertifikasi halal. Jumlah yang sangat jauh dari logika.
Sementara MUI sendiri menolak keras untuk diaudit.
Dengan mengutip UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Ketua Komisi Informasi Pusat, Abdulhamid Dipopramono, mengingatkan bahwa MUI adalah badan publik yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN, APBD, dan sumbangan masyarakat atau luar negeri. Karena itu, menurutnya, MUI wajib membuka laporan keuangannya ke hadapan publik.
“MUI itu bukan lembaga bisnis. Kalau lembaga bisnis murni, memang tidak punya kewajiban untuk membuka (informasi) ke publik. Tapi (MUI) kan mendapat anggaran dari pemerintah maupun masyarakat, jadi dia harus terbuka. Badan publik yang mendapat APBN, APBD, dana masyarakat, tapi tertutup, tidak mencerdaskan bangsa. Saya kira nggak benar. Lalu uang itu kemudian untuk apa?” kata Abdulhamid.
Abdulhamid lalu menyoal transparansi sertifikasi halal MUI. Hingga saat ini, belum jelas seberapa banyak sertifikasi halal yang telah dikeluarkan MUI dan berapa besar jumlah pemasukan maupun pengeluaran MUI.
Seharusnya bila MUI tidak mau dituding korupsi 480 triliun sebagaimana yang dituding media online, MUI harus mau diaudit. Kenyataannnya MUI menolak diaudit padahal dari 1,7 juta pengusaha, MUI mengakui baru mengeluarkan 13000 sertifikat halal sampai tahun 2014.
Percaya...????
[newsth]
No comments:
Post a Comment