Thursday, October 6, 2016

Dua Sisi Politik Anies Baswedan


DUNIA HAWA - Anies dengan tangkas menjawab pertanyaan-pertanyaan Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa yang disiarkan Metro TV tadi malam. Tangkas dan manis. Tidak ada yang salah dengan langkah politik yang dia ambil, menjadi calon gubernur untuk DKI. Secara normatif, itu hak dia sebagai warga negara. Kemudian Anies dengan manis menjelaskan kenapa pindah ke kubu Prabowo itu juga tidak salah. 

Sebenarnya penjelasan Anies pun masih kurang tajam. Ia seharusnya menjelaskan pula, bahwa Ahok, bahkan Jokowi pun sebenarnya pernah berada dalam satu kubu dengan Prabowo, pada pilkada 2012 lalu. Kita semua masih ingat bahwa Ahok tadinya adalah anggota Partai Gerindra, bersama Jokowi dia didukung pula oleh PDIP saat itu.

Anies pun dengan jurus berkelit bisa memutihkan segala ucapan negatif yang pernah ia keluarkan tentang Prabowo. Termasuk tuduhan dia bahwa Prabowo-Hatta dulu didukung mafia, atau Prabowo itu bagian dari Orde Baru. "Itu konteksnya pilpres, bukan pilgub," kata Anies. 

Intinya, ini politik untuk kebaikan negara. Kita ini mau membangun, mempersatukan. Jadi, janganlah mengungkit-ungkit sesuatu yang menimbulkan permusuhan. Semua biasa saja dalam konteks politik. Begitulah kira-kira kesimpulan akhirnya.

Itu adalah wajah manis politik Anies. Itu wajah yang memang cocok ditampilkan dalam saluran hiburan di televisi. Jadi, nikmatilah. Hanya saja, saya punya sudut pandang lain, yaitu sudut pandang realitas politik dan pragmatismenya.

Mari kita mulai dengan soal berbagai tuduhan negatif Anies terhadap Prabowo. Jadi, berbagai tuduhan itu dulu apa? Sekedar retorika di panggung politik? Kalau konteksnya pilpres, bahwa Prabowo pernah didukung mafia, apakah dia sekarang sudah tidak lagi bersama mafia itu? Apakah kalau dia pernah menjadi bagian Orde Baru, dan fakta itu dianggap penting dalam konteks pilpres, dalam konteks gubernur itu sudah tidak dianggap penting lagi?

Rasanya tidak mungkin kita dapat jawaban logis atas pertanyaan-pertanyaan itu. Satu-satunya jawaban yang menjelaskan adalah pragmatisme politik. Kenapa Prabowo bisa menerima Anies? Kenapa pula sebaliknya, Anies bisa menerima Prabowo? Jawabnya adalah saling membutuhkan, atau mutual interest. Prabowo membutuhkan orang untuk memenangkan kursi gubernur DKI, sedangkan Anies membutuhkan jabatan politik baru.

Anda bisa bebas memaknai istilah saya bahwa Anies membutuhkan jabatan politik baru itu. Ia bisa bermakna bahwa Anies membutuhkan kekuasaan politik untuk mengeksekusi gagasan-gagasannya dalam membangun negara, yang ini adalah sisi manis politik Anies. Bisa pula bermakna bahwa Anies memang membutuhkan jabatan saja. Karena ia tidak sanggup lagi hidup sebagai rakyat biasa.

Politik pada sisi pragmatis adalah soal siapa mendapat apa, siapa menduduki jabatan apa. Jabatan gubernur DKI terlalu besar untuk dilewatkan begitu saja oleh Prabowo tanpa ia ikut berpengaruh dalam perebutannya. Sayangnya, ia tak punya kandidat potensial yang bisa ia mainkan.

Sama halnya, pilkada DKI adalah momen yang terlalu penting untuk dilewatkan oleh Anies, saat ia dalam status menganggur setelah diberhentikan oleh Jokowi dari jabaran Menteri Pendidikan. Apa boleh buat, masuk ke kandang bekas lawan pun bukan masalah bagi Anies.

Tapi, bukankah Ahok pun demikian? Betul, Ahok pun memainkan langkah politik yang sama, pragmatisme. Bukan salah Anies atau Ahok. Sistem politik menggiring mereka untuk begitu. Bedanya adalah, Ahok meninggalkan Prabowo, sedangkan Anies mendatangi Prabowo. Satu lagi bedanya, Ahok setahu saya tidak pernah mencela Prabowo sebelum bergabung ke kubunya. Sederhananya, ia tak menjilat ludah sendiri. Karena itu Ahok tidak perlu berdalih banyak-banyak untuk menutupi ludahnya itu, sebelum ia menjilatnya kembali.

[hasanudin abdurakhman, phd]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment