Sunday, September 11, 2016

Kasus Jessica, Jaksa Galau gara-gara Djaja?


DUNIA HAWA - Tanpa mengurangi rasa empati dan bela sungkawa kepada keluarga Mirna. Kesaksian saksi ahli yang meringankan Jessica, mendorong saya sebagai bagian dari masyarakat awam yang bukan ahli hukum dan bukan ahli racun ingin berbagi pendapat. Masyarakat punya akal, nalar dan logika. Opini dan logika masyarakat bisa menjadi kontrol publik terhadap kinerja aparat.

Aparat hukum tugas dan tanggungjawabnya adalah menegakkan Keadilan. Dan keadilan hukum bukan menang kalah tapi benar atau salah. Adanya asas praduga tak bersalah, Jessica sebagai terdakwa berhak mendapatkan perlakuan yang seadil-adilnya.

Berempati menjadi polisi, jaksa atau hakim dalam menangani kasus tewasnya Mirna yang minim bukti. Sementara, kasus tersebut disorot media dan menjadi perhatian publik. Desakan dan ekspektasi publik yang tinggi terkuaknya misteri tewasnya Mirna Salihin, tak pelak membuat aparat pusing tujuh keliling.

Dengan kondisi minimnya bukti, padahal disisi lain prestasi aparat penegak hukum diukur dari menang atau kalah dalam sebuah persidangan. Jika kasus berlarut-larut apalagi jaksa tidak bisa membuktikan dakwaannya di pengadilan, mereka bakal dinilai tidak becus dan dinilai berkinerja buruk.


Situasi dan kondisi tersebut, mendorong tindakan aparat cenderung mengabaikan tanggungjawab utama sebagai penegak keadilan. Mereka berusaha sekuat tenaga hanya untuk menang. Sehingga fakta-fakta yang menguntungkan terdakwa, kesaksian ahli yang meringankan sekalipun obyektif, cenderung dikesampingkan.

Pada kasus Mirna, Kombes Krisna Murti yang naik daun gara-gara Sarinah dan Kalijodo beruntung mendapat promosi dan dimutasi. Dia tidak lagi menjadi sorotan publik yang patut dipertanyakan profesionalismenya. Yang agak apes adalah jaksa yang harus berjuang keras mempertahankan argumentasi kebenaran versi mereka.

Keterangan saksi-saksi ahli yang bertolak belakang dengan dakwaan membuat kehebohan. Dan publik semakin tertarik akhir cerita kopi sianida. 

Dari keterangan mereka, tewasnya Mirna memang tidak wajar tapi "sebab mati" secara medis belum bisa dipastikan. Artinya, tewasnya Mirna belum tentu dibunuh. Dari tanda-tanda yang ada, bisa jadi kematian Mirna disebabkan faktor lain. Misal, disebabkan racun bukan sianida atau kelainan kesehatan Mirna. Sebenarnya sebab mati tersebut bisa diketahui secara pasti seandainya dilakukan otopsi.

Akibat keterangan yang kontradiktif diantara saksi ahli tersebut, dakwaan yang disusun polisi dan jaksa menjadi penuh tanda tanya. Padahal untuk meyakinkan publik dan hakim, cerita Mirna telah disusun sedemikian rupa. Dengan kesimpulan akhir, Mirna pasti mati dibunuh oleh Jessica menggunakan racun sianida, titik.

Minimnya bukti dan tidak adanya motif, polisi dan jaksa berupaya melengkapi dengan keterangan, asumsi dan opini saksi ahli untuk memperkuat dakwaannya.

Ada ahli yang mempelajari rekaman CCTV. Walaupun tidak ada satupun rekaman yang memastikan kapan sianida dituangkan pada kopi Mirna.

Ada saksi ahli yang mengamati, membaca wajah hingga gerak-gerik gelisah dan mencurigakan Jessica. Padahal gelisah banyak kemungkinan yang bisa menjadi penyebabnya. Kegelisahan Jessica yang terbaca ahli, barangkali Jessica saat itu kebetulan sedang ada problem lain, atau kebelet misalnya.  

Ada saksi ahli yang menyimpulkan bahwa Jessica adalah psikopat. Kesimpulan psikopat diperlukan JPU sebagai argumen pembenar bahwa tewasnya Mirna tidak perlu motif. Bahkan beredar rumor entah siapa yang menyebarkan kalau Jessica memiliki perilaku menyimpang.

Keterangan saksi ahli yang meringankan Jessica, membuat jaksa galau dan panik. Terlihat reaksi mereka saat menanggapi dan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi ahli. Emosional dan tidak substansial.

Saksi ahli berbeda dengan saksi biasa. Bukan untuk meringankan atau memberatkan. Saksi ahli adalah mitra persidangan. Keterangan sesuai dengan bidang ilmunya adalah sebagai bahan pertimbangan. Aneh jika jaksa atau hakim menunjukkan sikap tidak bersahabat.

Saksi ahli pertama justru yang dipermasalahkan adalah administrasi keimigrasiannya. Saksi berikutnya, sepertinya Jaksa enggan mendengarkan penjelasan Djaja secara utuh. Pertanyaan dan pernyataan jaksa menggiring saksi bingung. Padahal dokter Djaja adalah saksi ahli yang sangat penting diminta keterangannya. Djaja menangani dan kontak langsung dengan jasad Mirna lebih awal dibanding ahli-ahli yang lain.

Kesaksian dr. Djaja, meluluhlantakkan skenario, opini dan cerita yang telah dibangun polisi dan jaksa.

Dengan dasar hasil visum yang sama mengapa kesimpulan ahli berbeda? Maka wajar jika kesimpulan yang kontradikitif tersebut, masyarakat perlu mempertanyakan kinerja polisi dan jaksa.

• Mengapa tidak dilakukan otopsi? padahal dengan dilakukan otopsi "sebab mati" menjadi jelas. Dan akan memudahkan polisi serta jaksa menyelesaikan tugasnya.   

• Mengapa dr. Djaja sebagai ahli forensik dan menangani jasad Mirna tidak diikutsertakan dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga penyusunan dakwaan? 

• Hasil labfor forensik barang bukti botol berisi kopi mengandung kadar sianida tinggi. Menurut dr. Djaja dengan kadar tersebut bisa berakibat satu ruangan "teler", mestinya perlu didalami dan dibuktikan dalam persidangan;

• Jika kadar sianida di botol tinggi, mengapa sianida yang terdapat di lambung sangat kecil dan tidak menyebar ke organ tubuh yang lain. Kesimpulan Djaja, kadar sianida tersebut tidak cukup untuk membunuh manusia. Karena ilmu pengetahuan adalah berlaku universal seluruh dunia maka hakim sebelum memutuskan vonis perlu medapatkan keterangan ahli lain yang independen. Kalau perlu ahli ternama dan terpercaya dari luar negeri;

• Kadar sianida di botol yang sangat tinggi bisa membuat "teler" manusia dengan radius 500 m2. Sementara pengakuan dua pelayan cafe yang mencicipi kopi bekas Mirna hanya merasakan kebas. Mengapa tidak terjadi sesuatu yang fatal pada mereka? Menurut Djaja, rasa sianida seperti sabun. Djajapun sempat menawarkan kalau tidak percaya pak Jaksa boleh nyoba ^_^; 

• Keterangan Djaja, dari hasil visum warna lambung kehitaman, bibir dan kuku berwarna biru. Hal tersebut terjadi akibat kekurangan oksigen. Sedangkan keracunan sianida justru sebaliknya. Reaksi racun sianida berakibat lambung berwarna merah, tubuh menjadi kemerah-merahan. Mengapa tiba-tiba muncul photo jasad Mirna yang kemerah-merahan padahal hasil visum biru kehitaman. Perlu dipertanyakan apakah karena make up blush on atau rekayasa photoshop?

Bisa saja Jessica memang benar pembunuh Mirna. Tapi, jangan paksakan cerita kopi sianida menjadi penyebab tewasnya Mirna untuk menghukum Jessica.

Karena Jessica, ilmu pengetahuan tentang racun sianida bisa menjadi kacau. Literatur yang berkaitan dengan efek keracunan sianida, diseluruh dunia harus dirubah.

PR bagi aparat untuk mengungkap kejadian sebenarnya, secara profesional dan seadil-adilnya. Kinerja aparat jangan sampai dilandasi motivasi dan ambisi harus menang dalam persidangan, apalagi untuk kepentingan karir dan prestasi.

Satu nyawa manusia sangat berharga, cukup Mirna. Jangan sampai terjadi pengadilan sesat dan Jessica harus mati karena vonis yang tidak adil.

Pertanggungjawaban aparat hukum adalah dunia akhirat. Terlebih lagi hakim sebagai wakil Tuhan dibumi. Demi keadilan, lebih baik membebaskan seratus orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Justice for all!

[olivia armasi]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment