Tuesday, August 9, 2016

Asumsi Sesat Full Day School


Dunia Hawa - Tiba-tiba saja Menteri Pendidikan yang baru dilantik menggulirkan gagasan sekolah sehari penuh (full day school-FDS). Apa dasar pemikirannya? Beberapa alasan yang dia ungkapkan terdengar konyol dan asal-asalan. 

Anak-anak, menurut Menteri, banyak yang terlantar di rumah sepulang dari sekolah, karena kedua orang tua mereka masih bekerja. Ketimbang anak-anak hanya sendiri, atau ditemani pembantu, lebih baik mereka berada di sekolah. Ingat, gagasan menteri ini adalah menerapkan sekolah sampai jam 5. Asumsi itu hanya benar untuk para pegawai swasta, kebanyakan di kota-kota besar. Sebagai menteri seharusnya dia tahu bahwa jam kerja PNS di daerah tidak sampai jam 5 sore. Tentu saja itu juga tidak berlaku bagi petani, nelayan, dan berbagai jenis profesi lain. Hal yang tak kalah penting, tidak semua pasangan ayah ibu bekerja. Banyak juga istri yang tidak bekerja. Apakah Menteri sudah memeriksa data?

Jadi boleh dibilang kebijakan ini sebenarnya hanya akan memenuhi kebutuhan sebagian kecil orang saja. Tapi kenapa kebijakan ini harus diterapkan kepada orang-orang yang tidak memerlukannya? Sudahkah Menteri membayangkan bagaimana sebuah FDS di sebuah kampung nelayan di pesisir pulau Kalimantan sana?

Segala bentuk pelajaran tambahan atau les, kata Menteri, akan dilaksanakan di sekolah. Sanggupkah sekolah menyediakannya? Mustahil! Anak-anak saya ikut les gitar, karate, tae kwon do, dan renang. Anak-anak tetangga ikut les piano, balet, melukis, dan sebagainya. Bagaimana sekolah akan mengakomodasi semua itu? Mustahil! Yang akan terjadi nanti adalah pemaksaan kegiatan ekstra, mengikuti hanya yang bisa disediakan sekolah saja. Lalu bagaimana dengan segala jenis TPA dan madrasah sore yang selama ini sudah menjalankan kegiatan? Tutup saja?

FDS kata Menteri akan dilengkapi dengan materi pendidikan karakter. Apa hubungannya? Pendidikan karakter tidak ada hubungan dengan berapa jam anak-anak sekolah. Selama ini pendidikan karakter tidak dijalankan bukan karena kekurangan waktu belajar, tapi karena memang tidak diperhatikan. Kurikulumnya tidak menyentuh aspek itu, guru-gurunya tidak siap, bahkan tidak berkarakter. Apalagi fasilitas sekolah, jauh dari cukup. Kalau mau membangun pendidikan berkarakter, kenapa tidak fokus saja ke situ tanpa FDS? 

Anak-anak, kata Menteri, akan dibekali dengan pelajaran agama yang bisa menangkal paham radikal. Aduh, ini asumsi yang sudah terlalu jauh dalam khayalan Menteri. Apakah Menteri sudah meneliti apa dan bagaimana paham radikal itu? Tidak. Asal bunyi saja.

Lalu, bagaimana dengan masalah pendidikan yang selama ini masih menumpuk? Kurikulum 2013 masih belum jelas bagaimana juntrungnya. Guru-guru masih bingung melaksanakannya. Mereka belum siap, belum punya skill memadai. Buku-bukunya berkualitas sangat rendah, sangat jelas terlihat disusun secara asal-asalan. FDS jelas aja mempengaruhi lagi bahan ajar. Lalu, bagaimana format bahan ajar baru nanti? Ganti lagi?

Soal Ujian Nasional juga masih mengambang. 

Di tengah berbagai persoalan itu, kenapa perlu ada gagasan FDS? Gagasan ini hanyalah cara membuat kegaduhan dan blunder saja.

[hasanudin abdurakhman, phd]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment