Sunday, June 19, 2016

Tanah Suci Ke-empat


Wacana Kiblat Baru Untuk Melawan Hegemoni Saudi

Dunia Hawa - Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata:” Apa yang mengalihkan mereka (umat Islam) dari kiblat lamanya (Yerusalem) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? “Katakanlah:” Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (Al-Baqarah:142)

Peristiwa pemindahan kiblat umat Islam dari Yerusalem ke Makkah pada tahun 13 kenabian adalah sebuah titik balik yang sarat akan simbol perlawanan politik dan budaya. Sebagai bagian dari rantai agama-agama Abrahamik, Islam banyak mengadopsi konsep-konsep maupun ritual dalam tradisi Yahudi. Mulai dari tata cara doa, puasa, menyembelih hewan, aturan makan, hingga soal kiblat. Secara teknis bahkan dapat dikatakan bahwa Islam adalah sebuah sekte Yahudi yang kemudian berkembang menjadi agama sendiri yang terpisah.

Pada awalnya, umat Islam berdoa dengan menghadap kiblat yang sama dengan umat Yahudi, yaitu Yerusalem. Sejak zaman Perjanjian Lama, Yerusalem telah disebut-sebut sebagai tanah suci dan pusat ziarah umat Yahudi. Di kota ini pernah berdiri kuil paling suci dalam agama Yahudi yang mereka sebut Beth El/ Bait Allah (berarti Rumah Tuhan). Lebih dari itu, Yerusalem secara historis juga merupakan ibukota politik dan budaya Yahudi yang mengakar begitu kuat dalam ritus serta doa-doa mereka.

Kenyataan ini membawa rasa rendah diri pada pengikut Islam periode awal di Jazirah Arab yang merasa agama mereka terlalu mengunggulkan Yahudi. Umat Yahudi di Madinah kala itu sering membanggakan diri sebagai bangsa pilihan Tuhan. Sehingga umat Islam, khususnya kaum muhajirin dari Makkah merasa lebih rendah derajatnya dari Yahudi. Mereka bertanya-tanya, “mengapa Allah lebih mencintai Yahudi? Mengapa tanah suci kita adalah negeri Yahudi?” Hal ini diperparah dengan berbagai konflik kepentingan yang muncul antara kelompok muhajirin dengan komunitas-komunitas Yahudi di Madinah. Maka peristiwa berpindahnya kiblat umat Islam dari Yerusalem ke Makkah telah membesarkan hati kelompok muhajirin untuk lebih percaya diri dalam menghadapi komunitas Yahudi. Termasuk membesarkan hati Nabi Muhammad yang juga adalah seorang muhajir dari Makkah.

Perpindahan kiblat ini menandai pergeseran gravitasi Islam dari Yahudi ke Arab, sehingga Nabi Muhammad berhasil memenangkan hati umat perdananya yaitu Bangsa Arab, khususnya Quraisy dan warga Makkah. Setelah Yerusalem dan Makkah mendapat kehormatan dengan gelar tanah suci, Madinah pun turut menyusul mendapatkan gelar yang sama karena statusnya sebagai kota Nabi, juga untuk membesarkan hati kaum Anshar (warga asli Madinah) yang telah berjasa besar menolong Nabi Muhammad dalam peristiwa hijrah.

***

Hari ini, 14 abad setelah Nabi wafat, Islam telah tersebar ke seluruh dunia. Ajarannya telah mencapai negeri-negeri di tujuh benua dan tujuh samudera yang bahkan tak pernah diketahui orang-orang di zaman Nabi. Namun sejarah terus berulang, dan kini umat Islam di seluruh dunia yang bertekuk lutut di bawah hegemoni Arab. Mereka menjadi rendah diri dengan klaim-klaim bahwa Arab adalah bangsa pilihan. Bahwa bahasa mereka lebih suci dari bahasa bangsa-bangsa lainnya, tanah mereka lebih suci dari tanah bangsa-bangsa lainnya. Umat pun bertanya-tanya, “Mengapa Allah lebih mencintai Arab?”

Al-Baqarah ayat 142 secara tegas telah membantah bahwa kiblat adalah kualitas intrinstik yang tak bisa digugat. Timur atau barat adalah milik Allah semata, sehingga arah mana pun pada hakikatnya akan menghadap Allah. Dengan demikian, status kiblat serta tanah suci dapat digunakan secara pragmatis, seperti yang telah dilakukan oleh umat Islam generasi perdana untuk mengalihkan gravitasi keagamaan dari Yahudi ke Arab.

Namun ayat yang semestinya membawa pesan pembebasan dan kesetaraan ini telah dibelenggu maknanya, bahkan diputar balik menjadi doktrin keunggulan Bangsa Arab. Sebuah kesalahan yang sama dengan Yahudi kini diulangi lagi dalam skala jauh lebih massif. Dua abad terakhir menjadi fase paling parah ketika ajaran ekstrim Wahabi melalui Kerajaan Saudi berhasil menguasai dua kota suci Makkah dan Madinah. Lewat dua kota ini, yang dikunjungi jutaan peziarah muslim setiap tahunnya, Wahabi kemudian mengekspor ideologi kerasnya ke seluruh dunia.

Di lain pihak, Jazirah Arab semakin tertinggal dalam progres kemanusiaan. Perempuan-perempuan Saudi hingga hari ini masih dilarang berpartisipasi aktif dalam politik, dibatasi di ruang publik, agama minoritas ditindas, hak-hak buruh migran sangat rendah, sementara konflik sektarian serta terorisme terus membayangi. Dari persperktif mana pun, sangat sulit menjadikan kondisi sosial budaya di Jazirah Arab sebagai teladan. Islam dalam kondisi darurat yang membutuhkan citra baru untuk lepas dari Tanah Arab.

Ini lah momentum paling tepat bagi umat Islam di seluruh dunia untuk mengambil ijtihad berani — menetapkan tanah suci baru sebagai kiblat umat Islam menggantikan Makkah. Tanah suci baru ini akan menjadi kekuatan yang mendorong umat Islam sedunia agar tak kalah di hadapan ideologi keras yang diusung Saudi. Umat Islam bisa memilih kota-kota yang merepresentasikan semangat Islam progresif sebagai kiblat baru, seperti Istanbul dan Jakarta.


Alternatif lainnya, umat Islam juga bisa mendirikan sebuah kota baru di wilayah yang disepakati bersama sebagai kawasan Muslim internasional. Kota ini dapat berfungsi tak hanya sebagai ibukota spiritual saja, tapi juga ibukota politik dan budaya dengan statusnya sebagai kantor pusat organisasi negara-negara Muslim (OKI). Dengan demikian, perkembangan kota suci akan menjadi lebih dinamis, di mana setiap bangsa dan aliran Islam dapat berkontribusi di dalamnya, tidak lagi dimonopoli oleh Arab Saudi. Umat Islam juga bisa membuat ijtihad dengan menetapkan kiblat regional untuk merepresentasikan perkembangan Islam yang khas di masing-masing kawasan, seperti kiblat Asia Tenggara, kiblat Asia Tengah, atau kiblat Eropa.

Islam adalah agama pembebasan dunia. Ia datang bukan hanya untuk memenangkan hati bangsa Arab, tapi juga seluruh bangsa. Maka kiblat-kiblat baru adalah sebuah keniscayaan. Tanah suci keempat, kelima, keenam, dan seterusnya bukan lah hal yang mustahil. Karena ke mana pun wajah kita menghadap, Allah pasti ada di sana.

[islam reformis]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment