Tuesday, May 17, 2016

Mimpi Keadilan untuk Wanita yang Dihancurkan 50 Tahun Lalu


Dunia Hawa - Dapatkah kita membayangkan para wanita bergerak bersama-sama membangun kesadaran politik warga desa? Apakah kita sanggup, pertanyaannya, membayangkan perempuan mengorganisir diri dan menggalang aliansi internasional dalam menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan dunia?

Saya ragu. Jangankan membayangkan sejauh itu, memperkenankan wanita berjalan sendiri malam hari saja nampaknya masih menjadi kesulitan tersendiri buat kita. Bayangan kita ihwal bagaimana menangani kejahatan yang dialami mereka masih sesempit mengatur ruang gerak serta keberadaan mereka agar tidak bersinggungan dengan ruang gerak dan keberadaan makhluk berjenis kelamin lainnya—lelaki.

Tetapi, pada satu episode sejarah yang menarik di negeri ini, wanita pernah mengambil andil dalam bentuk-bentuk pergerakan yang mungkin mengganggu imajinasi kita sekarang tentang perempuan itu sendiri. Nama wadah gerakan tersebut adalah Gerakan Wanita Indonesia—Gerwani.

Gerwani, yang banyak di antara kita sudah kenal terima kasih kepada pelajaran sejarah Orde Baru, adalah organisasi wanita sayap Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia adalah perkumpulan wanita yang, masih menurut dramatisasi fantastis, mencekam, serta tak masuk akal rezim, beranggotakan perempuan-perempuan sundal yang menikmati penderitaan para jenderal yang ditangkap pada malam 30 September.

Tetapi, yang kita dapati dari studi Saskia Weiringa apabila kita mau mempelajari sejarahnya dengan benar, gerakan ini berawal dari enam organisasi wanita dari pelbagai wilayah. Nama awalnya adalah Gerakan Wanita Sedar (Gerwis). Para pendiri serta pegiat awalnya merupakan figur-figur yang sudah malang melintang dalam perjuangan nasional. Beberapa aktif dalam pergerakan bawah tanah. Ada yang terlibat pula mengangkat senjata.

Pergerakan pertama organisasi ini adalah melawan penjajahan Belanda. Ketika Konferensi Meja Bundar diselenggarakan, mereka menyatakan penolakan pula dengan pemikiran perjanjian ini akan memuluskan kembalinya modal asing ke Indonesia.

Setelah beralih ke dekade 1950-an kondisi berangsur ajek, garis serta strategi perjuangan organisasi yang memperjuangkan hak-hak wanita ini bergeser. Mereka berpartisipasi dalam pemberantasan buta huruf, pembangunan sekolah, serta penyelesaian masalah buruh tani perempuan di desa-desa dan banyak di antaranya perihal upah serta hak mereka.

Pada tahun-tahun ini, setidaknya menurut kesaksian salah seorang petingginya, jumlah anggota Gerwani bertambah hingga 1,5 juta. Hal ini, memang, tak lepas lantaran organisasi ini menjalin kerja sama yang berarti dengan Barisan Tani Indonesia. Namun, Gerwani pun berhasil mengambil hati orang-orang dengan kancahnya yang militan. Ia dipersepsikan sebagai satu-satunya organisasi yang dapat dan mau membantu menyelesaikan masalah kaum wanita.

Saya mungkin baru bercerita sedikit—sangat sedikit. Dan, kita tak bisa menafikan pula organisasi ini memiliki keringkihan serta konfliknya tersendiri—perebutan pengaruh antara kelompok feminis dan komunis adalah salah satunya. Namun, apabila kita bercermin dengan kondisi kita saat ini, sulit untuk tidak bersimpati setidaknya dengan fakta pernah ada sebuah organisasi perempuan yang jumlah anggotanya luar biasa, menyambangi persoalan nyata para anggotanya, dan secara politis disegani.

Coba kita besuk ingatan jangka pendek kita. Ibu-ibu petani Kendeng yang terancam penghidupannya oleh pabrik Semen belum lama ini harus datang sendiri ke ibu kota, merenggut perhatian publik dengan tubuhnya sendiri—lewat aksi membahayakan menyemen kakinya. Itu pun tanpa jaminan aspirasi mereka yang katanya sudah didengar presiden akan benar-benar digubrisnya.

Bertahun-tahun warga desa mereka melawan pembangunan pabrik di Kendeng. Tak ada yang menanggapi mereka serius. Yang mereka terima justru intimidasi. Cibiran bahwa perlu ada yang menjadi martir dulu dari antara mereka sudah menjadi pembicaraan jauh hari sebelum para ibu mengecor kakinya di depan Istana Presiden. Dan ini pun, lagi-lagi, saya yakin, hanya pucuk dari kemuskilan yang kini memperkeruh kehidupan para wanita di banyak tempat.

Pemblejetan Gerwani, di satu sisi, kita dapat katakan, menengarai dimulainya pengenyahan wadah politik yang berarti agar kepentingan wanita tak termamah turbulensi politik yang dikerumuni pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Namun, masih beruntung apabila dampaknya sebatas satu ini. Penghancuran gerakan perempuan ini, pasalnya, dilakukan dengan modus keji yang sekaligus menistakan dan melumpuhkan kedudukan sosial wanita dalam imajinasi kolektif kita.

Mengapa para anggota Gerwani bukan hanya disandangkan label simpatisan komunisme, yang mana hal ini sendiri sudah fatal, namun juga bejat dan binal? Mengapa mereka diceritakan menikmati para jenderal disiksa dengan penuh birahi dan mengekspresikan kepuasan masokisnya dengan tarian bugil serta pesta seks?

Dan keliru apabila kita beranggapan masyarakat cukup jeli untuk menganggap cerita tersebut terasa terlalu gaib untuk menjadi nyata. Salah seorang mantan pegiat Gerwani yang diwawancara Saskia Sassen menuturkan anaknya, pada satu waktu, bahkan jijik dengannya. Sekolah mengajarkan bahwa Gerwani tak ada bedanya dengan pelacur. Teman-temannya, yang mengetahui ibu sang anak Gerwani, menggunjingkannya.

Dengan pemahaman bahwa wanita dikodratkan bergeming, serba menerima, serta menjadi objek hasrat yang masih membebat masyarakat, hal paling mudah untuk dilakukan rezim yang berkepentingan meruntuhkan legitimasi organisasi ini memang adalah menyelewengkan citra gerakan wanita progresif menjadi kumpulan wanita subversif. Wanita kritis, alih-alih nrimo, cukup diselewengkan sedikit citranya, akan identik dengan pengganggu ketenangan. Diselewengkan sedikit lagi, ia pun identik dengan nakal, tak bermoral. Dan itulah yang terjadi.

Dalam penghancuran salah satu gerakan wanita terbesar yang pernah ada, Orde Baru pun memantapkan paham bahwa wanita baik-baik adalah mereka yang membiarkan urusan-urusan tertentu–perjuangan dan keputusan yang menyangkut hajat hidup khalayak—menjadi urusan laki-laki. Sebelum akhirnya, rezim menyempurnakan pendomestikasiannya melalui pembentukan berbagai organisasi yang menyemai pendamping suami sebagai citra wanita ideal.

Kini, ketika saya mendengar cibiran terhadap ibu-ibu Kendeng bahwa mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan para bapak atau mereka dimanfaatkan aktor intelektual tertentu,
saya seperti melihat ujung lain dari seutas perjuangan yang dulu digagalkan. Demikian juga ketika seorang wanita menjadi korban perkosaan namun wanitalah yang dianggap perlu diatur keleluasaan geraknya di ruang publik—menyiratkan mereka bersalah hanya karena mengganggu keleluasaan gerak lelaki yang memang tempatnya di sana.

Semua berhubungan. Berhubungan dalam satu ideologi yang diumbar sebuah rezim di masa silam untuk meredam perjuangan politik terbesar wanita Indonesia dalam ingatan: Lelaki bertindak, wanita cukup mengada belaka.

[geger riyanto/geotimes.co.id]

Geger Riyanto


Esais, peneliti sosiologi, bergiat di Koperasi Riset Purusha

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment