Thursday, April 21, 2016

Pasal Selundupan di Draf Revisi Peraturan KPU untuk Jegal Ahok?


Dunia Hawa - Untunglah cepat ketahuan, kalau terlambat, bisa jadi semua kerja keras Teman Ahok akan sia-sia, hak demokrasi sebagian warga DKI terabaikan, dan Ahok pun tak mungkin lagi bisa maju lewat jalur perseorangan/independen.

Ternyata, diam-diam dan tiba-tiba di dalam draf revisi kedua Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah, muncul tambahan satu ayat, yang isinya mensyaratkan setiap formulir pernyataan dukungan kepada calon perorangan di pilkada serentak 2017 harus bermeterai! Padahal, sebelumnya, ketentuan seperti ini belum pernah ada.

Tentu saja, ketentuan yang tiba-tiba muncul di Pasal 14 ayat 8 draf Peraturan KPU itu jika disahkan akan sangat merugikan Teman Ahok, para pendukung Ahok yang sudah mendaftarkan KTP-nya, dan Ahok sendiri. Betapa tidak, saat Teman Ahok sudah berhasil mengumpulkan 630.834 KTP pendukung Ahok (data yang tercantum di www.temanahok.com sampai dengan tulisan ini dibuat), atau sudah melebihi syarat batas minimal KTP bagi calon gubernur DKI untuk maju di pilkada DKI 2017, dan di saat batas waktu pendaftaran calon perorangan itu sisa kurang dari tiga bulan lagi, yaitu 13-17 Juli 2017, tiba-tiba muncul draf ketentuan itu.  

Jika ketentuan itu lolos (diberlakukan), berarti Teman Ahok harus bekerja super ekstra keras lagi, 630 ribu lebih KTP yang sudah berhasil dikumpulkan itu terancam kembali mubazir, dan nyaris harus mulai dari awal lagi! Karena semua formulir dukungan yang disertai fotokopi KTP itu harus diulangi dengan menempelkan meterai disertai tandatangan masing-masing pemilik KTP!

Jika ketentuan itu jadi diberlakukan, bisa jadi Teman Ahok akan mengalami frustrasi dan depresi, karena sebelumnya mereka juga sudah berhasil mengumpulkan 730 ribu lebih KTP dukungan terhadap Ahok dalam kurun waktu sekitar satu tahun,  tetapi menjadi mubazir, karena ternyata harus disertai dengan nama calon wakil gubernur juga. Sehingga pengumpulan KTP dukungan terhadap Ahok itu harus diulangi lagi dari nol, dengan menyertakan nama Heru Budi Hartono sebagai calon wakil gurbenur DKI pendamping Ahok.

Dalam konteks ini, timbul pertanyaan di benak saya, dalam kurun waktu satu tahun Teman Ahok mengumpulkan KTP dukungan buat Ahok itu, kenapa dari KPU tidak memberi petunjuk bahwa pengumpulan KTP tersebut harus disertai juga dengan nama pasangan calon kepala daerah juga? Kok, sepertinya KPU sengaja diam, membiarkan kekeliruan Teman Ahok yang sedang bekerja keras mengumpulkan KTP dukungan tersebut agar Ahok bisa maju lewat jalur perorangan.

Untunglah Yusril Ihza Mahendra yang nota bene adalah calon lawan Ahok di pilkada dKI 2017 itu mau memberi petunjuk tersebut.

Keberadaan ketentuan wajib meterai bagi setiap formulir dukungan calon pasangan kepala daerah tersebut baru diketahui saat draf revisi kedua Peraturan KPU itu dibahas dirapat KPU, Senin, 18 April 2016.

Tentu saja, kemunculan draf ketentuan tentang wajib bermeterai itu menimbulkan rasa curiga bahwa ketentuan itu sengaja disusupkan dengan maksud untuk menjegal Ahok yang sudah memutuskan maju lewat jalur independen bersama Heru Budi Hartono, karena terkesan kuat muncul secara diam-diam dan tiba-tiba, di saat Teman Ahok yang sudah berhasil mengumpukan KTP dukungan untuk Ahok melampui batas minimal, dan semakin dekatnya batas waktu pendaftaran bagi calon perorangan.

Jika ketentuan tersebut disahkan (diberlakukan) dalam beberapa minggu ke depan, maka akan menjadi sangat sulit bagi Teman Ahok untuk mengulangi lagi dari awal pengumpulan KTP dukungan terhadap Ahok bermeterai itu sampai mencapai batas minimal (532.000 KTP dukungan), mengingat batas waktu pendaftaran calon perorangan yang kian dekat (13-17 Juli 2016).

Apakah draf ketentuan itu memang disengaja baru disisipkan di saat batas waktu pendaftaran calon perorangan sudah sangat dekat, dengan maksud agar Teman Ahok tidak punya cukup waktu lagi untuk memenuhi persyaratan tersebut?

Siapakah yang mempunyai inisiatif tiba-tiba “menyusupkan” ketentuan kewajiban menggunakan meterai di setiap formulir pendukung calon perorangan di draf revisi Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 itu? Apakah itu inisiatif KPU sendiri? Tetapi, bukankah KPU sendiri mengharapkan pilkada serentak di 2017 itu harus berjalan dengan cepat, efektif, efesien, dan berbiaya seminimal mungkin? Ketentuan tentang wajib formulir dukungan bermeterai itu tentu akan menjadikan pilkada lewat jalur perorangan itu tidak murah, tidak efektif dan efesien.

Jika meterainya harus ditanggung oleh pihak calon pasangan perorangan, tentu akan memberatkan juga bagi yang bersangkutan. Untuk pilkada DKI Jakarta, dengan harus memenuhi minimal 532.000 dukungan, berarti calon pasangan perorangan itu harus menyediakan paling sedikit hanya untuk meterai anggaran sebesar 532.000 x Rp. 6.000 = Rp. 3.192.000.000.

Jika Teman Ahok berhasil mengumpulkan satu juta lebih KTP dukungan, maka dana yang harus disipakan untuk meterai saja menjadi lebih dari Rp. 6 miliar!

Padahal tanpa meterai pun, bukankah KPU pasti akan melakukan juga klarifikasi langsung kepada satu per satu pemilik KTP dukungan itu?

Keberadaan ketentuan “penyusupan” tersebut antara lain dipublikasikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, yang sekaligus mempertanyakan alasan KPU tiba-tiba mengadakan ketentuan itu.

Setelah keberadaan ketentuan itu diketahui publik, barulah KPU menyatakan akan menghapus ketentuan tersebut dari draf revisi.  Ketentuan menggunakan meterai hanya diwajibkan pada surat pernyataan dukungan per desa/kelurahan saja. Hal itu dipastikan oleh Komisioner KP Hadar Nafis Gumay di aula KPU, Selasa, 19 April 2016, katanya: "KPU telah putuskan bahwa penggunaan meterai itu cukup per desa saja."

Kalau bukan KPU yang punya inisiatif mengadakan ketentuan konyol tersebut, lalu siapa?

Maka, patut kita curigai bahwa diam-diam ada pihak lain lawan Ahok yang telah berupaya mengintervensi KPU dengan menyisipkan ketentuan yang berpotensi membuat Ahok gagal maju melalui jalur perorangan itu.

Ini diduga kuat merupakan salah satu cara yang sangat tak patut dari sekian cara menghalalkan segala cara haram dari para lawan Ahok, yang sudah nyaris frustrasi dan kalap untuk menemukan formula yang tepat menjatuhkan dan menggagalkan Ahok untuk meneruskan jabatan gubernurnya lewat pilkada DKI 2017, setelah mereka memastikan bahwa melawan Ahok lewat cara-cara yang bersih dan sportif merupakan hal yang sia-sia, karena pasti kalah telak dari Ahok.

Maka itulah segenap sumber kekuatan pun mulai mereka kerahkan, termasuk dengan mengerahkan kubu mereka di DPR-RI untuk ikut mengintervensi berbagai kasus di Provinsi DKI Jakarta, setelah DPRD DKI Jakarta pun tak berdaya melawan Ahok.

Partai-partai politik di DPR pun rela melakukan deparpolisasi, dengan ikut campur tangan dalam urusan yang sebenarnya merupakan kewenangan Pemprov DKI Jakarta dengan partnernya di DPRD DKI Jakarta, yaitu ikut melawan Ahok lewat semakin mempolitisasi kasus hukum pembelian RS Sumber Waras dan reklamasi pantai utara Jakarta.

Sementara itu, upaya menjegal Ahok lewat jalur formal pun masih terus dilakukan di DPR, yaitu melalui revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dengan semakin memperberat syarat bagi calon perorangan.

Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan syarat bagi calon perorangan di pilkada adalah 6-10 persen dari jumlah penduduk di daftar pemilih tetap (DPT), bukan dari jumlah penduduk keseluruhan dari daerah yang bersangkutan, demi untuk mempermudah dan memenuhi hak demokrasi warga negara yang ingin maju lewat jalur perorangan, tetapi setelah Ahok memutuskan maju di pilkada lewat jalur perorangan, dan dengan mudah memenuhi syarat tersebut, yang sebenarnya karena besarnya kepercayaan warga DKI terhadapnya, parpol-parpol di DPR pun menjadi panik, lalu ingin menjegal Ahok lewat revisi UU Pilkada itu. Syarat bagi calon perorangan ingin mereka revisi dan perberat menjadi antara 15-20 persen dari DPT.

Itulah semangat deparpolisasi yang dilakukan parpol-parpol itu sendiri demi menjegal Ahok. Di sinilah kelihatan sekali, betapa parpol-parpol itu selelalu lebih mengedepankan kepentingannya sendiri daripada mengakomodasi aspirasi rakyat. Hanya untuk menjegal Ahok, dan mengantisipasi munculnya calon perseorangan serupa di kemudian hari, mereka tanpa risih sedikitpun memanfaatkan kewenangan mereka di DPR untuk memperberat syarat calon perorangan itu.

Semangat deparpolisasi itu semakin kian menjadi dengan mulai turun tangannya juga beberapa parpol di DPR RI untuk ikut bergabung dengan lawan Ahok, mempolitisasi kasus-kasus hukum di Provinsi DKI Jakarta, dan cara-cara lainnya apapun metodenya, halal, maupun haram, termasuk menyebarkan kebencian dan fitnah SARA, yang penting Ahok harus dikeroyok, dijegal, dan dijatuhkan secepat-cepatnya.

Namun, seperti yang dikatakan oleh Kompasianer Doni Bastian di akun Twitter-nya: “Orang baik akan selalu dilindungi Tuhan. Difitnah seperti apapun, kredibilitasnya tak akan turun. Itulah Ahok.”

Dan, rakyat Indonesia, khususnya warga DKI Jakarta pun semakin banyak yang pintar dan berwawasan luas, mampu melihat dan menilai secara obyektif dan jujur, siapakah pimpinanya yang layak didukung.
Saat ini, semakin dekat pilkada DKI 2017, semakin banyak kekuatan-kekuatan jahat yang bermunculan untuk menjatuhkan Ahok, fitnah dan menyebarkan kebencian SARA pun menjadi andalan mereka, setelah berbagai upaya lainnya selalu kandas, bahkan berbalik menghantam mereka sendiri, seperti dalam kasus suap reklamasi.

Anggota-angota DPRD DKI Jakarta selalu menyerang Ahok dengan isu suap, terutama dalam kasus pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras, tetapi apa yang terjadi? Justru salah satu anggota mereka, M Sanusi dari Partai Gerindra, yang terkena operasi tangkap tangan KPK, karena menerima suap. Dan, KPK mengindikasi kuat bahwa kolega-kolega Sanusi di DPRD DKI pun bakal menyusul.

BPK dengan hasil audit investigasinya yang diduga dibuat untuk menjatuhkan Ahok pun, kini keadaan mulai berbalik, dengan mulai terbuka borok-boroknya sendiri, di antaranya terkuaknya Ketua BPK Harry Azhar Aziz yang diam-diam punya perusahaan offshore di Panama Papers, dan selama ini tidak pernah melaporkan harta kekayaannya (LHKPN) ke KPK.

Demikian juga dengan upaya menyelundupkan ketentuan di revisi Peraturan KPU tentang wajib meterai untuk setiap formulir pendukung calon pasangan perorangan di pilkada tersebut di atas, terbongkar pula ke publik sebelum itu terlanjur disahkan, dan memaksa KPU untuk menghilangkan syarat tersebut.

Benarlah jika dikatakan bahwa firman Tuhan di Alkitab terjadi di peristiwa-peristiwa ini. Firman yang tertulis di Kitab Roma 12:19: “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.

[daniel h t / kompasioner]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment