Saturday, April 16, 2016

BPK, Revolusi Mentallah Kau!


Dunia Hawa -BPK dalam menjalankan fungsi nya sebagai auditor negara, berdasarkan Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara. Dan diundangkan dengan UU no. 15 thn 2006 tentang BPK. 

Lalu sebagai alat kerjanya, BPK menggunakan UU sebagai berikut:

UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
UU No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Ketua / Wakli Ketua / Anggota BPK disumpah, sebagai berikut:

”Demi Allah Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya,
untuk menjadi Anggota (Ketua/Wakil Ketua) BPK langsung atau tidak
langsung dengan rupa atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan
sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan
menerima langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji
atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya akan
memenuhi kewajiban Anggota (Ketua/Wakil Ketua) BPK dengan sebaikbaiknya
dan dengan penuh rasa tanggung jawab berdasarkan UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan
perundang-undangan lain yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban
tersebut.
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya akan setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Menilik kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini, maka amat menarik, bahwa BPK lebih merupakan kumpulan badut, yang hasil auditnya ternyata tidak benar. Status Wajar Tanpa Pengecualian ternyata adalah status yang tidak jelas. Ini terbukti dengan Provinsi Banten, Riau, Sumut. Wajar Tanpa Pengecualian artinya, pengelolaan sempurna, anggaran dipakai sesuai peruntukan, tidak ada kerugian negara. Tetapi, Gubernurnya semua menjadi tersangka dan terpidana karena pidana KORUPSI.

Maka, melihat dari kejadian tersebut, maka dirasakan perlu untuk mereformasi BPK secara keseluruhan. Tidak ada yang bisa dipercaya lagi dari BPK. Ada beberapa alasan kenapa bisa timbul hal tersebut:

Auditor tidak memiliki kemampuan inteligensia dan kecakapan yang cukup, sehingga memberikan status Wajar Tanpa Pengecualian, padahal pengelolaan keuangan amburadul.
Auditor mendapatkan imbalan untuk memberikan status Wajar Tanpa Pengecualian.
Auditor tidak dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, ketika melakukan pemeriksaan.
Auditor ditekan oleh atasan, keadaan dan atau sistem, sehingga terpaksa memberikan status Wajar tanpa Pengecualian.
BPK memanfaatkan UU no. 15 thn 2006, Pasal 26  (1) Anggota BPK tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena menjalankan
tugas, kewajiban, dan wewenangnya menurut undang-undang ini.

Tetapi, di Pasal 27:
Dalam hal terjadi gugatan pihak lain dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, BPK berhak atas bantuan hukum dengan biaya negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 Dan mereka lupa, ketika seorang Kepala Daerah yang pengelolaan keuangannya dianggap bersih dan tidak merugikan negara, kemudian ditetapkan oleh pengadilan telah menimbulkan kerugian negara, maka ketetapan pengadilan dapat menjadi petunjuk awal untuk menyidik BPK. Karena unsur menimbulkan kerugian negara bukan lagi indikasi tetapi bukti yang berkekuatan hukum.

Karena kejadian ini terus menerus berulang, maka sebaiknya, untuk saat ini, sebaiknya dalam jangka waktu sementara, negara menggunakan Auditor Independen. Karena BPK sdh dalam tahap kronis.

Dan, sementara itu, mengambil langkah-langkah memperbaiki BPK, sebagai berikut:

Memeriksa ulang track record dari para auditor dan para pejabat teras BPK, serta semua yang terkait di BPK.
Memeriksa auditor yang telah membuat status Wajar Tanpa Pengecualian, apabila ditemukan pemalsuan informasi dan data, padahal telah terjadi kerugian negara, maka mereka wajib dipenjarakan.
Menambahkan pasal dalam UU tentang BPK. Pasal yang penting adalah apabila di kemudian hari, hasil audit BPK ternyata salah, maka orang yang membuat status Wajar Tanpa Pengecualian ataupun Wajar Dengan Pengecualian, harus mempertanggung jawabkan secara perdata maupun pidana.

Hal paling praktis yang perlu dilakukan pada saat ini adalah:

Ketua BPK harus segera mundur. Hal ini karena namanya tercantum dalam Panama Papers. Apa pun alasannya, hal ini sama saja dengan pengkhianatan kepada negara. Seorang Kepala BPK adalah pemeriksa/auditor tertinggi di negara ini. Kalau Auditor tertinggi menyembunyikan fakta dia memiliki perusahaan di negara asing, maka dia telah melanggar etika, moral dan hukum pidana perpajakan. Apakah pantas dia tetap menjabat?
Harus dibentuk suatu badan Adhoc untuk memperbaiki sistem Audit Keuangan Negara, sesegera mungkin.
BPK harus dibekukan dalam jangka waktu tertentu.
Diangkat auditor independen untuk sementara menjalankan fungsi BPK.
Mengundang KPK untuk memeriksa Ketua, Wakil dan Anggota serta para auditor BPK yang terindikasi melakukan penyelewengan.
Apabila terindikasi penyelewengan wewenang, maka aparat POLRI dapat dililbatkan untuk menyidik oknum-oknum yang terlibat.

Suatu keadaan yang telah berjalan terus menerus, menjadi ritual, bahwa pengelolaan APBN  yang diperiksa oleh BPK dan harus mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian. Maka, tidak heranlah, akhirnya, tugas BPK menjadi tukang stempel dengan memberikan status WTP.

Adalah sangat wajar, bila saat ini, BPK dianggap dalam keadaan tidak mampu bekerja. Karena sudah terlalu banyak kesalahan audit yang dilakukannya. Karena itu, lebih baik BPK dimasukkan ke dalam 'bengkel', diperbaiki total. Sparepart yang usang, diganti yang asli, kalau perlu mesinnya pun diganti yang baru. Kalau BPK masih disuruh bekerja, maka pasti tidak dapat diperbaiki dengan baik. Peran dari suatu Auditor Keuangan adalah sangat teramat penting. Tetapi, kalau yang mengaudit sedang sakit, maka hasilnya bukan hanya salah, tapi ngaco!

Dan sepertinya untuk pertimbangan hukum, seorang aparat yang melanggar hukum, yang di mana dia berwewenang melakukan penindakan atau pemeriksaan, harus dihukum berlipat kali dari pada masyarakat awam biasa yang melakukan pelanggaran.

Demikian pendapat saya.

[anto medan]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment