Friday, April 22, 2016

Apakah Muslim dan Kristen Menyembah Tuhan Yang Sama?


Dunia Hawa - Ketika saya katakan “Muslim dan Kristen percaya dan menyembah Tuhan yang sama”, muncul tuduhan bahwa saya menyamakan Islam dan Kristen. Tuduhan ini ngawur karena kedua agama itu jelas berbeda. Yang lebih ngawur lagi, ada yang mempertanyakan kenapa saya tidak pindah agama saja jika Tuhan kaum Muslim dan Kristiani sama.

Cara mudah menjawab tuduhan begini ialah dengan analogi, walaupun lemah secara filosofis. Jika Anda sudah menjatuhkan pilihan pada pasangan Anda karena apa pun alasannya, tidak berarti Anda bisa seenaknya gonta-ganti pasangan hanya karena ada kesamaan, misalnya atraktif. Anda bisa saja menganggap orang lain atraktif (paling hanya dijitak oleh pasangan Anda!) dan tidak harus menikahinya. Walaupun ciri yang sama ada pada orang lain, ada hal-hal yang menyebabkan Anda tetap setia pada pilihan Anda itu.

Sebagaimana saya tulis sebelumnya, al-Qur’an sendiri menegaskan secara eksplisit bahwa Tuhan kaum Muslim dan ahlul kitab itu sama. Persoalannya, bagaimana Tuhan yang sama ini diekspresikan berbeda? Jika dalam Kristen, Tuhan menjelmakan dirinya dalam diri Yesus sebagai koinonia (perjumpaan dan keterlibatan Ilahi untuk keselamatan umat manusia), dalam Islam Tuhan digambarkan demikian transenden yang tidak menjelmakan dirinya, melainkan kehendaknya melalui al-Qur’an.

Makanya, sejumlah ahli perbandingan agama mengusulkan yang dibandingkan itu bukan al-Qur’an dan Bible, tapi al-Qur’an dan Yesus. Karena, jika dalam Islam firman Tuhan menjadi kitab (inlibration), dalam Kristen firman menjadi Yesus (incarnation).

“Tuhan yang Diciptakan”
Konsep teologis inlibrasi dan inkarnasi menggambarkan betapa berbedanya kedua agama ini menggambarkan Tuhan yang sama. Dalam Islam, al-Qur’an menempati posisi sentral karena Tuhan mengkomunikasikan kehendaknya melalui kitab ini. “Itulah kitab yang tiada keragunan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,” begitulah bunyi ayat kedua surat al-Baqarah. Jika ingin tahu apa kehendak Tuhan, baca kitab ini.

Yang menjadi pusat pewahyuan dalam tradisi Kristen bukanlah kitab (Bible), melainkan diri Yesus sebagai penjelmaan Tuhan yang sempurna. Bagi Kristen, Yesus ialah inkarnasi Tuhan, sementara Bible diyakini sebagai kesaksian normatif tentang Tuhan yang menjelmakan dirinya. Teks tertulis itu sendiri bukan fokus, melainkan berfungsi sebagai pernyataan tentang keterlibatan Tuhan dalam sejarah Israel kuno, di dalam diri Yesus, dan dalam hidup generasi awal para pengikutnya.

Walaupun penjelasan di atas bersifat karikatur dan menyederhanakan, tapi kita bisa lihat betapa perbedaan konsepsi wahyu (dalam Islam, Tuhan mewahyukan kehendaknya dalam al-Qur’an; dalam Kristen, Tuhan mewahyukan dirinya dalam Yesus) punya implikasi penting bagi status al-Qur’an dan Bible. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita tidak memahami atau memaksakan konsep wahyu dalam satu agama untuk diterapkan pada agama lain. Saya akan tulis tema ini di lain waktu.

Yang ingin saya diskusikan di sini ialah implikasi teologis dari perbedaan konsepsi wahyu tersebut. Kenapa Tuhan yang sama diekspresikan begitu berbeda?

Sebagai titik-berangkat, ada baiknya kita renungkan penjelasan Ibn Arabi, sufi abad ke-13, tentang Tuhan. Bagi Syeikh Akbar, setiap konsepsi tentang Tuhan yang kita kembangkan sebenarnya bukan Tuhan itu sendiri, melainkan “Tuhan yang diciptakan dalam keyakinan” (al-ilāh al-makhlūq fi al-I‘tiqādāt). Perbedaan ekspresi (‘ibrah) tentang Tuhan merupakan sesuatu yang lumrah, karena Tuhan yang misteri memang memungkinkan untuk dikonseptualisasi secara beragam. Di balik ekspresi yang berbeda terdapat Tuhan yang sama.

Ekspresi berbeda tentang Tuhan yang sama dipertegas lagi dalam hadits qudsi, “ana fī dhanni ‘abdī bī” (aku seperti yang dibayangkan hambaku tentangku). Yang manjadi masalah, kata Ibn Arabi, ialah ketika orang atau sekelompok orang tidak lapang dada dan menyalahkan orang lain yang punya ekspresi berbeda tentang Tuhan. Apa kata Ibn Arabi tentang sikap seperti itu? “Itu adalah tanda-tanda kebodohan!”

Pandangan Syeikh Akbar ini perlu kita refleksikan kembali. Ketegangan yang ditimbulkan oleh perbedaan ekspresi ketuhanan, yang satu menekankan transendensi dan yang lain penjelmaan diri, telah menyedot energi umat Muslim dan Kristen sejak ratusan tahun sejak pertemuan kedua agama ini. Tujuan Ibn Arabi jelas bukan untuk merelatifkan pemahaman ketuhanan setiap agama, melainkan untuk menekankan misteri Tuhan. Apakah Tuhan dapat diketahui (knowable) atau tidak (unknowable) adalah persoalan ontologis-epistemologis yang tak pernah selesai didiskusikan.

Sejauhmana Tuhan atau sifat-sifatnya bisa diketahui merupakan tema dialog dan perdebatan yang melibatkan tokoh-tokoh Muslim dan Kristen sejak pertemuan mereka yang cukup awal. Beberapa dialog mereka direkam dan dapat dipelajari, walaupun mungkin bukan transkrip dari perbincangan yang sebenarnya terjadi. Misalnya, dialog antara Patriark Yuhanna I dan seorang amir Muslim yang terjadi di tahun 644, atau Patriark Timothy I dan khalifah al-Mahdi. Juga debat antara Theodore Abu Qurrah dan sejumlah teolog Muslim di Istana Khalifah al-Makmun.

Seperti diduga, perdebatan mereka berpusat pada soal konsep ketuhanan Kristen, yakni Trinitas. Yang menarik, apa yang dipersoalkan saat ini sebenarnya sudah mereka diskusikan lebih dari seribu tahun yang lalu. Bahkan, kesan saya, berbagai pertanyaan tentang Trinitas yang muncul sekarang lebih elementer daripada yang dulu mereka diskusikan.

Tauhid dan Trinitas: Dua Konsep yang Sulit
Membaca berbagai komentar tentang tulisan saya, “Umat Kristen Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir” (Geotimes, 15 April), tampak bahwa yang mereka persoalkan ada dua: (1) Trinitas itu tidak masuk akal dan (2) tidak jelas sumbernya karena tidak disebutkan dalam Bible. Dulu, para teolog Kristen sudah berupaya menunjukkan aspek “rasionalitas” Trinitas, misalnya, dengan menganalogikan dengan matahari yang bersinar dan panas. Sinar dan panas tidak bisa dipisahkan dari matahari. Ketiga aspek (matahari, sinar, dan panas) ialah satu.

Seperti saya katakan, analogi memang bukan argumen filosofis yang kuat, tapi cukup untuk menjawab mereka yang berpikir pendek. Ketika pertanyaan yang sama kembali muncul pada abad ke-13, Thomas Aquinas memberikan jawaban yang lebih meyakinkan. Doktrin Trinitas, kata Aquinas, tidak bisa sepenuhnya didasarkan pada akal karena apa pun penjelasan rasional tetap punya keterbatasan. Misteri itu perlu dipahami dari wahyu.

Lalu, wahyu yang mana jika kata “trinitas” sendiri tidak ditemukan dalam Bible? Pertanyaan ini muncul karena ketidakpahaman soal konsep wahyu dalam tradisi Kristen. Seperti saya jelaskan di awal, wahyu dalam Kristen ialah penjelmaan Tuhan (disclosure of God) dalam Yesus untuk menebus dan menyelamatkan umat manusia. Keterlibatan Tuhan dalam sejarah keselamatan dipahami lewat ruh kudus. Dari sinilah misteri Trinitas (Bapa, Anak, dan Ruh Kudus) dipahami dan dirasakan oleh kaum Kristiani.

Jika masih ada yang ngeyel menyebut Trinitas sebagai konsep rumit, apakah tauhid dalam Islam konsep ketuhanan yang mudah dipahami? Jawabnya, tidak. Keduanya merupakan konsep yang berkembang perlahan dalam sejarah teologi, yang didorong oleh keingintahuan manusia tentang watak Tuhan. Jika Tuhan bersifat kekal, apakah sifat-sifatnya juga demikian? Pertanyaan ini melibatkan perdebatan panjang di kalangan teolog Muslim awal karena memang sulit menemukan jawaban yang memuaskan semua pihak.

Maka, berbagai dimensi tauhid seperti tauhid al-dzat, tauhid sifat, tauhid uluhiyah, dan tauhid rububiyah itu dikembangkan untuk menjelaskan kerumitan konsep monoteisme Islam yang begitu ketat. Beberapa teolog Kristen awal yang menulis karya-karyanya dalam Bahasa Arab, seperti ‘Ammar al-Basri dalam kitab al-Burhan, sudah mencoba menjelaskan Trinitas dengan menggunakan terminologi kalam, seperti sifat-sifat Tuhan, agar Trinitas dapat dipahami kaum Muslim.

Dari berbagai dialog dan perdebatan yang melibatkan ulama Muslim dan Kristen itu terlihat betapa masing-masing pihak memiliki gairah kuat terhadap keyakinan sendiri, tapi juga bersemangat untuk menjadikan keyakinannya dapat dipahami pihak lain. Soal doktrin ketuhanan memang sulit dan seringkali dihindari untuk diskusikan dalam dialog lintas agama. Namun demikian, perbincangan semacam itu juga berpotensi memperkaya pertemuan Muslim dan Kristen, bukan justru menghambat hubungan baik.

Akhirul kalam, mari kita saling menghargai perspektif keagamaan yang berbeda. Menekankan persamaan (commonalities) itu penting, namun tak kalah pentingnya ialah menghargai perbedaan. Walaupun kaum Muslim dan Kristen percaya dan menyembah Tuhan yang sama, biarkan mereka tetap setia pada agama masing-masing.

[mun'im sirry/ geotimes.co.id]
http://geotimes.co.id/author/munim-a-sirry/

Mun'im Sirry

Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA.

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment