Ketika saya menganjurkan untuk menjadikan sains sebagai salah satu pedoman hidup, saya mendapat nasihat untuk tidak mendewakan akal. "Akal manusia itu sangat terbatas. Sebatas otak saja. Otak itu kalau tidak dialiri oksigen tidak akan sanggup bekerja. Makanya, gunakan ilmu Tuhan yang maha luas. Mengaculah pada kitab suci. Jadikan kitab suci sebagai petunjuk."
Sebentar. Basis kritik di atas adalah pengetahuan hasil pengolahan akal, bukan petunjuk kitab suci. Kitab suci tidak pernah membahas fungsi otak sebagai organ untuk berpikir. Bahkan sejauh yang saya ketahui, tidak membahas eksistensi otak sama sekali. Kitab suci mengatakan bahwa akal manusia dikelola dengan jantung (dalam bahasa Indonesia disebut hati), yang tempatnya ada di dalam dada. demikian pula soal fungsi oksigen pada otak. Kitab suci tidak mengenal oksigen, dan tentu saja tidak membahas fungsinya pada otak. Jadi pernyataan di atas paradoks dengan maksud pengucapnya untuk mengacu pada kitab suci. Terlebih, pernyataan itu diungkapkan melalui media internet, sebuah produk yang dibangun manusia dengan akal, bukan dengan merujuk pada kitab suci.
Benarkah otak dan akal manusia itu terbatas? Kalau kita melihat struktur tubuh manusia, tentu kita harus mengakui bahwa otak manusia itu ada batasnya. Demikian pula halnya dengan akal, produk yang dihasilkan otak. Persoalannya, di mana batas tersebut?
Kapasitas (storage capacity) otak manusia diperkirakan antara 10-100 terabyte. Tapi ada pendapat yang mengatakan bahwa kapasitas memori otak manusia mencapai 2,5 petabyte. Kapasitas itu setara dengan 3 juta jam siaran TV. Maksudnya, kalau seluruh data video dan audio siaran TV itu disimpan selama 3 juta jam, data itu masih sanggup ditampung oleh otak. 3 juta jam itu setara dengan 300 tahun. Jadi, kapasitas otak manusia itu setara dengan data siaran TV selama 300 tahun. Itukah yang disebut terbatas?
Tapi persoalannya bukan sekedar kapasitas fisik belaka. Data yang tersimpan di otak kita tidak semuanya berasal dari proses belajar kita sendiri. Sebagian besar pengetahuan kognitif kita sebenarnya adalah akumulasi dari pengetahuan seluruh manusia selama ribuan tahun. Kita mendapat transfer ilmu pengetahuan dari manusia sebelum kita. Ketika manusia belajar sesuatu, ia tidak perlu lagi mengulang pencarian yang sudah selesai dilakukan oleh orang pada masa sebelumnya.
Di zaman modern ini kita tidak lagi mereka-reka bentuk atom. Model atom yang dulu dikembangkan Dalton, Rutherford, dan Bohr, sudah berkembang jauh. Manusia kini berpikir tentang sub-partikel, dan dunia yang lebih kecil dari itu. Di masa depan orang akan berpikir tentang atom mulai dari titik terdepan yang dihasilkan oleh sains. Nah, kita bisa bayangkan bahwa batas kemampuan berpikir manusia itu sendiri dinamis, bukan statis. Ibarat kita sedang berlayar di laut, kita melihat garis cakrawala, dan (dulu) orang mengira, itulah batas tepi laut. Tapi ketika kita berlayar lebih jauh lagi, batas itu ikut maju. Apa yang dulu tidak diketahu manusia, kini diketahui. Yang dulu mustahil diselesaikan, kini berhasil. Yang kini belum kita ketahui, akan kita ketahui di masa depan.
Jadi, terbataskah otak dan akal kita? Iya, terbatas. Tapi kita tidak tahu batasnya. Jadi, pernyataan soal batas akal manusia itu adalah pernyataan kelemahan dari orang-orang yang memang tidak mau menggunakan akalnya.
Bagaimana dengan kitab suci? Kitab suci ya begitu itu. Ia tidak berubah, karena tidak boleh dan tidak mungkin diubah. Ia masih memuat pernyataan-pernyataan yang dianut manusia belasan abad yang lalu. Eh, tentu saja saya mafhum bahwa ada banyak manusia yang percaya bahwa apapun yang dikatakan sains, semua sudah tercantum dalam kitab suci. Cuma sayangnya, mereka baru sadar kandungan itu setelah ilmuwan merumuskannya. Tanpa sadar orang-orang ini bahkan menggunakan sains sebagai panduan untuk memahami isi kitab suci.
[hasanudin abdurakhman/ kang hasan]
No comments:
Post a Comment