Monday, May 8, 2017

“Premanis Agama” yang Tuli dan “Macan Asia” yang Mengembek


DUNIA HAWA 
Singkat saja, aku ingin menuliskannya!

Musuh-musuh Jokowi dan Ahok paling utama bisa dilihat sejak awal adalah dari kalangan borjuis birokrat di kalangan DPRD yang adalah para mafia anggaran. Mereka merupakan sub-mafia saja dari mafia yang lebih besar yang tentunya juga tinggal di Jakarta. Karena itu kita bisa lihat seru dan hiruk-pikuknya Pilkada Jakarta tahun 2012 ketika Jokowi menghadapi Foke, yang sebenarnya tidak banyak berbeda dengan Pilkada Jakarta sekarang. Musuh-musuh Jokowi dan Ahok masihlah sama, yaitu rezim oligarki rente Jakarta, yang sebenarnya representasi saja dari rezim oligarki rente nasional. (Bonie)

Cagub terpilih DKI Anis-Sandi, tentu kita semua tahu yaitu mewakili kekuatan Prabowo, PKS, “Premanis Agama”, dan simpatisannya para capital. Jelas sekali pertentangan ini adalah kelanjutan dari pertentangan di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Yang kemudian juga akan berlanjut pada tahun 2019 dalam Pilpres dengan orang-orang lama.

Suhu politik Nusantara yang memanas sebenarnya tidak terlepas juga dari opini yang ramai, dan perang dimedia. Tentunya masing-masing saling menyuarakan kepentingan sekaligus keberpihakan. Keadilan pun bisa disebut sebuah kepentingan, namun hal demikian akan menjadi indah jika untuk kemaslahatan umat (publik) bukan diatas kepentingan sepihak.

Lalu kenapa yang muncul ke permukaan adalah ormas masyarakat yang dalam konteks keagamaan seperti Front Pembela Islam yang populer dengan tindakan barbar? Hal ini sudah dijawab dalam histori, dimana pertentangan-pertentangan ataupun kontradiksi sebelumnya, ormas yang cenderung premanisme, dengan bertopeng agama, merupakan alat paling ampuh dalam memobilisasi massa yang juga sekaligus sangat mudah sekali dibakar sentimen-sentimen SARA.

Bisa kita lihat dalam orde baru, saat platform partai dan militer tidak lagi bisa terlalu diandalkan, maka untuk melanggengkan kekuasaan mengangkat Isu SARA dan primordial. Bedanya dengan saat ini, Isu SARA di orde baru untuk mempertahankan dominasi, kalau sekarang ini untuk merebut demokrasi. Ironisnya pelakunya sama saja, yang juga pernah menjadi bagian Orba, jikapun tidak ada juga yang mengkhianati perjuangan reformasi itu sendiri.

Ormas “premanis agama” akan selalu menggunakan sentimen agama melawan apa yang mereka anggap “kafir” (versi mereka), seperti menjadi pembenaran tunggal. Para borjuis oligarki produk dari sistem captalistik termasuk juga imperialisme global, paham betul bahwa hal demikian bisa dijadikan alat untuk adu domba agar dapat mendominasi kekuasaan termasuk Proxy War, bisa kita lihat dalam perang di Timur Tengah.

Belakangan ini mengenai fenomena peradilan yang bisa disebut sesat adalah atas nama penodaan agama yang ditujukan kepada Ahok (Cagub DKI)? Yang mana hal ini juga dikaitkan dengan tumbuhnya komunis baru, bahkan presiden Jokowi sendiri difitnah secara keji.

Saya pribadi melihat pada kenyataannya rezim hari ini bisa disebut sebagai simbol dari perjuangan untuk menaklukan borjuis oligarki. Melawan kekuatan borjuis rente yang terus menerus merusak bangsa untuk kepentingan sepihak serta menggerogoti perekonomian dan perpolitikan Nusantara.

Borjuis oligarki yang haus kekuasaan tentunya akan selalu menggunakan cara apapapun dalam melawan yang bisa kita sebut kaum reformis sejati. Termasuk dengan cara berkeluh kesah ataupun mengumbar kebaperan di depan publik yang tak lain untuk membangun emosional masyarakat. Kontradiksi saat ini dapat menentukan jalannya histori Nusantara untuk ke depan. Dan hal ini akan berlanjut hingga Pilpres 2019 nanti.

Mereka bisa kita sebut buta dan tuli, menganggap mayoritas dizalimi oleh kekuasaan saat ini, sementara pada kenyataannya tidak demikian. Dan Agama kembali dijadikan kekuatan untuk membangun emosional, sementara nawaitunya adalah merebut kekuasaan karena ruang mereka mulai terasa sempit.

Mereka benar-benar buta dan tuli. Mari kita belajar melihat realita dengan welcome.

Nusantara saat ini hampir 88 juta masyarakat memegang Kartu Indonesia Sehat dan hampir 19 juta memegang Kartu Indonesia Pintar, dan semoga jaminan ini masuk dalam konstitusi dasar. Akan tetapi jaminan ini hendaknya diimbangi dengan pelayanan yang berkualitas yang baik dan menindaki petugas yang korup. Jaminan seperti ini adalah salah satu prestasi gemilang rezim saat ini.

Ketika Jokowi ke Hongkong, menemui buruh migran, ada salah satu buruh yang mengucapkan terima kasih, karena orang tua nya di Lampung, berobat tanpa biaya. Jika tidak memiliki kartu KIS harus terbeban biaya sampai 7 juta, buruh migran ini juga menyebutkan hal ini baru terjadi di rezim Jokowi.

Kemudian yang paling mengharukan lagi rezim saat ini, adalah membangun pinggiran, pedalaman, serta pemerataan harga BBM sampai ketimur. Indonesia tidak bisa hanya fokus pada Jawa, harus setara seluruh Indonesia. Semua ini memang belum sempurna tapi dengan pelan mandat Founding Father pendiri bangsa mulai dijalankan, yang belum dijalankan pada rezim sebelumnya.

Lalu BUMN mulai dijadikan pilar ekonomi, yang sesuai dan seperti mandat Nawacita dan Trisakti Bung Karno. Karena dengan menjadikan BUMN sebagai pilar ekonomi, hal ini dapat menaklukkan oligarki dalam sistem capitalistik. Hingga bangsa kita menjadi bangsa yang mandiri.

Umat mana yang mau dibangkitkan, mayoritas yang mana yang sangat dizalimi, bukankah semua mulai merasakan betapa merakyatnya rezim hari ini, mereka benar-benar buta dan tuli. 

“Premanis agama” menyebutkan pemimpin saat ini antek komunis yang atheis. Lah Soekarno itu piyedengan Nasakom nya? Soekarno tidak atheis, Tan aja pandai mengaji bahkan al-hafiz, Soe hok Gie aja nasrani, para pendiri bangsa semua beragama, yang menghendaki bangsa ini berkeadilan sosial (sosialis), jadi atheis piye Zik? 

“Premanis agama” tak peduli, karena mereka tuli, dan mereka tetap teriak mari tegakkan khilafah untuk kebangkitan umat. Kita fundamental di adu domba dengan Islam tradisi. “Kom” gaya baru sudah muncul lagi, mereka kafir atheis.

Sejauh mana mereka memahami Pancasila, hingga sanggup meneriakkan tegakkan khilafah untuk kebangkitan umat. Ini pemahaman yang dangkal sekali, justru mereka mengembalikan Islam ke era primitif bukan pada kejayaan.

Rezim sebelum-sebelumnya, ribuan aktivis dan mahasiswa yang sering turun kejalan menuntut keadilan sosial, luh pade kemane saat itu? Sementara yang dituntut pada rezim sebelumnya jelas strategis oleh berbagai aktivis dan kawan-kawan mahasiswa, karena begitu banya ketimpangan yang dilakukan oleh dominasi kekuasaan pada saat itu. Gak ada mereka yang antusias ikut demo seperti yang mereka lakukan sekarang, mereka tak peduli karena sudah tuli oleh oligarki, dan dibelakangnya Macan Asia mengembek tak mengaum, karena tuli dia pun mau berlaga lagi.

Rezim hari ini harus segera mengambil sikap tegas, ini bukan saja untuk tetap mempertahankan kekuasaan, melainkan lebih dari itu yaitu mempertahankan keutuhan NKRI. Mereka tak peduli dengan kepentingan publik yang mulai dibangun, mereka tak peduli jaminan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, mereka tak peduli pemimpin yang merakyat, mereka tak peduli untuk memberantas korupsi dan pungli, mereka tak peduli apa itu Pancasila dan apa itu kemajemukan, mereka tak peduli untuk Indonesia mandiri dan bermatoabat, mereka tak peduli tentang keadilan sosial yang mulai berjalan.

Yang mereka peduli mewujudkan kepentingan oligarki, Neokolonial dan imperial untuk menguasai politik-ekonomi guna kepentingan golongan. Dengan menggunakan “Premanis Agama” yang sama seperti mereka yaitu buta dan tuli.

Isi bumi Indonesia cukup untuk rakyatnya bahkan bisa lebih, akan tetapi tak kan cukup untuk satu orang yang serakah.

@losa terjal


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment