Sunday, May 7, 2017

Pilkada DKI berakhir, Giliran Anies-Sandi Memenuhi Hasrat Para Tuannya


DUNIA HAWA - Aksi 55 merupakan aksi penutup dari serangkain aksi bela Islam yang berlangsung sejak awal November tahun lalu. Hal ini diungkapkan oleh Waketum Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF MUI) Zaitun Rasmin. Zaitun menyatakan aksi 55 merupakan aksi terakhir yang berkaitan dengan kasus Basuki T Purnama.

“GNPF tidak akan lagi melakukan aksi-aksi dalam kasus penistaan agama oleh Ahok,” ucap Zaitun kepada massa di Masjid Istiqlal, Jum’at (5/5/2017).

“Ini aksi penutup daripada aksi menuntut penista agama. Selain aksi dijalan, kita lakukan dialog sampai kepada bapak wakil presiden (Jusuf Kalla),” ujar Zaitun.

Aksi yang dipicu oleh beredarnya potongan video kunjungan kerja gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama ini telah menyita perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia. Bukan hanya media lokal, bahkan media internasional juga ikut menyoroti hal ini. Potongan video yang digoreng dengan kalimat SARA oleh Buni Yani berhasil menggiring opini publik.

Sejak saat itu, Ahok menjadi bulan-bulanan massa yang terprovokasi oleh pernyataan Buni. Akibat ulahnya, Buni pun harus berurusan dengan hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, disisi lain justru orang-orang yang selama ini benci dengan Ahok, seperti mendapat angin segar. Secara beramai-ramai opini pun dibangun dengan menyerang karakter Ahok.

Melalui aksi bela Islam yang berlangsung sampai berjilid-jilid, secara membabi buta mereka menuntut Ahok dipenjara dan dicopot jabatannya. Mereka tidak mau tahu, meski kasus hukum Ahok masih berlanjut dipersidangan. Hal ini pun memantik reaksi dari kalangan yang pro terhadap Ahok. Mereka menganggap, kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, syarat akan kepentingan politik, mengingat pada waktu itu masih dalam nuansa pilkada DKI.

Terlepas dari itu, banyaknya jumlah massa yang hadir dalam aksi justru menimbulkan spekulasi lain, selain unsur politik yang dibangun untuk menyudutkan Ahok, ada pihak yang sengaja mendanai dan mengakomodir aksi tersebut. Sebagaimana kita tahu, dalang dibalik aksi itu merupakan lawan-lawan Ahok yang sejak lama sudah membidik Ahok.

Meski aksi berhasil diredam dengan mempreteli beberapa koordinator lapangan terkait upaya makar, namun tak menggoyahkan semangat mereka untuk melancarkan aksi berikutnya. Dan seperti yang kita lihat, aksi 55 adalah penutup dari serangkaian aksi yang berlangsung. Perjuangan pun tak sia-sia, upaya kotor yang mereka lancarkan berhasil menempatkan pasangan Anies-Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta terpilih.

Melihat hasil perolehan suara pasangan Anies-Sandi yang cukup drastis diputaran kedua, maka terjawab sudah politik SARA yang mereka bangun berhasil menumbangkan Ahok. Tentu hal ini tak lepas dari orang-orang berada dibelakang Anies-Sandi.

Banyak kalangan yang menyayangkan berlangsungnya aksi tersebut. Mereka yang selama ini berada dibelakang Ahok, menganggap kekalahan Ahok sebagai kekalahan demokrasi. Jika memang benar Ahok menistakan agama, kenapa aksi yang mereka anggap untuk membela Islam, justru berakhir ketika syahwat politiknya tercapai?

Berikut kesimpulannya :


Pertama, Tujuan mereka murni untuk memenangkan pasangan Agus-Sylvi maupun Anies-Sandi. Terbukti, ketika Agus tumbang diputaran pertama, sudah ada deal-deal politik yang dibangun untuk memenangkan pasangan Anies-Sandi. Maka tak heran, suara yang diperoleh pasangan Anies-Sandi pada putaran kedua, berubah secara drastis dibandingkan putaran pertama. Itu artinya, sebagian besar suara Agus berpindah ke suara pemilih Anies.

Dan hal itu juga diungkapkan oleh Zulkifli Hasan, yang menjadi tim pemenangan sekaligus pimpinan partai koalisi pendukung Agus-Sylvi maupun Anies-Sandi. Pada awalnya, baik partai pengusung Anies maupun Agus ingin membentuk koalisi untuk mengalahkan Ahok.

Namun, saat itu pihak SBY sudah terlanjur mau mengumumkan akan mengusung AHY dan Sylviana Murni. Sehingga pihak SBY dan Prabowo tak berada di satu koalisi. Meski demikian, kesepakatan tetap dibangun antara partai pengusung Anies-Sandi maupun partai pengusung Agus-Sylvi bahwa harus ada perubahan di Jakarta.

“Karena kami enggak sanggup gubernur yang gaduh terus, sudah enggak sanggup dah. Orang Betawi bilang udah enggak tahan dah. Jadi sepakat kita mesti ada gubernur baru,” ucap Zulkifli.

“Jadi kalau kami menang, yang sana gabung. Kalau sana menang, kami yang gabung. Janji laki-laki,” tuturnya.

Kedua, dengan berakhirnya aksi bela Islam, berarti berakhir pula dana yang dikucurkan untuk kepentingan tersebut. Sebagaimana kita tahu, dana yang dikeluarkan jumlahnya tak sedikit, mengingat jumlah massa yang diokomodir begitu banyak. Tak hanya biaya konsumsi, dari info yang beredar dana transportasi pun ditanggung oleh pihak panitia.

Yang menjadi pertanyaan, apa alasan adanya aksi 55, mengingat tujuan mereka sudah tercapai?

Begini penjelasannya, mereka hanya ingin membuang image bahwa aksi tersebut bukan semata-mata untuk kepentingan pilkada. Maka setelah pilkada pun aksi tetap digelar, mereka ingin menunjukkan kepada publik dengan adanya aksi 55 tujuannya murni untuk bela Islam.

Ketiga, dengan banyaknya pihak yang terkait sebagai penyandang dana, akan ada deal-deal politik sebagai upaya balas jasa. Langkah Anies-Sandi pun akan lebih sulit dibanding Ahok-Djarot yang murni dipilih melalui demokrasi sehat, karena mereka akan dijadikan wayang untuk memenuhi kepentingan para tuannya. Bisa dipastikan kebijakan yang dibuat akan lebih condong pada kepentingan orang-orang dibelakangnya daripada kepentingan rakyat Jakarta.

Keempat, dalam politik simbol, kedekatan yang terjalin antara Jokowi-Ahok, menjadi isyarat dukungan Jokowi kepada Ahok. Meski tidak terlihat secara terang-terangan dan tanpa bukti-bukti yang akurat, publik pun sudah bisa membaca akan hal ini. Lebih lanjut, upaya yang dilakukan untuk menggulingkan Ahok adalah upaya untuk penggebosan kekuatan politik yang dimiliki Jokowi.

Sehingga tak heran, aksi-aksi yang berlangsung lebih diidentikkan dengan upaya makar oleh sekelompok orang yang memiliki tujuan politik. Sebagaimana kita tahu, Jokowi adalah lawan terberat yang harus dihadapi dalam pilpres 2019 mendatang. Jakarta yang selama ini dianggap sebagai barometer politik nasional, sering dikait-kaitkan dengan pertarungan pilpres.

Siapa yang berhasil merebut Jakarta, maka dialah yang keluar menjadi pemenangnya. Dan itu sudah dibuktikan oleh Jokowi. Dengan demikian, langkah mereka untuk merebut kekuasaan dari tangan Jokowi akan semakin terbuka.

Untuk itu, harapannya masyarakat harus lebih melek politik daripada sekedar ikut-ikutan hal yang belum jelas tujuannya. Bagi saya, kemenangan Indonesia adalah kemenangan demokrasi oleh rakyat yang masih waras.

Begitulah kura-kura,


@handoko suhendra


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment