Sunday, May 7, 2017

HTI Dibubarkan, Mending Jadikan Organisasi Terlarang


DUNIA HAWA - Akhir-akhir santer terdengar tentang pembubaran dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Hal tersebut disebut oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo. Begitu juga dengan Menko Polhukam, Wiranto. Namun, hal yang paling membahayakan setelah dibubarkan mereka bisa membangun kembali organisasi dengan nama lainnya yang tetap mengusung Khilafah.

Pada akhirnya, mereka akan berkembang dan lebih banyak. Bahkan kembali merekrut anggota lainnya. Kalau begitu sama saja bukan?

Mengenai bentuk peran negara, tercermin dalam perananya menjalankan tugas-tugas pemerintahan dalam banyak dimensi. Di antaranya, dimensi yang menyangkut kekayaan umu, pengembangan solidaritas dan persaudaraan dalam masyarakat. Serta menegakan keadilan. Pemerintah sebagai representasi dari negara harus mampu mengembangkan tugasnya yang diamanatkan kepadanya.

Terkait pembubaran HTI, alangkah baiknya jika pemerintah mengambil langkah tegas sebelum pembubaran. Salah satunya, menyatakan organisasi tersebut sebagai organisasi terlarang. Begitu juga dengan bagi organisasi lainnya yang mengusung Khilafah. Apapun bentuknya.

Secara konsep tanpa harus disebutkan juga organisasi yang mengusung Khilafah sangat kontra dengan Pancasila. Akan tetapi, pernyataan terlarang tersebut harus dipertegas oleh pemerintah. Hal ini sebagai langkah nyata dari pemerintah untuk menghentikan organisasi yang merusak NKRI dan keberagaman di Indonesia.

Pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah juga telah melakukan hal yang sama. Yakni, mengatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) organisasi terlarang. Hingga saat ini, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Begitu juga dengan organisasi basis lainnya yang berbau dengan PKI. Di antaranya, Gerwani, Lekra dan CGMI.  Dengan sensitif juga, masyarakat akan sangat takut pada sejumlah gerakan-gerakan tersebut.

Salah satu contohnya, Habib Rizieq yang sangat sensitif kepada salah satu logo palu arit di dalam logo mata uang. Hal yang lainnya, bersangkutan dengan keputusan Menteri Agama, Mendagri dan Jaksa Agung. Di mana ketiganya menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam. Begitu juga dengan menyatakan Syiah bukan Islam. Dengan himbauan seperti itu, kontruksi masyarakat akan berubah. Serta akan menjauhi organisasi-organisasi yang bertolak belakang dengan Pancasila. Hal tersebut adalah langkah ampuh bagi masyarakat untuk tidak ikut campur dan terlibat dalam organisasi tersebut.

Selain itu, kalaupun ada Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia, mereka tidak akan menyebar luaskan. Hanya itu, konsumsi pribadi dan konsumsi komunitasnya saja. Sehingga, perkembangan Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia tidak terlalu cepat. Hal ini bermaksud mengunci organsasi-organisasi tersebut.

Untuk itu, jika hanya melakukan pembubaran, mereka tidak dapat dikunci untuk menyebarannya. Mereka akan tetap menyebaran faham Khilafah dalam bentuk lainnya. Sehingga, hal yang paling adalah mematikan kaderisasi organisasi tersebut.

Hidupnya suatu organisasi karenanya anggota dan kader di dalamnya. Lebih jauh, organisasi akan berkembang karena adanya kader yang masif dan militan. Hal tersebut tercermin pada organisasi mahasiswa dengan basis Islam. Di antaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Lebih jauh, berbicara tradisi bukanlah sehimpun nirma yang dapat dengan mudah ditunjuk. Ibarat rambu, tradisi adalah tanda yang bentunya tidak tentu, remang dan kabur. Makna dari tanda itu tergantung pada siapa yang menafsirkanny. Wacana pemikiran keagamaan yang beredar dan berkembang di masyarakat sering menempatkan warisan intektual muslim masa lampau itu sebagai warisan baku dan tradisi yang mapan. Sehingga tidak bisa diungkit dan diutak-atik kembali. Kecuali hanya sebatas dibaca dan diikuti.

Dalam perjalanan yang panjang sejarah pemikiran keislaman dapat dicermati apabila tradisi sebagai warisan budaya intelektual masa silam dalam bentuk teks-teks agama keagamaan itu dijadikan perpektif untuk menilai modernitas, yang muncul adalah sikap keberagaman yang cenderung fundamentalis, radaikal-fanatik dan menafikan arti modernitas itu sendiri. Di mana dalam sebuah proses perkembangan sejarah yang ada harus disikapi dengan menimbang aspek kemaslahatan.

Pada era globalisasi ini, ilmu dan budaya, hampir semua sendi kehidupan mengalami perubahan. Pada saat yang sama, pengetahuan mansia tentang realitasjagat raya juga berkembang dengan pesat sesuai dengan tingkat laju pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan.  Ketika peradaban ilmu pengetahuyan dan teknologi modern, mengantarkan manusia pada era globalisasi. Secara otomatis, akan mempengaruhi dan mengubah pola pikir keberagaman yang lama.

Warisan intektual atau tradisi agama bukanlah suatu yang otoritatif dalam menilai fenomena modernitas dan posmodernitas. Sebaliknya, modernitas sebagai sejarah pun tidak memiliki kekuatan yang absolut untuk menafikan tradisi keagamaan. Keduanya perlu berdialog secara adil dalam kontek keberagaman.

@nurdiani latifah


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment