Thursday, April 20, 2017

Pak Jokowi, Ingatlah! Tamasya “Mak Idah” Belum Berakhir


DUNIA HAWA - Saya sangat yakin keriuhan dalam Pilkada DKI tidak akan berhenti hanya sampai disini. Banyaknya terduga makar dalam aksi yang terjadi, sudah cukup untuk menjelaskan ada agenda yang lebih besar, serta konsesus yang terselubung dengan segala konspirasi dari kubu yang ingin menghentikan kekuasaan saat ini.

Model yang diterapkan pada kenyataannya berhasil diterapkan di Jakarta. Dimana kepentingan publik bagi masyarakat kontemporer urban tidaklah cukup untuk dimiliki oleh karakter seorang pemimpin. Dengan demikian sektarianisme, SARA, Primordial, minoritas, yang dibalut dalam politik identitas akan terus massive dilakukan di kota-kota lain, puncaknya adalah Pilpres 2019.

Keyakinan itu beralasan karena tujuan “mereka” adalah Negara Khilafah, jika pun tidak adalah Negara yang akan dipimpin kekuasaan lama dengan cara lama pula. Banyaknya mantan jendral yang terlibat dalam aksi belakangan ini, harus diakui adalah bahwa mereka pernah menjadi bagian dari Orba yang berkolaborasi dengan kelompok fundamental dan ormas radikal, serta partai-partai yang menginginkan Negara Khilafah, yang pertama mereka lakukan adalah Ibu Kota dibuat menjadi kota bersyariah.

Mereka telah menguasai media, tempat-tempat ibadah, bahkan dunia pendidikan. Indonesia seperti menunggu waktu saja, jika tidak segera berlawan dan tetap lantang mengatakan “tidak” untuk Negara Khilafah. Sia-sialah perjuangan para pendahulu dalam menegakkan Pancasila dan “Bhinika Tunggal Ika”.

Kita semua tahu kekalahan Basuki yang diserang SARA, pendukungnya sudah dengan berjiwa besar menerima kekalahan, dan apakah pendukung Anies sudah tenang dengan kemenangan? saya berkeyakinan “tidak”. Karena cita-cita mereka tidak cukup hanya dengan kemenangan Pilkada DKI saja.

Jika kembali ke masa Pilpres 2014, isu yang terjadi dalam Pilkada DKI sudah diterapkan dalam Pilpres 2014, dengan wacana lahirnya gaya komunisme baru, sampai beberapa bulan yang lalu masih begitu massive, salah satunya terbit buku Undercover yang memfitnah Jokowi dengan tuduhan “Kom”.

Kita harus akui bahwa masyarakat Indonesia masih kental dengan mistik ketimbang rasionalis, dari ulama yang menggandakan uang kemudian begitu banyak pengikutnya sampai dunia bakar kemenyan dan sesajian. Maka syurga dan neraka menjadi ampuh untuk dijadikan “rudal”, sementara orang-orang rasionalis, sekuler ataupun nasionalis, menyerahkan bahwa urusan Syurga adalah menjadi haknya Tuhan bukan manusia. Namun pada kenyataannya konsep syurga dan neraka berhasil diterapkan salah satunya untuk menuju syurga dengan tidak memilih pemimpin yang seagama, sementara agama sendiri tidak mengindahkannya.

Kekalahan Basuki bukan hanya terletak pada strategi dan taktik yang begitu “keji” semata, melainkan juga terletak pada kesadaran masyarakat DKI yang belum terbangun kesadarannya untuk melihat dunia secara realistis, meski terkadang peristiwa kadangkala seperti absurd.

Maka sesuatu yang irasional ataupun tak masuk akal menjadi wajar dengan sendirinya di mata masyarakat kontemporer urban, seperti pepatah lama kebohongan publik yang kemudian menjadi pembenaran.

Jika kita melihat runtuhnya Soekarno, lengsernya Gusdur juga tak lepas dari kesadaran masyarakat yang masih naïf dan mistik, hingga politik identitas dan konspirasi serta konsesus terselubung mampu menyusupi posisi strategis di ruang kekuasaan untuk merebut kekuasaan demi kepentingan golongan dan nama. Sementara rakyat tak berkutik, ada yang bertepuk tangan dan ada juga yang termangu. Bahkan acuh dan tidak peduli sama sekali terhadap problem bumi pertiwi. Hal inilah yang diinginkan imperialisme global, adalah kehilangan kesadaran masyarakat terhadap bangsanya sendiri.

Dalam percaturan politik dunia, negara yang dikuasai militer ada peliharaan yang sengaja dipelihara untuk melanggengkan dominasi. Jika kita berpikir sederhana bahkan sangat sederhana, bagaimana mungkin Negara yang ada militer yang ada aparat penegak hukumnya tak mampu meredam dan menguasai ormas-ormas radikal, disini saya tidak akan menyebutkan bahwa ormas radikal di Nusantara memang sengaja dipelihara, silakan kawan menganalisa sendiri dan menjawabnya “begitu sulitkah bagi aparat untuk membubarkan ormas fundamental, partai fundamental, kelompok radikal, yang mana mereka tidak lebih banyak di tanah air ini seperti di Timur Tengah?” dan “apakah hal ini bagian dari demokrasi, lalu apakah jika dibubarkan adalah pelanggaran HAM?”. Saya rasa banyak anu-anunya dan ini-itunya.

Jokowi harus bersiap diri, 2019 adalah pertarungan dalam kontes politik yang juga tidak menutup kemungkinan menggunakan metode dan konsep seperti dalam Pilkada DKI. Bahkan lebih cadas, konsesus terselubung akan lebih gencar, dan alangkah baiknya semua sudah diperhitungkan mulai saat ini, sudah menyiapkan jawaban atas strategi yang akan bertarung sengit, apalagi mengingat Gubernur DKI yang terpilih pernah menjadi bagian dari Jokowi. Tentunya hal ini begitu bermanfaat bagi PKS, Gerindra, dan kelompok sertas ormas radikal yang bertujuan mendirikan khilafah seperti yang mereka yakinin.

Apakah pendukung Anies atau partai pengusungnya sudah tenang dengan kemenangan di Pilkada DKI?

“Tidak”. Karena cita-cita mereka tidak cukup hanya dengan kemenangan di Pilkada DKI saja.

Pak Jokowi, tamasya “mak idah” belum berakhir. Persiapan harus segera dimulai, rakyat bersamamu, rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, dirimu tidak sendiri. Karena kami muak dengan semua ini yang sudah ada sejak dulu dan hidup kembali lewat Pilkada DKI.

Jika Keberanian hilang, jika ketegasan luluh, jika suara bungkam, maka Mak Idah akan tetap bertamasya! 

Politik itu indah sekaligus menyakitkan.

@losa terjal


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment