Thursday, March 30, 2017

Pengkhianatan Intelektual Anies Baswedan


DUNIA HAWA - Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa! Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana. (Anies Baswedan).

pilih peimimpin yang merajut tenun kebangsaan bukan yang merobeknya demi kekuasaan (Anies Baswedan).

Ramainya perbincangan soal kontrak politik di media sosial yang berisi penerapan nilai-nilai syariat Islam jika Anies Baswedan dan Sandiaga Uno terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta mendapat respon beragam dari warga.

Meskipun ini masih sebatas isu dan wacana, melihat kelompok ormas yang berada di belakangnya, seperti FPI misalnya. Kita sulit untuk tidak mengatakan bahwa pasangan Anies-Sandi mencoba untuk tidak mengakomodasi  wacana ini.

Tidak percaya? Baiklah, kita mencoba flashback ke belakang untuk melihat sepak terjang FPI dalam “memperjuangkan” pemberlakuan perda syariat Islam. Anda tentu masih ingat mengenai isu yang bergulir pasca razia warteg Ibu Saeni. 

Isu itu sendiri telah menjadi 'pertarungan' antara kubu pro syariat Islam dan yang kontra. Kompas Group dituding menjadi salah satu sponsor anti syariat Islam dengan mem'blow up' besar-besaran tulisan tentang 'kemalangan' Ibu Saeni yang menuai simpati berupa penggalangan dana oleh Netizen anti syariat senilai Rp 265 Juta.

Pro Kontra syariat Islam kemudian berkembang menjadi isu pencabutan sekian ribu Perda yang diantaranya adalah Perda syariat, demikian tuduhan FPI. Bagi FPI, pencabutan Perda Syariat akibat pemberitaan masif media anti syariat harus dilawan. Untuk itu mereka menggeruduk kantor Kompas Group minggu lalu. Mereka menuntut pemberitaan yang berimbang.

Kita kembali ke isu pembelakuan Perda Syariat Islam di Jakarta. pada skala tertentu, berkembangnya wacana penerapan kontrak politik Jakarta Bersyariat yang terjadi dalam putaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta 2017, berbahaya bagi demokrasi di Indonesia.

Ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar negara kita yang menaungi semua golongan. Konstitusi kita, terutama yang terdapat pada pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2, yakni: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Jika merujuk kepada bunyi Pasal 29 ayat (1), negara Indonesia seolah berdasarkan kepada agama, namun bukan pada agama tertentu, tetapi semua agama yang diakui keberadaannya oleh negara. Kemudian jika merujuk kepada ayat (2), maka apapun agama yang dipeluk oleh rakyat; adalah kewajiban negara untuk menjamin tanpa pandang dan pilih agama apa termasuk kepercayaan.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, menyesalkan konsep penerapan nilai-nilai syariat yang jadi perbincangan di Pilkada Jakarta 2017. Menurutnya, terdapat bias antara konsep syariat yang memang diharapkan dengan kepentingan kelompok-kelompok intoleran di Jakarta.

Wacana Jakarta Bersyariat ini dikhawatirkan bukan menampilkan nilai Islam yang adil dan toleran. Tapi justru memperkuat persepsi tentang diskriminasi terhadap kelompok lain di Jakarta.

Konsep syariat yang diwacanakan menjadi perda jika pasangan Anies-Sandi terpilih, berpotensi memperkuat sentimen di masyarakat. Masyarakat tidak alergi terhadap konsep syariat, tapi ini jadi seperti dipolitisasi untuk kepentingan pragmatis. Hal inilah yang mengkhawatirkan.

Lebih dari itu, pemberlakuan Perda Syariat Islam juga tidak baik untuk memajukan demokrasi secara keseluruhan. Calon-calon pemimpin di Jakarta harusnya tak hanya berkomitmen terhadap pelayanan pemerintah pada rakyat saja, tetapi juga terhadap keadilan, keadaban, dan yang terpenting nilai toleransi antargolongan.

Ketika ada salah satu calon yang didukung (kelompok intoleran) tapi tak memberikan sikap yang jelas menghentikan wacana intoleran ini, masyarakat perlu khawatir jika ia terpilih maka bisa didikte kepentingan-kepentingan golongan.

Lebih lanjut, Syansudin Haris, peneliti politik LIPI, mengatakan bahwa  wacana menukar dukungan dengan janji penerapan peraturan untuk golongan agama tertentu, merupakan proses kampanye yang tidak sehat.

Dari sini, kita ambil poin pentingnya, yakni memobilisasi isu agama atau sektarian itu tidak sehat. Tidak mendidik dalam proses demokrasi masyarakat kita. Pengakomodasian isu-isu agama dan sektarian dalam Pilkada, hanya akan menghambat proses membangun demokrasi yang mendidik bagi masyarakat. Bagaimanapun, Jakarta bukanlah kota untuk satu agama atau golongan saja. Jakarta juga cerminan Indonesia yang menaungi berbagai golongan dan entitas (meltingpot).

Akhirnya, sekali lagi, jika memang benar Anies-Sandi mengakomodasi wacana pemberlakuan Perda Syariat Islam ketika yang bersangkutan memenangi kontestasi politik pemilihan Gubernur di Jakarta, itu berarti Anies telah menghianati intelektualnya sendiri. Pertanyaan yang layak diajukan adalah, apakah anda masih memilih calon Gubernur yang mengkhianati intelektualnya sendiri?

@iqbalz


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment