Sunday, March 12, 2017

Djarot Dizalimi, Ia Memaafkan; Anies Sudah Salah Malah Menyalahkan


DUNIA HAWA - Ada yang aneh dari benak seorang akademisi yang katanya lulusan S3 Amerika. Entah di mana sikap santun yang selalu (kata orang) tersematkan pada mantan menteri yang dicukupkan ini. Saya bingung setiap kali membaca respons Anies yang jauh dari kata santun. Dan jeleknya, beliau selalu mengidentikan dirinya dengan label agamis.

Kesantunan dan religius adalah dua predikat yang memang lekat dengan budaya kita, salah satu Negara yang tumbuh kembang di dalam paradigma timur. Memaafkan, mengakui kesalahan untuk berbenah dan berkata jujur adalah nilai-nilai luhur yang memang menempel dengan stigma kearifan, baik secara universal maupun budaya lokal. Namun makin ke mari, saya tidak menemukan itu pada diri Anies Baswedan, pria yang digadang-gadang lebih baik dari paslon yang satunya.

Memang ironis, tapi betul suatu pepatah lama yang mengatakan “Jangan membeli kucing dalam karung”, kenali dahulu sebelum memilih. Karena kalau sudah dibeli, barang tidak bisa kembali, kira-kira seperti itu. Pepatah ini makin terasa pas dengan kondisi pilkada DKI Jakarta. Sama pasnya kalau saya berjodoh sama Raisa. “Ya Allah, Tuhan YME, kapan penulis zomblo bisa dapat Istri kayak Raisa?” (lho?!).

Makin kemari, semua citra instan yang dulu coba dibangun oleh Anies-Sandi malah makin luntur oleh ulah mereka sendiri, dan kali ini yang saya garis bawahi adalah sikap tak elok dari seorang calon pemimpin. Kalau dulu Anies suka menyindir Ahok yang suka menyalahkan pihak lain ketika terjadi problema di DKI Jakarta, lah sekarang kok Anies juga melakukan hal yang serupa?

Hal ini terlihat dari dua respons yang sangat bertolak belakang dari Anies dan Djarot yang kebetulan secara bersamaan hadir di dalam peringatan 51 tahun dikeluarkannya Supersemar di Masjid At-Tin, TMII. Kita tahu bagaimana Djarot yang diundang secara resmi malah dicaci maki oleh pendukung Anies. Herannya, Anies yang mengetahui hal tersebut malah menuding tindakan tersebut sebagai kewajaran dan membenarkannya. 

Yang menjadi pertanyaan di benak saya, di manakah citra santun dan agamis dari Anies? Ketika kesempatan untuk menampakkan karakter yang luhur itu datang, kok tidak muncul ekspresi dari karakter yang diakui milik paslon menteri yang sudah dicukupkan ini? Jangan-jangan Anies hanya bersandiwara selama ini? Ya ampun, semoga cinta Raisa kepada saya bukan hanya sandiwara belaka. Amin.

Lain Anies, Lain Djarot


Berbeda dengan Anies, Djarot yang dizalimi malah bersikap ramah dan memaafkan. Tidak ada satu katapun dari kalimat dan sikapnya yang seperti menyalahkan warga yang memakinya, ataupun pihak penyelenggara, apalagi paslon kompetitornya. Saya kutip pernyataan Djarot di salah satu media massa.

“Kita harus jawab dengan perilaku yang baik, dengan senyum, dengan sapa. Mereka juga saudara kita, warga kita,” kata Djarot, di sela-sela berkampanye di Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (12/3/2017).

Djarot mengatakan ingin meneladani ajaran Nabi Muhammad SAW yang sabar menghadapi orang-orang yangmenentangnya.

“Apa yang saya terima itu kecil, enggak ada apa-apanya dibandingkan yang dicontohkan oleh Rasul. Beliau dihina, bahkan dilempari kotoran, dicaci maki, bahkan mau dibunuh, enggak apa-apa. Karena itulah kita ingin meneladani ajaran Rasul untuk memperbaiki, menyempurnakan akhlak kita semua,” ujar Djarot.

Sebelum meminta orang memperbaiki akhlak, Djarot ingin memulainya dari diri sendiri. Dia menyatakan tidak ingin menyalahkan siapa-siapa terkait insiden pada Sabtu malam tersebut.

“Maafkan saja, ya enggak apa-apa,” ujar Djarot.

“Doakan supaya segera diberikan hidayah, diberikan cahaya supaya terbuka hatinya sehingga bisa menerima kita semuanya, sebagai sesama warga bangsa. Mereka itu juga saudara saya, sebangsa dengan saya,” ujar Djarot.

Dari pernyataanya dan sikapnya selama ini saja kita dapat menilai, siapa yang santun dan agamis secara asli, dan siapa yang hanya produk KW demi pilkada DKI. Bahkan Djarot pun diterima dengan baik oleh pihak penyelenggara, yaitu keluarga mendiang Alm. Bapak Soeharto. Ibu Titiek Soeharto sempat menghampiri beliau dan mengungkapkan terima kasihnya karena sudah bersedia hadir. Lihat, betapa teduhnya suasana keakraban seperti ini sekalipun beliau tahu dukungan politiknya berbeda. Lalu kenapa Anies malah memanasi?

Sekalipun berkompetisi di ajang pilkada DKI, Djarot tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. Karena ini sikap yang sepatutnya dari seorang yang benar-benar santun dan agamis. Kalau hanya demi menjadi gubernur lalu tuding sana-sini dan menebarkan isu-isu perselisihan serta kebencian (dan isunya adalah isu SARA pula), calon pemimpin macam apa yang akan kita dapatkan?

Saya khawatir kalau pemilihan kepala daerah kita hanya akan terus diwarnai dengan pencitraan yang kopong belaka. Padahal, DKI Jakarta adalah etalase demokrasi kita yang harus menjadi teladan bagi daerah-daerah lain. Jikalau DKI Jakarta saja sampai mempertontonkan kemenangan dari paslon yang hanya pencitraan sewaktu pemilihan, lalu menafikan paslon yang benar-benar berkarakter lurus, apa kata dunia? Demokrasi kita telah dilecehkan kawan. Dan mereka melecehkannya sambil mem-bully dan menertawakan masyarakat.

Akhir kata dari saya bagi para pembaca, betul jikalau Anda tidak setuju kepada Ahok dan Anies karena mereka tidak santun, juga Sandiaga Uno yang sering bicara ngawur dan banyak menuding paslon lain dengan tudingan segregasi yang berbau fitnah, maka pilihlah Djarot. Karena dari ketiganya, tidak ada yang sesantun dan seagamis Djarot. Inshallah Djarot jadi gubernur DKI Jakarta, gubernur Islami yang sesungguhnya. Amin.

@nikki tirta


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment