Wednesday, March 15, 2017

Anies dan Bahaya Negara Islam


DUNIA HAWA - Tahukah Anda kalau pendukung Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta tahun ini ialah para pejuang Negara Islam? Inilah yang patut diketahui, agar kita tak silau dengan manis mulut tapi licik pikiran.

Ya, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno didukung oleh banyak kekuatan. Selain Gerindra, dan belakangan, Cendana; mereka juga didukung oleh kekuatan politik Islamis, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Front Pembela Islam (FPI). Yang belakangan disebut ini telah mengalihkan dukungan, dari Agus Harimurti ke Anies. Alasannya satu: mereka calon Muslim. Kita akan pahami satu-persatu para pendukung Negara Islam ini.

Pertama, PKS yang merupakan partai yang dirikan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM). Anda pasti pernah dengar, IM adalah gerakan Islam radikal yang didirikan di Mesir oleh Hassan al-Banna dan dikeraskan ideologinya oleh Sayyid Quthb. Cita-cita mereka mendirikan Negara Islam Nasional (daulah Islamiyyah) di negeri-negeri Muslim, melalui prosedur demokrasi. Maka di berbagai negara, IM mendirikan partai dan berhasil menduduki parlemen.

Di Indonesia, PKS adalah partai IM yang secara perlahan ingin mengislamkan NKRI. Tentu kita sangsi, apakah tujuan mereka akan tercapai, mengingat tabiat sebagian elitnya yang korup. Memang PKS juga telah melunakkan program politiknya, dari ingin menghidupkan Piagam Jakarta, menjadi Piagam Madinah yang disamakan dengan Pancasila.

Tapi ingat, ini hanya strategi saja agar mereka tetap bisa meraih suara rakyat yang lebih luas. Kalau punya kesempatan, partai IM ini pasti akan mewujudkan cita-cita ideologisnya. Kemauan Anies, sebagai Rektor Paramadina besutan cendekiawan Muslim progresif, Nurcholish Madjid (Cak Nur) didukung PKS, menyiratkan betapa oportunis tokoh ini. Sebuah oportunisme yang menegasikan nilai-nilai luhur bangsa, karena ia membuka jalan bagi berkuasanya IM di Indonesia.

Kedua, FPI. Memang platform organisasinya Pancasila dan NKRI. Tapi ingat, mereka, dan terutama Habib Rizieq telah lama mengidamkan “NKRI Bersyariah”. Ini bisa dibaca di disertasinya di Universitas Malaya yang berjudul, Pengaruh Pancasila dalam Penerapan Syariah Islam Di Indonesia (1996).

Yang dimaksud “NKRI Bersyariah” ialah diterapkannya hukum Islam di Indonesia, meskipun memang bentuk negaranya tidak perlu Negara Islam. Akan tetapi, sekali lagi, ini hanya akal-akalan demi islamisasi NKRI, sebab yang disebut Negara Islam ialah negara yang konstitusinya berbasis syariah.

Maka itulah, Rizieq kemudian menghina Pancasila sebagai “pantatsila”, dan menyebut Pancasila 1 Juni ala Soekarno, telah menempatkan sila ketuhanan di pantat (sila kelima). Alasannya, karena ia lebih mengidealkan Piagam Jakarta, di mana terdapat kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah bagi pemeluknya” di sila ketuhanan. Tujuannya? Tentu “NKRI Bersyariah”.

Seandainya PKS menguasai parlemen dan tokohnya menjadi presiden, maka Rizieq pasti menaikkan agenda penerapan syariah ini, kepada pendirikan Negara Islam, karena syariah bisa total diterapkan, hanya di dalam bangunan Negara Islam.

Sekali lagi, kemauan Anies berkolaborasi dengan FPI menyiratkan ketiadaan komitmennya kepada NKRI, negara nasional dan Bhinneka Tunggal Ika, karena Ormas ini terkenal dengan sikap intolerannya kepada non-Muslim. Apalagi dengar-dengar, Anies telah sepakat akan menerapkan qanun jinayat, seandainya ia menang menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Anda perlu tahu, qanun jinayat adalah UU Pidana Islam berisi hukuman potong tangan, cambuk dan rajam, yang banyak dikritisi karena sifatnya yang anti-HAM. Apakah Anda mau, hukum seperti ini ditegakkan di DKI? Keistimewaan DKI bukan terletak di penerapan syariah Islam, tetapi sifatnya sebagai miniatur bangsa yang majemuk. Penarapan syariah lebih merupakan keistimewaan Nangroe Aceh Darussalam yang hingga kini masih kontroversial.

Ketiga, para pendukung khilafah Islamiyyah. Gerakan seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tentu akan mengarahkan anggotanya untuk lebih memilih Anies, daripada Ahok. Ingat, isu penistaan agama oleh Ahok, telah menjadi perjuangan bersama Islamisme yang menyatukan berbagai gerakan Islam ke dalam satu komando. Tidak menutup kemungkinan, para pendukung khilafah ini menyalurkan aspirasi politiknya ke Anies.

Isu penistaan agama yang berkembang menuju putaran satu Pilkada Jakarta kemarin, akan berganti dengan isu “jangan memilih pemimpin non-Muslim” pada putaran kedua. Kewajiban memilih pemimpin Muslim ini merupakan ideal politik Islam, yang menjadi syarat utama bagi pendirian Negara Islam. Ini merupakan anomali di sebuah negara-bangsa, karena UUD 1945 tidak menjadikan kemusliman sebagai syarat menjadi pemimpin di negeri ini.

Dengan demikian, jika Anda memilih Anies, Anda sama saja memberi tiket bagi para pejuang Negara Islam untuk mewujudkan cita-citanya. Sebab, Pilkada Jakarta akan menjadi test case dan model bagi keberhasilan mereka dalam kancah politik Indonesia ke depan.

Bisa jadi model ini akan mereka usung di Pilpres 2019, misalnya dengan menyudutkan Jokowi (jika beliau maju lagi sebagai Capres), sebagai orang yang melindungi “si penista agama”. Bisa saja, jika Anies menang di Pilgub DKI, ia akan diangkat, entah menjadi capres atau cawapres, dengan irama kampanye sektarian yang menegasikan non-Muslim dan kebhinekaan.

Tentu kita perlu berpikir sehat, agar republik ini tetap berdiri di atas pilar-pilar bangsa yang menjunjung tinggi keragaman sebagai Sunnatullah. Saya sendiri bukan anti-Negara Islam. Sebagai Muslim, saya tentu mencintai Islam termasuk nilai-nilai politiknya. Tetapi nilai politik Islam yang saya pahami bukanlah nilai pemecah belah; nilai egoistik yang tidak melihat konteks hidup bersama.

Apalagi semua isu politik Islam yang berlalu-lalang di Pilkada ini, tidak murni demi kepentingan Islam. Melainkan semata demi kepentingan oligarki yang bermain di belakangannya. Mari berpolitik secara cerdas!


@fazlurrahman


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment