Tuesday, January 10, 2017

Perempuan dan Upaya Meruntuhkan Budaya Kekerasan

DUNIA HAWA - Kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat. Baik yang terjadi di ranah domestik maupun di ranah publik. Hal ini seperti fenomena gunung es yang hanya terlihat kecil di permukaan, tapi sebenarnya sangat besar ketika kita menyelami lebih dalam. Mengapa hal ini bisa terjadi?


Budaya kekerasan terhadap perempuan ini berasal dari munculnya budaya patriarki di dalam masyarakat. Budaya yang selalu ‘menomorduakan’ perempuan dalam segala hal dibandingkan dengan laki-laki. Budaya ini menggerus potensi dalam diri perempuan untuk mengejar prestasi yang ia inginkan.

Perempuan harus diatur sedemikian rupa sesuai dengan keinginan laki-laki dan norma sosial yang berlaku. Hal inilah yang menjadi akar atau dasar dari tidak adanya kesetaraan dan keadilan dalam interaksi antara manusia (laki-laki & perempuan).

Sering kita dengar sebutan “dapur, sumur, dan kasur” untuk perempuan ketika nantinya ia menjadi seorang istri. Mereka sudah ditanamkan doktrin sedari kecil, bahwa ke depannya ketika perempuan sudah menikah, ia akan selalu bekerja di area “dapur, sumur, dan kasur”. Seolah-olah hal itu adalah takdir yang harus diterima oleh perempuan. Mereka tidak bisa bergerak memaksimalkan potensinya di luar ketiga hal tersebut.

Sangat berbanding terbalik dengan laki-laki yang dapat dengan bebasnya memilih ke mana pun ia akan bergerak. ia dapat memilih bekerja di luar, bermain, bertemu dengan teman-temannya, dan tidak berkenan untuk mengerjakan tugas domestik. Karena tugas domestik dianggap menurunkan derajat dirinya jika laki-laki yang mengerjakan. Di sinilah awal mula ‘nasib’ seorang perempuan sudah ditentukan. Tidak dapat berubah sampai ia meninggal dunia.

Hal ini sudah mendarah daging selama ratusan tahun lamanya, sehingga menjadi hal yang ‘maklum’ jika hal itu terjadi terhadap perempuan. mereka menganggap wajar jika hal tersebut menimpa dirinya, dan seiring berjalannya waktu akhirnya mereka merasa ‘nyaman’ dengan budaya tersebut. Bahwa mereka merasa selalu dilindungi, dibantu, dan dininabobokan oleh superioritas laki-laki.

Superioritas laki-laki tersebut yang membuat perempuan semakin inferior. Padahal kemampuan perempuan untuk berprestasi tidak kalah dengan laki-laki, mereka mampu menunjukkan prestasi yang luar biasa di luar sana. Bahkan perempuan dapat menjadi pemimpin, seperti yang kita lihat sekarang. Sudah banyak perempuan yang dapat menjadi presiden, menteri, gubernur, dan walikota.

Kenyamanan atas budaya ‘menomorduakan’ perempuan itulah yang membuat gunung es makin lama makin besar, karena perempuan tidak menyadari bahwa dirinya sedang ‘dilemahkan’. Sementara laki-laki terus melanggengkan kekuasaannya di atas perempuan. Hal ini juga yang membuat kemampuan kritis perempuan atas dirinya menjadi tumpul.

Ia dilemahkan secara komprehensif, seperti dalam ranah pendidikan, kesehatan, pekerjaan, psikologis, reproduksi, dan hak asasi dirinya sebagai perempuan. Sehingga semua hal menjadi milik laki-laki terlebih dahulu sebelum menjadi milik perempuan.

Hal yang tadinya berada di bagian bawah gunung es tersebut akan muncul kepermukaan hanya ketika terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Itu pun jika perempuan tersebut mau melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Jika ia tidak melaporkan kekerasan tersebut, tentu fenomena tersebut menjadi semakin besar dan tidak terlihat.

Pengaruh tersebut secara psikologis, membuat perempuan dan laki-laki menjadi sangat rentan terkena efek dari budaya tersebut. Mereka menjadi tidak mampu mengungkapkan perasaan terdalamnya kepada orang yang dituju. Mereka memendam perasaan tersebut di dalam batinnya sendiri, dan menanggung rasa sakitnya sendiri. Sementara kapasitas atau wadah untuk memendam perasaan di dalam batinnya itu sangat terbatas.

Jika wadah tersebut sudah penuh dan dipaksakan untuk diisi, maka kapasitasnya akan overload. Jika kondisi jiwa seperti itu, jelas merugikan kesehatan psikisnya. Padahal dengan mengungkapkan perasaan terdalam yang ia rasakan kepada orang yang dituju, membuat efek bahagia di dalam diri kita sendiri.

Namun konstruksi sosial telah mendorong perempuan dan laki-laki enggan mengungkapkan perasaannya. Sehingga terjadilah ketimpangan disalah satu pihak. Lalu, bagaimana kita mewujudkan jiwa yang sehat bagi laki-laki dan perempuan?

Pemahaman mengenai asas-asas kesetaraan dan keadilan dalam melakukan hubungan dengan sesama manusia itu dapat menjadi modalnya. Baik untuk laki-laki ataupun perempuan itu sendiri. Karena ada juga perempuan yang menerapkan budaya patriarki dalam kehidupannya. Bahwa sebenarnya setiap manusia mempunyai hak asasi yang sama adalah hal yang absolut. Tidak ada pengecualian bagi siapapun untuk mendapatkan hak-haknya.

Kita harus mampu berpikir kritis ketika melihat budaya yang ‘melemahkan’ perempuan di sekitar tempat tinggal kita. Merangkul dan mengajak masyarakat adalah hal yang sangat wajib dilakukan ketika ingin mengubah budaya tersebut. sehingga masyarakat dijadikan bagian dalam mengubah budaya yang merugikan tersebut. Namun, sesuatu yang penting sebelum mengajak orang lain untuk berubah adalah memulainya dari diri kita sendiri.

Diri kita akan menjadi landasan atau teladan bagi orang lain yang melihatnya. Kita menghargai keberadaan perempuan sebagai manusia yang utuh. Manusia yang punya cipta, rasa, dan karsa di dalam dirinya. Manusia yang dapat mengungkapkan perasaan terdalamnya dengan tulus. Bukan perempuan yang dianggap sebagai ‘benda’ atau ‘robot’ yang dapat diperintah di mana pun dan kapan pun sesuai keinginan kita.

Bahkan dalam Islam, Allah SWT telah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al Hujurat Ayat 13).

Ayat tersebut mengartikan bahwa Tuhan tidak mengukur derajat tinggi rendahnya manusia dari jenis kelaminnya. Ia melihat manusia dari segi ketakwaan dan imannya di antara manusia-manusia lain.

Meruntuhkan budaya yang sudah terbangun ratusan tahun silam memang tidak mudah, mengubahnya butuh waktu yang tidak jauh berbeda dengan proses terbentuknya budaya tersebut. Maka dari itu, janganlah ‘memperkokoh‘ budaya tersebut menjadi lebih kuat. Mari runtuhkan budaya patriarki, dan ubah menjadi budaya kesetaraan dan keadilan untuk sesama makhluk Tuhan. Makhluk yang hidup berdampingan dengan damai tanpa kekerasan.

Betapa bahagianya diri kita jika melihat dunia ini damai dan saling menghargai satu sama lain atas kekuasaan-Nya. Karena atas izin-Nya, hal-hal baik dapat terwujud secara nyata dalam kehidupan.


@ismoro reza prima putri


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment