Saturday, January 14, 2017

Negeri Para Pemarah

DUNIA HAWA - Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, tonggak bersejarah bagi bersatunya semua elemen di NKRI kini hanya menjadi seremoni tanpa makna. Bangsa yang semestinya semakin besar dengan keanekaragaman ini terlihat seperti semakin bebal dan goblog dalam menghadapi perbedaan. Menyakitkan menerima kondisi yang seperti ini apalagi bagi mereka yang ikut memperjuangkan kemerdekaan negeri. Apa sebenarnya yang terjadi dengan negeri ini ?


Semakin banyak kaum terpelajar tidak lantas membuat bangsa ini menjadi bertambah pintar, faktanya kita seperti mengalami kemunduran berabad-abad.

Banyak nya ulama, ustadz dan rohaniawan tidak membuat bangsa ini menjadi semakin religius tapi malah menjadi brutal seperti abad pertengahan.

Berakhirnya era represif bernama Orde Baru disertai lahirnya era reformasi juga tidak otomatis menjadikan bangsa ini menjadi lebih maju dalam peradaban. Bahkan tokoh-tokoh yang membidani reformasi sekarang ini ikut larut dalam ketidaktentuan arah. Era yang digadang-gadang akan menimbulkan demokrasi yang lebih baik dan menimbulkan optimisme malah seperti jadi ajang pertarungan politik para elit dalam berebut kekuasaan.

Rakyat seperti mainan yang ditendang kesana kemari dengan berbagai bentukan opini, negara ini semakin tidak jelas arahnya. Tatanan budaya dan kultur peradaban yang sempat menjadi ikon Indonesia di mata dunia hilang entah kemana, berganti dengan sikap saling curiga mencurigai antar kelompok, golongan bahkan individu.

Euforia demokrasi menjadi tak terkontrol bahkan kebablasan. Orang jadi bebas berpendapat sesuka hati tidak perduli dengan azas kebenaran. Masyarakat yang satu idealisme bebas membentuk organisasi, bahkan partai politik, tanpa perduli lagi dengan ideologi yang berlandaskan azas Pancasila, ideologi yang menjadi semangat kebersamaan dalam membangun bangsa ini.

Dengan dalih kebebasan berpendapat dan berlindung dibalik hak asasi beberapa orang mendirikan kelompok yang pada masa orde baru sama sekali tidak berani menampakkan hidungnya. Semua bebas bicara, semua bebas berpendapat, hal itu sah saja sepanjang tidak memaksakan apa yang menjadi ideologinya untuk dijadikan solusi bersama.

Yang terjadi adalah beberapa kelompok yang kemudian menjadi radikal berusaha untuk memaksakan apa yang diyakininya untuk dijadikan solusi hidup bernegara. Alih-alih menjadi patriot pembela negara mereka justru berperang bagi negara lain atas dasar kesamaan ideologi, bukankah mereka pengkhianat bangsa?

Dengan dalih pemurnian agama, lengkap dengan dalil yang diambil dalam kitab suci, mereka mencoba masuk kedalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka seolah membutakan mata bahwa Indonesia adalah multikultur dengan aneka ragam adat dan budaya. Dalam terminologi ini mereka tidak ada bedanya dengan fasisme Nazi yang menginvasi dengan dalih pemurnian RAS.

Isu tentang agama menjadi santapan yang lezat untuk mereka kunyah, apa yang tidak sesuai dengan ideologi versi mereka akan dibabat habis. Budaya menjadi sesuatu yang diharamkan karena tidak sesuai syariat yang mereka yakini. Stigma sesat, kafir dan sebagainya menggema di bumi Nusantara !! Wajah Islam berubah menjadi wajah pemarah, marahlah dan bagimu sorga !! Anomali...

Memprihatinkan memang ketika terjadi pembiaran, yang terjadi mereka justru merasa mendapat legitimasi untuk melakukan aksi kemarahannya. Lebih prihatin lagi aksi seperti ini jadi tunggangan parpol yang menjadi oposisi. Seolah parpol sudah tidak lagi mempunyai ideologi, kecuali ideologi waton suloyo, yang penting beda. Apa yang bisa diharapkan dari parpol semacam ini?

Kekalahan saat pemilu bagi mereka merupakan aib yang harus ditebus dengan aksi-aksi menentang pemerintah tidak hanya di parlemen tapi sampai ke jalanan. Simbol-simbol keagamaan yang mewujud dari seorang Ustad, Habib dan mereka yang berjubah dijadikan tameng dan pembenaran atas sebuah aksi provokasi. Bahkan pejabat setingkat wakil ketua DPR sekarang getol memprovokasi melewati akun sosial media, apa jadinya jika orang seperti ini mengendalikan pemerintahan?

Beruntung bangsa ini pernah melahirkan putra-putra terbaik yang mendedikasikan hidupnya untuk keutuhan NKRI dan diteruskan oleh generasi setelahnya. Tak kurang dari KH.Hasyim Asy'ari kemudian diteruskan oleh KH.Wahid Hasyim dan dilanjutkan lagi oleh KH.Abdurrahman Wahid serta banyak ulama-ulama lain seperti KH.Ahmad Dahlan dan yang lainnya. Ulama besar yang juga membesarkan nama Islam di tanah air, Islam yang ramah, Islam yang tidak mudah menghakimi dan selalu bisa menghargai perbedaan pendapat bahkan dengan kalangan selain Islam.

Bahwa Indonesia terlahir dengan berbagai macam adat dan budaya sudah tidak terbantahkan, secara spiritual bangsa ini sudah melahirkan kepercayaan seperti kejawen, sunda wiwitan dan sebagainya. Hadirnya Wali Sanga di tanah jawa dengan membawa keyakinan baru tidak pernah menimbulkan masalah karena mereka bisa melebur dengan adat dan budaya setempat.

Tapi kenapa akhir-akhir ini semua seperti ingin merubah tatanan yang sudah dibangun sedemikian cantik oleh pendahulu kita?

Islam dimata sebagian orang seperti layaknya monster yang menakutkan dan penuh dengan paksaan berujung kekerasan. Proses beragama yang terjadi disertai pemberangusan terhadap budaya, sekali lagi dengan dalih pemurnian agama. Ujaran bid'ah, sesat dan kafir bahkan sudah menjadi bagian dari budaya baru.

Dibarengi dengan hilangnya identitas seperti kebaya, sanggul, sarung, batik dan lurik berganti dengan burqa, kaffayeh dan jubah. Aku dan kamu berubah menjadi ana dan antum, ikhwan dan ukhti, terima kasih berubah menjadi syukron, emak dan bapak menjadi abi dan umi, seolah-olah jika tidak memakai bahasa kearab-araban ke-Islaman mereka jadi tidak kaffah, dan kita tidak sadar itu sedang terjadi. Alih-alih menyi'arkan agama mereka justru membawa budaya baru ke Indonesia. Budaya yang belum tentu sesuai dengan pluralitas disini tapi mereka paksakan untuk diterima.

Kadang tidak habis pikir dengan kaum intoleran ini, apa mereka ingin jadikan Indonesia seperti Timur-Tengah dengan konflik sektarian yang tiada henti, apakah mereka tidak bercermin pada Yugoslavia yang hancur lebur karena pembantaian etnis. Mengerikan sekali, bagaimana mungkin antar tetangga yang sebelumnya rukun kemudian saling bunuh karena perbedaan etnis dan keyakinan, dan itu terjadi disana.

Agama yang seharusnya menjadi ranah privasi telah dipaksakan untuk dikonsumsi oleh publik, hanya karena mayoritas kemudian memaksa minoritas untuk tunduk tanpa berhak bersuara. Ayat-ayat suci yang semestinya dijadikan ajang introspeksi dijadikan alat berpolitik sesaat demi kepentingan untuk berkuasa.

Dan ketika dikritisi yang terjadi adalah kemarahan mengatas namakan Tuhannya, ampun. Tuhan sudah diperalat atas nama kebenaran dan dikesankan kemarahan mereka adalah mewakili kemarahan Tuhan. Kalimat Takbir diteriakkan dengan penuh emosi disertai tindakan anarki.

Aksi yang tidak lepas dari tindakan provokasi dari segelintir ulama yang anti toleransi semakin sering kita saksikan. Pancasila sebagai landasan kita bernegara mereka caci maki sebagai thoghut dan bukan solusi.

Untung saja masih lebih banyak orang yang waras fikir dan menertawakan aksi bodoh seperti itu. Tidak kurang seperti KH.Said Aqil Siradj sudah melarang warga Nahdliyin untuk terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi. Walaupun tanpa dilarangpun sebenarnya kaum Nahdliyin sadar sepenuhnya bahwa aksi ini adalah tindakan bodoh para santri internet.

Orang yang belajar Islam dari hasil googling dan menemukan dalil dari situs radikal kemudian menelan mentah-mentah tanpa tabayyun. Atau santri yang ngaji hanya dari hasil terjemahan Al-Qur'an tanpa menggunakan ilmu alat dan tafsirnya. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka belajar agama itu seperti belajar memasak yang dengan mudah kita bisa cari resepnya di internet, tanpa proses mengaji dan mengkaji setiap ilmu yang ada serta melihat konteksnya dalam era sekarang.

Semoga saja pemerintah bisa bertindak dengan cepat, ancaman terhadap keutuhan NKRI selalu akan terjadi, keutuhan NKRI dalam keberagaman masyarakat dan budaya adalah cita-cita bersama. Semua berhak hidup nyaman di Indonesia, sikap intoleransi hanya akan menimbulkan disintegrasi dan selayaknya untuk diambil tindakan tegas.

Islam selalu berkembang dan akan selalu sesuai dengan konteks kekinian, ayat adalah hak Allah dan tafsir nya akan selalu disesuaikan dengan waktu dan jaman. Yang seperti ini tidak akan kita dapatkan dengan hanya ngaji di internet, harus ke pesantren dan ngaji dengan para ulama disana. Bukankah kita disuruh merapatkan kaki kita ke ulama, bukan ke internet?

@iwan al fauza


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment