Sunday, January 8, 2017

Memahami Feminisme Islam (Refleksi Pemikiran Husein Muhammad)

DUNIA HAWA - Feminis, mungkin kalau mendengar istilah ini seakan kita alergi atau semacam fobia. Kata feminis bagi sebagian orang masih terlalu tabu untuk dikatakan. Apa lagi untuk diperbincangkan.


Golongan konservatif di Indonesia masih menganggap feminisme adalah sesuatu yang haram, tidak boleh dibahas. Seperti ketika dulu mereka mengharamkan filsafat. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya term baru yang belum bisa diterima secara akal sehat. Karena bagaimanapun paradigma kita mengatakan bahwa feminisme bertentangan dengan nilai budaya ketimuran, apa lagi dengan agama Islam.

Namun, memang apakah begitu gambaran dari feminisme? Sebegitu menjijikkankah feminisme? Apakah memang akal sehat kita tidak bisa menerima sama sekali konsep-konsep tentang feminisme sehingga membuat kita menolak mentah-mentah terhadapnya? Dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa masyarakat kita terlalu fobia pada hal-hal yang berbau kebarat-baratan. Apa lagi menyangkut tentang perempuan.

Bagi paradigma masyarakat timur, perempuan hanyalah sesosok makhluk tuhan yang kebagian tugas-tugas di sekitar dapur, sumur, dan kasur saja. Tidak lebih dari itu. Dan bagi yang melanggar tradisi tersebut akan dianggap durhaka! Kondisi seperti ini cukup miris mengingat kita hidup di zaman milenium yang mengedepankan kebebasan walaupun kebebasan tersebut masih dalam batasan-batasan rasional kita.

Hal ini ditambah lagi dengan doktrin agama yang mengekang. Kita tahu bahwa agama Islam yang berasal dari Arab mempunyai budaya patriarki yang sangat kental. Ini juga yang menyebabkan distorsi cara pandang kita terhadap Islam. Kita belum bisa membedakan antara konsep agama dan konsep budaya. Kita cenderung mencampuradukkan keduanya.

Lalu bagaimana sebenarnya sikap Islam terhadap feminisme? Saya tidak mau menyebutkan ini adalah sikap Islam. Lebih tepatnya cendekiawan muslim yang peduli terhadap perjuangan feminisme itu sendiri.

Semisal Hossein Nasr atau Amina Wadud dari luar negeri atau nama-nama seperti Nasaruddin Umar, Masdar F Mas’udi, dan Husein Muhammad yang merupakan tokoh intelektual muslim dari dalam negeri yang memperjuangkan nilai-nilai feminisme dalam Islam.

Pertanyaannya, apakah memang ada konsep feminisme dalam Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini baiknya kita mengutip dulu apa itu sebenarnya agama. Emil Durkheim mendefinisikan agama sebagai organized system of the beliefs and rituals that focuses on the sacred (sistem organisasi tentang kepercayaan dan ritual yang fokus pada hal-hal yang suci).

Dari sini kita dapat memahami bahwa sebenarnya agama itu berfungsi sebagai sarana penyucian jiwa, yang sangat tepat bila dikaitkan dengan feminisme, dalam ruang lingkup penyucian jiwa dari kepercayaan tentang paradigma berkuasanya laki-laki terhadap perempuan dalam kesewenang-wenangan. Agama, dalam pandangan masyarakat luas disimpulkan bahwa ia merupakan stuktur yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.

Saya ambil contoh Karl Marx, tokoh yang sangat digandrungi oleh alur pemikiran kiri ini berpandangan bahwa peran agama adalah alat untuk membentuk peran gender. Yaitu menegasikan penderitaan perempuan hanya demi menginginkan kenikmatan akhirat. Peran agama telah menjadi sangat vital dan tendensisus untuk membuat paradigma yang sangat mengakar tentang peran dan fungsi perempuan.

Lalu bagaimana dengan Islam? Apakah ia juga merupakan agama yang tidak bersahabat dengan perempuan? Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mengungkapkan pemikiran salah satu cendekiawan muslim yang memperjuangkan nilai-nilai feminisme dalam Islam yaitu KH Husein Muhammad.

Dalam bukunya, Islam Agama Ramah Perempuan, Husein menceritakan awal mula mengapa dirinya menjadi pejuang feminisme dalam Islam. Dalam hal ini Husein tidak dapat dikategorikan feminis karena menurut esensinya feminis adalah sebuah gerakan peningkatan kesadaran gender dalam transformasi sosial. Yang menurut esensi itu sendiri seorang feminis adalah seorang perempuan.

Ungkapan paling tepat bagi beliau adalah pejuang konsep feminisme dalam Islam. Husein pada awalnya tertarik dengan isu-isu perempuan saat diundang kawan karibnya Masdar F Mas’udi dalam seminar tentang perempuan pada tahun 1993. Dari sanalah kemudian gagasan-gagasan Husein yang semula menolak pandangan kesetaraan perempuan karena dianggap bertentangan dengan pandangan konservatif mulai berubah.

Husein mulai mengagas dan mengkonsistenkan pandangan feminisme dalam Islam melalui tulisan-tulisannya. Husein dianggap tokoh yang otoritatif dalam menumbuhkan gagasan ini karena dia adalah kiai pesantren yang memiliki keahlian dalam bidang hukum Islam melalui literatur-literatur kitab kuningnya meskipun hal ini mendapat banyak penolokan dari banyak kiai lainnya.

Dalam buku tersebut, Husein mengungkapkan argumen-argumen yang cukup kuat tentang mengapa harus ada konsep feminisme dalam Islam. Husein melihat adanya diskriminasi yang cukup kuat terhadap perempuan. Hal ini terlihat dari interpretasi agama dalam memunculkan hukum-hukum terhadap perempuan.

Menurut Husein, hal tersebut terjadi bukan karena agamanya yang salah. Tapi interpretasi agama yang digunakan secara kurang tepat oleh orang-orangnya. Khususnya mengenai perempuan. Husein lagi-lagi hanya ingin meluruskan interpretasi tersebut. Baginya Islam bukanlah musuh bagi perempuan. Bahkan ia merupakan sahabat terbaik bagi perempuan karena Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan.

Begitulah kira-kira pandangan Husein. Melihat kenyataan bahwa agama dalam kacamata Husein bukan sebagai sarana yang tepat untuk mendapatkan hak-hak asasinya melainkan pengekang yang mempersempit ruang gerak perempuan. Hal ini terjadi pada produk hukum klasik seperti tidak diperbolehkannya perempuan menjadi hakim. Perempuan dilarang untuk menjadi pemimpin, dan lain sebagainya.

Bagi Husein, ini merupakan ketidakadilan karena bagaimanapun perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki sebagai mahkluk yang sangat dimuliakan Allah SWT. Seperti pada tulisan yang berjudul “Tauhid untuk Keadilan dan Kesetaraan Gender”, Husein menyatakan bahwa makna literal dari tauhid adalah mengesakan atau menunggalkan segala sesuatu.

Husein menyatakan, tauhid bukan hanya ungkapan verbal individual semata melainkan sebagai pembentuk suatu ke-esa-an dalam hal tatanan sosial, politik, dan kebudayaan. Makna ini berarti mendefinisikan suatu pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan dalam ruang lingkup universal. Termasuk segala bentuk diskriminatif terhadap perempuan.

Dari pandangan di atas bisa disimpulkan bahwa Islam sesungguhnya mempunyai cita-cita yang sama dengan feminisme global meskipun dalam hal ini Husein termasuk dalam kategori pejuang feminisme Islam.

Bukan feminisme muslim dalam arti membuka ketertutupan Islam terhadap konsep feminisme global melalui literatur-literatur yang terdapat dalam rujukan Islam yakni Alquran, Hadis, maupun dari berbagai pandangan ulama klasik. Bukan aktivis feminisme muslim yang memperjuangkan konsep-konsep feminismenya melalu teori-teori feminisme universal.

Walhasil, KH Husein Muhammad merupakan seorang yang berkompeten dalam memunculkan ide-ide feminisme dalam ruang lingkup internal Islam. Setidaknya, hal ini merupakan keterbukaan Islam sebagai agama yang inklusif dalam menerima gagasan-gagasan baru khususnya mengenai konsep keadilan dan kesetaraan gender.

Gagasan ini juga memahamkan kita tentang interpretasi Islam yang selama ini digunakan secara salah mengenai kesetaraan gender bagi perempuan. Meskipun gagasan ini mendapat banyak penolakan termasuk dari tokoh-tokoh Islam yang memegang erat prinsip konservatif, setidaknya gagasan ini memberikan penyegaran bagi kita dalam memandang konsep perempuan dan feminisme dalam Islam secara terbuka.

Perempuan sudah saatnya mendapatkan hak-haknya yang selama berabad-abad ini terbelenggu dalam nuansa budaya patriarki yang sangat kental dan melekat.


@amamur r.h.


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment