Friday, November 25, 2016

Politik Shalat dan Shalat Politik

DUNIA HAWA - Apakah salat, termasuk salat Jum’at, boleh dilakukan di jalan raya? Boleh. Salat bisa dilakukan dimana saja: di masjid, rumah, kantor, kampus, lapangan, stadiun, hutan, padang pasir, kereta, pesawat, mobil, bajaj, dlsb. Di negara-negara Barat bahkan, karena keterbatasan masjid, banyak kaum Muslim yang melakukan salat di gereja atau tempat-tempat ibadah non-Muslim lain. Bahkan di kampung-kampung, banyak umat Islam yang salat di langgar. Jadi, salat “di langgar” saja boleh apalagi di jalan raya he he. Kalau masjidnya berada di pinggir jalan raya, kemudian jamaah salat Jum’atnya sangat banyak dan tak tertampung di masjid, akhirnya kan meluber ke jalan raya. Jadi, boleh kan salat di jalan raya? 


Tetapi kalau banyak masjid yang masih kosong melompong kok kemudian ngotot mau salat berjamaah di jalan raya, itu namanya bukan “salat agama” tapi “salat politik”. Salat, seperti bentuk-bentuk ibadah ritual lain baik di Islam maupun di agama-agama lain, bukan hanya “tindakan ibadah” agama semata tetapi juga bisa disebut sebagai “aksi politik” kalau dilakukan dengan motif dan tujuan politik tertentu.  

Fenomena “ibadah sebagai aksi politik” ini terjadi di banyak negara dan masyarakat. Dulu, di Bolivia, seperti ditunjukkan dalam studi June Nash, para buruh, karyawan dan pengusaha perusahaan timah swasta menggunakan ritual tradisional bernama cha’alla untuk memprotes kebijakan pemerintah yang melakukan nasionalisasi perusahaan timah. Di Perancis, kaum perempuan Muslimah pernah menggalang “gerakan jilbab” sebagai bentuk protes pada pemerintah yang melarang umat beragama menggunakan simbol-simbol keagamaan di tempat-tempat publik. Sejumlah sekte agama, baik dalam Islam maupun non-Islam, termasuk kelompok mistikus dan sufi, dalam sejarahnya juga pernah menggelar “ritual untuk politik” yang memiliki latar belakang dan tujuan macam-macam. 

Apakah salat Jum’at di jalan raya itu sah? Itu bukan urusanku. Apakah salat Jum’at di jalan raya itu haram? Itu juga bukan urusanku. Apakah salat Jumat di jalan raya akan diterima oleh Allah? Ini juga bukan urusanku tahu! 

Yang aku tahu, kalau memang benar ada gerakan dan memobilisasi massa untuk salat Jum’at di jalan raya, sementara banyak masjid atau lapangan yang kosong-melompong, itu jelas para penggerak dan penggagas salat Jum’at di jalan raya itu hendak menggunakan ritual salat sebagai “instrumen politik” untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Inilah yang saya sebut sebagai “politik salat”, dan kalau memang benar terjadi “salat Jum’at di jalan raya”, maka salatnya itu disebut “salat politik”. 

Jika tidak ada hujan dan tidak ada angin, kok orang-orang rombongan salat Jumat di jalan raya, maka kita patut menduga: ini pasti ada “udang di balik tepung”. Saya sarankan kepada umat Islam, kalau mau “unjuk gigi” ke publik dan masyarakat dunia itu dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan dengan ritual-ritual beginian, nanti kalian malah kelihatan sebagai umat yang o-on, udik, dan norak. Malu-maluin…

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Kenapa MUI Larang Demo dan Fahri Menjilat Jokowi?

DUNIA HAWA - Seharian kemarin ada banyak yang bertanya mengapa tiba-tiba MUI dan Fahri Hamzah jadi balik pro pada Jokowi? Bahkan Fahri menyatakan siap pasang badan jika ada upaya makar. Mari kita analisa sesuai ada kemantanan ala Pakar Mantan.


Ada apa dengan MUI?


MUI dengan tegas melarang adanya aksi demo. Bahkan melarang menggunakan atribut MUI.

“terkait dengan rencana aksi unjuk rasa pada 2 Desember 2016 yang antara lain akan dilakukan oleh GNPF MUI, maka MUI memandang perlu untuk menegaskan bahwa GNPF MUI bukanlah merupakan bagian dari dewan pimpinan MUI. MUI meminta apabila terdapat kelompok masyarakat tetap melakukan aski demo pada 2 Desember 2016, hal tersebut hendaknya dilakukan dengan tidak menggunakan atribut atau logo MUI” ujar Wasekjen MUI Sholahudin Al Ayubi.

Sebelum menilai atau menyimpulkan, penting untuk kita ketahui bersama bahwa dualisme dalam sebuah organisasi adalah sebuah keniscayaan. Di MUI, sepertinya hal itu juga sedang terjadi, ada dualisme dan perbedaan sikap. Contoh, saat acara ILC, ketua MUI sudah melarang anggotanya untuk datang, namun kemudian Zainut Tauhid hadir mewakili MUI. Belakangan baru diketahui bahwa Zainut Tauhid adalah DPR dari PPP, partai pendukung Agus Sylviana.

Dalam hal GNPF atau Gerakan Pengawal Fatwa MUI, pasti ada yang mendukung gerakan tersebut. Namun sebaliknya juga pasti ada yang tidak mendukung. Penegasan soal GNPF bukan bagian dari MUI dan melarang atribut serta logo digunakan, adalah keputusan yang harus diambil agar citra MUI selamat. Sebab sekarang angin sudah bergerak mendukung Presiden Jokowi dan muak dengan FPI. Posisi tawar kubu pro Jokowi di kalangan MUI sekarang sedang tinggi. Jika MUI tetap mau mendukung GNPF dan FPI, maka besar kemungkinan MUI juga akan ikut dicitrakan seburuk FPI.

Tentu saja bukan sebuah kebetulan kalau sebelumnya Kapolri Tito Karnavian sehari sebelumnya mendatangi MUI dan mempertanyakan status ormas tersebut. “kita mengetahui sebenarnya apa keinginan MUI. Apakah MUI betul memiliki fokus masalah proses hukum atau kah punya agenda lain juga? Saya datang bukan sebagai Kapolri, tapi sebagai warga muslim. Setahu saya, MUI oramas keagamaan, bukan lembaga politik. Kita harap betul marwah MUI murni masalah keagamaan Islam,” kata Tito.

Tito juga mempertanyakan mengapa ada GNPF MUI dan seolah didiamkan, seolah MUI memberi payung legalisasi aksi yang akan dilakukan pada 2 Desember nanti. Dalam bahasa yang lebih sederhana, saat Tito bertanya apakah punya agenda lain? Maksudnya adalah apakah ini soal Ahok atau Agus di Pilgub DKI? ataukah ada dukungan soal makar dari MUI? Sebab soal kasus penegakan hukum sudah diproses. Lalu MUI mau apa lagi?

Pernyataan Kapolri Tito ini tentu akan semakin menyudutkan MUI, nama baik mereka akan habis kalau masih tetap mendukung GNPF. Rakyat secara otomatis akan mensejajarkan MUI dengan FPI jika masih mendukung aksi demo.

Selain soal menyelamatkan nama baik dan posisi tawar kubu pro Jokowi di kalangan MUI sekarang sedang unggul, hal lainnya adalah rencana pemerintah membentuk BPJPH (Badan Penjamin Produk Halal). Nantinya BPJPH langsung berada di bawah Menteri Agama, bekerjasama dengan kementerian atau lembaga terkait seperti MUI.

Kewenangan BPJPH nanti adalah merumuskan dan menetapkan JPH; menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH. Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk. Melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri. Melakukan sosialisasi, edukasi dan publikasi produk halal. Melakukan akreditasi terhadap LPH. Melakukan registrasi serta pembinaan auditor halal. Melakukan pengawasan terhadap JPH. Semua ini sesuai dengan UU nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal yang harus segera dilaksanakan.

Jadi ini bukan sebatas soal citra atau nama baik MUI yang akan hancur jika tetap mendukung GNPF, tapi juga tentang masa depan dan kerjasama dengan Menteri Agama. Jika MUI tetap bersikap politis mendukung GNPF padahal Ahok sudah dijadikan tersangka, maka adalah sesuatu yang sangat mudah bagi Menteri Agama untuk tidak melibatkan MUI dalam hal menjamin produk halal. Toh MUI memang hanya ormas yang sama seperti ormas lainnya, bukan lembaga negara.

Ada apa dengan Fahri?


Lain MUI, lain juga Fahri. Sebelumnya Fahri berorasi di hadapan para demonstran dan mengancam cara makar pada Presiden Jokowi. Fahri menjelaskan bahwa ada dua cara makar, parlemen jalanan atau parlemen ruangan.

“jadi hukum harus ditegakkan seadilnya tanpa intervensi. Kalau tidak, parlemen ruangan bisa bertindak untuk menggalang mosi tidak percaya atau parlemen jalanan yang bertindak menuntut Presiden mundur,” kata Fahri.

Selain itu, Fahri juga menjanjikan akan membuka pintu gedung DPR MPR jika Jokowi tidak mau menemui pendemo. Artinya Fahri ingin agar massa menguasi gedung tersebut dan memaksa Presiden lengser. Malam harinya saat pendemo masih ada yang bertahan, Fahri dan Fadli melakukan negosiasi dengan aparat keamanan untuk membuka pintu DPR MPR. Namun upaya tersebut digagalkan oleh Kapolri Tito Karnavian.

“saya sudah tau arahnya, kalau dibolehkan masuk, mereka tak akan mau keluar dan menguasai DPR,” kata Tito.

Tapi kemarin Fahri mendadak menyatakan akan pasang badan dan membela Jokowi jika ada agenda makar. “bila ada yang menjatuhkan Pak Jokowi secara ilegal saya membela Pak Jokowi secara terbuka,” kata Fahri.

Dari kacamata Pakar Mantan, ada dua kemungkinan kenapa Fahri tiba-tiba mengatakan hal ini. Pertama, Fahri sedang ingin menyelamatkan dirinya sendiri di kursi pimpinan DPR. Sebab sekarang Setya Novanto sudah kembali jadi pimpinan DPR dan Golkar mendukung Presiden Jokowi. Jika Fahri tetap memecah belah bangsa ini, maka besok atau lusa Fahri akan dipaksa keluar dari gedung DPR. Supaya bisa full time dengan Rizieq.

Kedua, Fahri sebenarnya sedang ingin membentuk opini publik bahwa tidak ada upaya makar. Supaya nantinya aksi tersebut diizinkan, jika tidak masyarakat akan digiring untuk berpikir bahwa pemerintahan Jokowi megambil hak-hak demokrasi.

“tak perlu ada kecurigaan tentang menjatuhkan Presiden, tak mungkin itu, Presiden hanya mungkin dijatuhkan bila ada pasal-pasal yang menjatuhkan seperti korupsi, berkhianat kepada bangsa dan negara dan pidana berat. Saya mau imbau Presiden Jokowi tenang saja. Kalau aksi itu hak rakyat, alasan aksinya ada” kata Fahri.

Tapi nanti jika aksi tersebut diijinkan dan berlangsung seperti sebelumnya, maka besar kemungkinan Fahri akan total berupaya memasukkan massa pada gedung DPR MPR dan menguasainya. Kembali berorasi mendukung parlemen jalanan dan mengancam Presiden Jokowi lagi.

Inilah politik dengan segala kepentingannya. Kita sebagai rakyat harus paham dengan segala tipu dayanya. Apalagi Fahri Hamzah sudah dilaporkan ke Bareskrim atas tuduhan makar, jelas posisinya sudah sangat terjepit dan tak ada pilihan lain kecuali mendukung upaya pelengseran Jokowi. Sebab bertahan dan duduk manis di pimpinan DPR pun masih bisa ditendang kapan saja oleh Setnov yang kepalanya sudah dipegang Jokowi. Selain itu juga terancam ditahan karena upaya makar. Memang tak ada pilihan lain kecuali mendukung pelengseran Jokowi dengan berbagai cara.

Terakhir, di hari-hari seperti sekarang ini, saya yakin para pembaca sudah mulai paham. Kita mengutuk yang pantas dikutuk, membela yang perlu dibela. Semua kita bisa berbeda pendapat tentang banyak hal, tapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita semua harus sepakat dengan NKRI, UU45 dan Pancasila. Sebab semuanya sudah tidak bisa diperdebatkan dengan alasan demokrasi atau hak berpendapat.

Begitulah kura-kura

@alifurrahman


Kita Semua Bersaudara

DUNIA HAWA - 14 Nov 2016 lalu, PM Israel Netanyahu menyetujui UU yang melarang suara Azan terutama di kota Yerusalem, dengan alasan suara keras dari tempat ibadah mengganggu ketenangan warga.


Meskipun UU ini berlaku untuk seluruh pemeluk agama, namun umat Muslim yang paling terkena dampak karena tradisi Azan (panggilan shalat) melalui speaker di mesjid. (baca_disini)

GEREJA KUMANDANGKAN AZAN


22 Nov hari ini, sebagai bentuk prostes atas kebijakan pemerintah Israel ini, Gereja-Gereja di Israel, terutama kota Yerusalem mengumandangkan Azan untuk umat Muslim.

Umat Nasrani di Israel inisiatif melakukan ini sebagai bentuk dukungan dan solidaritas, juga unjuk hubungan harmonis lintas agama.

Tak hanya gereja, umat Nasrani di kota Yerusalem menaiki atap rumah mereka bersama-sama umat Muslim mengumandangkan Azan. (baca_disini)

Karena Kita Semua Bersaudara

Karena umat Muslim dan Nasrani adalah Saudara. yang mengatakan umat Muslim harus bermusuhan dengan umat Nasarani adalah setan sebenarnya.

Tak bosan ingatkan wasiat Sahabat Nabi ini..

"Mereka yang bukan saudara dalam iman,
adalah Saudara dalam Kemanusiaan."
( Sahabat Ali Bin Abi Talib R.A.)

KITA SEMUA BERSAUDARA


@gus permadi arya
( Muslim Nahdliyin )

Save Rohingya, Tahukah Anda Tentang Sejarah Siapa Mereka Sebenarnya?

DUNIA HAWA - Setelah pemberitaan media beralih fokus ke topik-topik lain dan ledakan empati, emosi sudah sedikit memudar; saya ingin memberikan sedikit perspektif atas pengungsian “Rohingya” yang kemarin marak diberitakan.


Tentu tidak perlu diperdebatkan lagi apakah kita sebagai negara harus menampung para pengungsi; langkah penanganan pengungsi pun sudah disepakati berbagai pihak, termasuk pemerintah Myanmar, Bangladesh, negara-negara ASEAN penampung pengungsi dan UNHCR.

Saya tinggal di Yangon sudah hampir dua tahun. Tulisan ini saya sadur dari berbagai sumber dari lembaga internasional [1], opini dari tokoh yang kompeten [2], opini dari masyarakat [*] di sekitar tempat saya bekerja dan pengalaman pribadi.

Sebelum Inggris menguasai Myanmar, wilayah/propinsi (state) yang saat ini disebut “Rakhine”, terdiri atas 2 bagian. Sebagian dibawah wilayah Bengal dan sebagian lagi dibawah kerajaan Arakan. Penting untuk sedikit memahami apa yang terjadi sebelumnya di wilayah Rakhine, baik di utara (dekat dengan Bangladesh) dan selatan (dekat dengan Burma/Myanmar).

Bengal sejak 1947 berada dalam wilayah Pakistan, namun masyarakat Bengal merasa didiskriminasi oleh Pakistan, salah satunya karena bahasa; karena meskipun mereka adalah mayoritas di wilayah tersebut, bahasa resmi yang digunakan pemerintah adalah bahasa Urdu dan bukan Bengali.

Banyak gerakan separatis masyarakat Bengal dan akhirnya pada tahun 1971 Bengal merdeka dari Pakistan dan menjadi negara Bangladesh. Dalam proses menuju kemerdekaan Bangladesh, tentunya banyak rakyat sipil yang mengungsi, lari dari perang.

Sebagian lari menuju ke Selatan, masuk ke wilayah (bekas) kerajaan Arakan, yang saat itu sudah berada di bawah Burma. Pengungsi ini kemudian ditampung sementara, namun sebagian besar dikembalikan lagi ke Bangladesh karena tidak diakui sebagai warga Myanmar.

Di selatan, bagian Burma, saat terjadi pembasmian gerakan separatis Muslim di Rakhine di tahun 1950; banyak juga penduduk yang berusaha lari dan bermigrasi ke Bengal (Pakistan).

Nasib mereka sama, sesampainya di Bengal, mereka ditampung sementara dan akhirnya dikembalikan ke Myanmar. Tentu ada sebagian yang lolos sebagai imigran ilegal di kedua negara dan akhirnya bisa hidup turun temurun di negara baru mereka.

Dalam keadaan damaipun, pergerakan penduduk (legal atau ilegal) di wilayah perbatasan ini sudah sangat cair sejak dulu. Dalam keadaan genting (perang), tentu pergerakan penduduk ini lebih sering dan dalam jumlah besar. Ini harus kita pahami (sebagai spektator yang berimbang).

Dimana ada masalah imigrasi di perbatasan, maka yang paling bertanggungjawab dan harus duduk bersama adalah kedua negara yang dibelah oleh perbatasan tersebut, dalam hal ini Bangladesh dan Myanmar. Kedua negara ini harus menemukan kesepakatan penanganan pengungsi yang ada saat ini dan meletakkan mekanisme kontrol untuk mencegah pelanggaran imigrasi. Negara-negara lain yang terkena imbasnya, harus melibatkan kedua negara ini dalam mencari solusi.

Pada bulan Mei 2015 yang lalu, Indonesia kedatangan kapal-kapal pengungsi yang mengklaim datang dari Myanmar. Mereka menyebutkan identitas mereka sebagai “Muslim Rohingya”.

Secepat bola salju, media dan pengguna media sosial mengerubuti topik ini dari berbagai sudut. Dari segi hak asasi manusia sampai ke konflik Buddha-Muslim yang ada di Myanmar. Saya coba mengupas sedikit dalam bentuk tanya-jawab.

Tentu tidak bisa mengupas secara tuntas dalam artikel pendek ini, tapi semoga bisa memicu rasa keingintahuan pembaca untuk menilik lebih dalam; tidak sekedar untuk menang debat atau men-judge, tapi lebih pada kepuasan diri atas pemahaman yang baik dan berimbang.


Dari mana munculnya istilah “Rohingya”? Apa artinya?


Banyak yang sering menggabungkan “Rohingya” (baca: Ro-hin-jya) dengan “Muslim”. Muslim Rohingya, begitu sering diberitakan – dimana Rohingya diidentikkan dengan orang beragama Islam. Ada juga beberapa media yang menyebutnya “Etnis Rohingya”, dimana Rohingya diidentikkan dengan sebuah suku. Lalu yang mana yang paling tepat?

Kata Rohingya berasal dari Bahasa Bangladesh (Bengali), kata “Rohang” yang merupakan sebutan lain untuk “Arakan” (kerajaan Arakan). Istilah ini pertama kali didokumentasikan oleh Dr. Francis Buchanan, seorang botanis, geografer, ahli bahasa dan peneliti budaya dan sejarah Bengal. Pada tahun 1795, dia mengunjungi kerajaan Amarapura setelah jatuhnya kerajaan Arakan.

Di sana dia bertemu penduduk setempat dan saat ditanya dari mana asalnya, mereka menjawab dari Rohang. Rohingya (orang yang berasal dari Rohang), adalah istilah yang muncul atas latar belakang geografis, bukan suku atau agama. Mereka adalah orang-orang Bengal yang tinggal di wilayah kerajaan Arakan. [1]

Yang menarik, istilah Rohingya ini hanya ada di Rakhine bagian Myanmar. Saat dilakukan penelitian pada orang dari Rakhine bagian Bangladesh, disana tidak dikenal istilah Rohingya.

Apa yang diinginkan Rohingya?


Kerajaan Inggris menguasai daerah Rakhine mulai tahun 1826, setelah perang Anglo-Burmese. Salah satu hal pertama yang dilakukan oleh pemerintah bentukan Inggris yaitu melakukan sensus penduduk untuk mendata jumlah penduduk, suku-suku dan agama yang ada di Burma.

Dari beberapa sensus yang dilakukan, tidak ada yang mengidentifikasi diri mereka sebagai suku/ etnis Rohingya. [1] [2]. Orang etnis India (berkulit hitam) di Burma pada masa itu dijuluki Hindus (bila mereka beragama Hindu) dan Mohamedans (kalau mereka Muslim). Mereka yang berasal dari Bengal, disebut Chittagonians atau Bengalis.

Istilah Rohingya mulai muncul setelah berakhirnya Perang Dunia II saat Burma menjadi negara merdeka pada 1948. Bengalis yang tinggal di wilayah Butheetaung dan Maungdaw di Rakhine Utara, mulai mempopulerkan istilah Rohingya.

Istilah ini akhirnya naik cetak di sebuah artikel “The Sudeteen Muslims” pada 20 Agusutus 1951 di harian Guardian Daily (tapi terus terang saya sudah mencoba mencari-cari naskah aslinya di Internet, belum ketemu).

Artikel ini ditulis oleh Mr. Abdul Gaffer, anggota Partai Mujaheed. Sejak itu istilah Rohingya semakin populer dan digunakan sebagai identitas untuk memperjuangkan hak-hak rakyat muslim di parlemen atau pemerintahan.

Kelompok ini ingin memperkuat identitas mereka dan ingin menjadikan wilayah Rakhine sebagai wilayah Islam (layaknya Daerah Istimewa Aceh, di Indonesia). Namun sebenarnya, pada mulanya mereka ingin Rakhine Utara ini dianeksasi oleh Bangladesh yang adalah negara Islam.

Sayangnya pemerintah Bangladesh tidak mau melakukan aneksasi dan opsi berikutnya bagi pejuang Rohingya adalah mendirikan sebuah Daerah Istimewa. Keinginan ini juga tidak dipenuhi oleh pemerintah Burma dan pada akhirnya kelompok pejuang ini berubah menjadi organisasi pemberontak bersenjata (The Mujaheeds).

Mereka menyerukan perlawanan terhadap pemerintah Burma. Gerakan pemberontakan ini berlangsung cukup lama dan akhirnya berhasil ditumpas pada tahun 1961 saat pemimpin pemberontakan menyerahkan diri kepada militer Burma. [1]

Pada tahun 1978 pemerintah Burma melakukan operasi imigran ilegal yang dikenal dengan King Dragon Operation. Tujuannya untuk “membasmi” anggota dan simpatisan gerakan Mujaheedin atau gerakan pemberontakan lainnya.

Banyak rakyat muslim yang dipenjara dan dibunuh dalam operasi ini. Banyak juga yang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh untuk mencari perlindungan. Sebagian dari mereka ditampung sebagai pengungsi, namun sebagian lagi bergabung dengan berbagai gerakan pemberontakan lainnya.

Dengan larinya penduduk muslim ke perbatasan, ini menjadi ladang yang subur untuk melakukan rekrutmen. Ada yang bergabung dengan motivasi balas dendam, untuk mencari perlindungan dan juga untuk berjihad.

Sampai sekarang, gerakan-gerakan separatis ini masih ada.

Namun demikian, tentu penduduk Rohingya yang kita lihat sehari-hari di televisi atau kita baca di berita bukanlah prajurit-prajurit pemberontak.

Mereka adalah korban konflik yang berkepanjangan, yang hanya mencari tempat berteduh dan hidup layak.

Masalahnya, kedua negara di perbatasan tidak mau mengakui mereka sebagai warganya, karena sejarah yang panjang dan penuh konflik. Saat ini yang mereka inginkan hanya satu, kewarganegaraan berikut dengan hak-hak yang terkandung di dalamnya (kesehatan, pendidikan, lapangan kerja dan hak memilih). [1]

Stigmatisasi istilah “Rohingya” ini yang mempersulit mereka [2]. Pemerintah Myanmar saat ini tidak mengakui Rohingya sebagai suku/etnis asli Myanmar dan mereka dikategorikan sebagai “Bengali”. Andaikan saja konflik ini semudah mengubah nama mereka, sayangnya tidak semudah itu. Istilah “Bengali” ini menyakitkan bagi penduduk Rohingya, mereka tersinggung bila disebut sebagai Bengali.

Namun demikian, yang tidak banyak dipahami adalah, istilah “Rohingya” sama menyakitkannya bagi warga Myanmar, khususnya yang tinggal di daerah Rakhine. Istilah ini dikonotasikan dengan pemberontakan yang sudah menelan banyak korban dan merupakan penghinaan bagi suku setempat karena suku Rohingya menurut mereka tidak pernah ada dalam sejarah Myanmar.[*]

Saat ini sudah ada beberapa tokoh Bengali di parlemen Myanmar yang lantang menyerukan hak-hak bagi “migran Bengali” – nama yang mungkin tidak ideal bagi mereka, tapi setidaknya merupakan awal yang baik untuk bisa duduk bersama dan merumuskan jalan ke depan dalam memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan [2].


Kenapa pemerintah Myanmar tidak memberikan kewarganegaraan? 


Karena dalam Undang-undang kewarganegaraan yang berlaku tidak bisa diberikan begitu saja. Kedaulatan hukum ini yang membuat negara-negara lain harus menghormati keputusan pemerintah Myanmar.

UU Kewarganegaraan yang berlaku menerapkan syarat-syarat yang sangat ketat bagi migran yang ingin mendapatkan kewarganegaraan, termasuk di dalamnya membuktikan bahwa generasi N+3 (pasangan kakek buyut) adalah dari keturunan suku asli Myanmar.

Saat UU ini diberlakukan pada 1982, cukup jelas bahwa pemerintah saat itu ingin sekali menerapkan persyaratan yang ketat bagi warganya, termasuk untuk “menyingkirkan” migran ilegal yang saat itu tinggal di Myanmar. UU yang sebelumnya diberlakukan pada 1947 jauh lebih ringan dalam memberikan kewarganegaraan. [1][2]

Selama UU Kewarganegaraan 1982 ini masih berlaku, maka penduduk Rohingya yang saat ini tinggal di kampung pengungsi dan tidak memiliki dokumen legal untuk membuktikan garis keturunan mereka, sedikit sekali harapan mereka akan diberikan kewarganegaraan.

Apakah ini diskriminasi terhadap Muslim Myanmar?


Menurut saya tidak sepenuhnya. Meskipun Rohingya adalah penduduk beragama Islam, diskriminasi yang terjadi atas mereka bukan semata-mata karena agama.

Untuk menuduh lebih jauh bahwa pemerintah Myanmar mendiskriminasikan Muslim juga berlebihan. Setiap Idul Adha dan Idul Fitri, pemerintah menetapkan hari libur untuk kedua hari tersebut. Ini adalah pengakuan dan penghormatan atas hari besar agama Islam.

Di Yangon juga tidak sulit untuk mencari masjid dan warung makan halal, semua berdiri dan ramai pada jam-jamnya. Namun demikian, di wilayah Rakhine ada daerah tertentu dimana gesekan lebih sering terjadi.

Tapi menurut saya, ini bukan karena penduduk Buddha membenci Islam atau sebaliknya; namun lebih karena secara historis mereka sudah dipatri sedemikian rupa. Dari diskusi dengan teman di sini, sejujurnya baik penduduk Buddha dan Muslim, mereka sama takutnya jika harus ikut tawuran atau kegiatan lain yang berbau kekerasan.

Banyak media yang melakukan ekspose besar-besaran terhadap Bhikku Ashin Wirathu (U Wirathu), yang memang di Myanmar sendiri dikenal sebagai Bhikku yang kontroversial.

Dia menyebarkan ketakutan atas Islam yang menurutnya berusaha mendominasi dunia. Dia dengan bangga mengidentikkan dirinya dan pengikutnya dengan English Defence League, yang merupakan organisasi ekstrim kanan di Inggris yang melawan penyebaran Islam dan hukum Shariah di sana.

Yang perlu dipahami di sini adalah, tidak semua umat Buddha Myanmar seperti U Wirathu. Sebagian besar dari mereka adalah moderat dan tidak menyukai kekerasan. U Wirathu memiliki kurang lebih 2.500 pengikut.

Kalau ini ditakutkan sebagai gerakan, maka sungguh ini masih belum sebanding dengan, misalnya gerakan protes terhadap pemerintah militer Myanmar di tahun 2007 yang juga dimotori oleh Bhikku yang melibatkan 100.000 orang, yang kita kenal dengan Saffron Revolution yang berujung pada jatuhnya kuasa militer Myanmar.

Pandangan dan sikap U Wirathu ini mulai dikenal sejak tahun 2012 saat terjadi kericuhan antara penduduk Buddha dan Muslim, dipicu oleh pemerkosaan dan dibalas pengeroyokan yang berakhir pembunuhan.

U Wirathu pada saat itu banyak memberikan pernyataan ke publik yang menyudutkan Muslim dan sayangnya karena terus menerus dipublikasikan, dia menjadi semakin terkenal.

Sebagian besar penduduk Myanmar tidak setuju dengan sikapnya tapi karena dia adalah Bhikku dan mengingat sensitivitas isu Rohingya, maka tidak ada juga yang vokal menentangnya.

Masalah penduduk Rohingya masih jauh dari selesai, selama tidak ada itikad baik dari pemerintah Myanmar dan Bangladesh untuk menyelesaikannya.

UU Kewarganegaraan di Myanmar harus diubah untuk mengakomodasi penduduk yang sudah lama tinggal di sini tanpa hak-hak dasar yang memadai.

Negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga PBB harus terus melakukan upaya-upaya diplomatik untuk menekan kedua pemerintah negara ini untuk menyelesaikan masalah berkepanjangan ini.

@Arief


Sumber: 

[1]
Executive Summary of the Special Commission’s Report issued on 22 April 2013
The Mujahid rebellion in Arakan: Professor R B Pearn Foreign Office 1952
Population of Arakan Townships classified by Race in the 1931 Census
Extract on Arakan from the 1872 Census
Text of Burma Citizenship Law dated 15 October 1982
Text of the Burma Immigration (Emergency Provisions) Act 1947


[2]
Burma’s Western Border 1947-1975 – Dr Aye Chan, Kanda Journal Vol.2, 2011
The origin of the name “Rohingya” – Khin Maung Saw Humboldt University – 1993
Burma: The Rohingya Muslims – Human Rights Watch 1996
Rohingya – The name, the movement, the quest for identity – January 2014
Burma’s treatment of the Rohingya and international law – BCUK 2013