Sunday, December 4, 2016

Pasca 212: Kita Yang Banyak, Selanjutnya Mau Bagamana?

DUNIA HAWA - Banyaknya manusia yang datang pada 2 Desember 2016, atau lebih dikenal dengan kode aksi 212 terus marak dibicarakan, hampir tanpa henti di media sosial, dan menyelinap penuh euforia di grup-grup percakapan yang tak ayal membuat smartphone nge hang. “Bayangkan, 7 juta manusia berkumpul untuk membela AlQuran, berkumpul untuk menuntut atas perbuatan seorang penista agama. Tidak ada seorang tokoh pun di Indonesia yang bisa mengomando sebanyak itu orang untuk bergerak.” Dan diikuti oleh berbagai asma Allah.


7 juta, itu adalah euforia jumlah terbesarnya. Tetapi ada juga yang menyebut 1 juta, 2 juta; tetapi ada yang menghitung dengan logika ruang dan waktu, sehingga tercatat angka 12 Juta orang. (baca_disini) Apapun lah itu, jumlah manusia sebanyak itu memang harus kita akui sangat luar biasa. Itu lah banyaknya umat muslim di Indonesia yang mampu dikumpulkan dalam satu waktu, dan itu belum semuanya.

Ada sebuah tulisan bagus tentang bagaimana aksi 212 ini dibandingkan dengan aksi 411, di mana aksi 411 adalah aksi yang “mengetuk” pintu istana dan gedung wakil rakyat, sementara 212 adalah aksi yang “mengetuk” pintu-pintu langit dengan doa, sehingga diberikan lah hujan yang damai pada hari itu. Sebuah analogi yang bagus bukan, bagaimana kumpulan manusia bermunajat bersama-sama kepada Tuhannya?

Tetapi, kemudian apa yang sebenarnya diharapkan dari sebuah aksi, 411 ataupun 212? Apakah hanya sebatas tuntutan untuk menjalankan proses hukum yang memang sudah berjalan? Atau adakah yang lainnya? Sepertinya, mungkin memang ada, karena sebagai jawaban dari analogi “mengetuk pintu langit”, seseorang dapat berpikir bahwa berdoa adalah selemah-lemahnya sebuah perjuangan. Berdoa adalah bentuk kelemahan. Berbicara pada Tuhan adalah sebuah bentuk kelemahan.

Tidak itu saja, tidak sedikit orang-orang yang tidak bersedia bahwa aksi 212 adalah bentuk dzikir bersama, istighotsah, atau apapun nama ibadahnya. Mereka mengharapkan aksi 212 tersebut adalah sebagai statement, pernyataan mereka terhadap sesuatu yang lebih dari sekadar berdoa. Mereka ingin dianggap, didengarkan dan dituruti. “Pokoknya begini dan harus begini!” Terdengar orasi-orasi yang menyatakan hukum Tuhan di atas konstitusi. Apakah berarti maksudnya manusia harus ditangkap tanpa diadili?

Jadi, bagaimana sebuah kumpulan orang yang banyak ini bisa sampai pada suatu tuntutan-tuntutan yang tampak tidak juga terpuaskan? Bagaimana kah mereka bisa sampai pada kesimpulan bahwa berdoa adalah sebuah kelemahan? Bagaimana “pokoknya-pokoknya” itu pokoknya harus pokoknya?

Aksi yang lanjut berlanjut ini sepertinya menjadi ajang show off force dengan terus bertambahnya para  pesertanya. Entah apa maksud dan tujuan menunjukkan kekuatan di negara yang memang mayoritas Islam. Show off force yang dengan adanya tuturan “berdoa itu adalah selemah-lemahnya perjuangan” atau “aksi super damai 212 tidak boleh hanya menjadi ajang dzikir” malah menunjukkan bahwa aksi ini kemungkinan besar diharapkan untuk memaksakan kehendak.

Namun, untungnya, pemaksaan kehendak yang sangat mungkin berujung pada anarki sama sekali tidak terjadi. Dzikir dan doa dalam rahmat Allah berupa hujan yang mendamaikan hati dan meluruhkan amarah telah berlangsung sesuai harapan “super damai” yang menjadi jargon aksi. Jangan biarkan rasa ketidakpuasan menghantui, dan jangan pernah mengamini kalimat “doa adalah selemah-lemahnya perjuangan”.

Itu adalah sebuah penistaan.


Doa adalah sarana berbicara manusia kepada Tuhannya, sang penguasa alam semesta. Doa adalah sebuah pengakuan bahwa tiada kekuatan yang MAHA untuk dapat mengubah suatu keadaan selain daripada kekuatanNya. Bagaimana tidak, jangankan mengubah keadaan, membolak-balikkan pikiran makhluk pun Tuhan berhak, mampu dan memang bisa melakukannya. Pernyataan tersebut adalah arogansi luar biasa dari seorang makhluk di hadapan Tuhannya. Jangan ditiru, jangan ditiru.

Kembali kepada judul,  setelah kita tahu kita banyak, lalu selanjutnya mau apa? Apakah kita cukup dengan berbangga diri saja bahwa kita banyak, lalu sudah? Debu juga banyak, buih di lautan juga banyak, lalu apa?

Berdoa dan bekerja, itu adalah satu kesatuan jargon Yin dan Yang, yang akan menggerakkan roda perubahan bagi kehidupan ini. Tentu saja dalam bekerja, kita harus membangun dulu fondasi visi dan misi, ingin jadi seperti apakah kita sebagai seorang makhluk, sebagai bagian dari makhluk-makhluk lain, dan sebagai bagian dari alam semesta.

Banyaknya kita itu hendaknya memberikan perubaha yang baik bagi alam semesta, sesuai dengan takdir kita diciptakan ke muka bumi ini: sebagai khalifah atas bumi dan seluruh alam semesta. Pemimpin di atas bumi, dan hamba di hadapan Allah SWT.

Pemimpin itu ngapain sih?


Pemimpin itu adalah mereka yang berada paling depan untuk menarik, memberi contoh, memberi arah, memberi pengertian dan pemahaman, serta sekaligus meluruskan ketika terdapat penyimpangan. Pemimpin itu bukan duduk, sebut harus begini, harus begitu, mestinya begini dan begitu, tetapi tidak mencontohkan bagaimana sesuatu seyogyanya dijalankan.

Maka pada dasarnya, sebagai manusia, kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Pemimpin yang dibekali akal dan pikiran untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, mana yang kontribusi dan mana yang cuma caci maki. Dengan menyadari peranan kita sebagai pemimpin dan khalifah, seharusnya kita mampu memberi kontribusi yang nyata, bukan hanya rendeng-rendeng berkumpul lalu hanyut. 

Setelah kita menyadari khittah kepemimpinan pribadi, yaitu untuk memberi kontribusi nyata bagi alam semesta sebagai ladang ibadah kita, maka tentunya setiap dari kita yang memiliki pola pikir yang sama akan menemukan kebersamaan. Walaupun bentuk kontribusi yang kita pikirkan bisa saja berbeda-beda, asal tujuannya sama, maka tentu caranya akan dapat kita diskusikan agar dapat sejalan dan seirama tanpa saling berbentrokan.

Setelah cara dan bentuk kontribusi apa yang dapat kita berikan bagi kemaslahatan alam semesta telah kita sepakati, maka perjalanan berikutnya hanya masalah mau atau tidaknya kita mengaplikasikan ide dalam kenyataan. Bukan hanya ide angan-angan, dan tidak pernah berjalan; tapi jangan pula berjalan tanpa idealisme, visi dan misi. Dijamin pada satu titik kita akan berada pada kondisi lost.

Sebagai kesimpulan dari tulisan yang ngalor ngidul ini, mari lah kita sebagai umat manusia, bukan hanya agama tertentu, mulai merenung, berkontemplasi, mensinergikan akal, pikiran dan hati, membuka mata hati dan pikiran, membuka lebar-lebar telinga pada desauan suara alam. Kita harus menemukan kembali esensi kehidupan kita sebagai manusia, kita wajib menata ulang pikiran kita mengenai apa itu ibadah di mata Allah, Tuhan Semesta Alam. Kita perlu menghayati hakikat penciptaan kita sebagai manusia di bumi ini.

Kita bisa memilih menjadi para guru bagi peradaban manusia Indonesia, guru-guru yang menciptakan generasi muda yang gigih dalam bersaing menciptakan penemuan-penemuan, gigih dalam bekerja menciptakan kesejahteraan, gigih dalam berjuang memberantas korupsi, tindak kriminal dan berbagai kejahatan lain. Kita dapat menjadi contoh tentang bagaimana menjadi manusia yang berintegritas, tak goyah pada sogokan harta, jabatan dan iming-iming duniawi lainnya.

Kita bisa menjadi contoh bagi generasi muda, bagaimana menjadikan diri kita berguna bagi seluruh alam semesta, tanpa pamrih, karena keikhlasan dan keyakinan bahwa hanya Allah lah sebaik-baik dan seadil-adilnya pemberi penghargaan.

Niscaya, bila kita telah memiliki pemahaman serupa itu, tidak perlu lagi ada demonstrasi dan aksi, yang ada hanya diskusi di antara kita para manusia untuk bagaimana menyatukan pemikiran dan cita-cita agar menjadi berguna bagi alam semesta. Paling tidak, berguna lah kita terlebih dahulu bagi Indonesia.


Lihat Video Orasi Sri Bintang Pamungkas Dalam Upaya Mengajak untuk Makar :



@reno algamar


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment