Friday, December 16, 2016

Jika Mereka Pengikut Setan, Kita Bisa Apa?

Setaniyah (Pengikut Setan)


DUNIA HAWA -Entah bagaimana sebagian kecil kita bisa bertindak melampaui Setan. Ini mungkin bisa disebut ‘prestasi’ terbesar manusia di satu sisi. Atau malah kemunduran paling memilukan dari wujud kemanusiaan.


Saya menduga, di awal-awal, Setan pun sepertinya hanya berniat dan membisiki manusia dengan godaan-godaan. Sebatas itu yang disanggupinya. Dan aksi sebagian kecil kita—sekarang dan mungkin yang akan datang—bisa lebih jauh daripada Setan: mengebom manusia di tempat-tempat ibadah, membakar rumah ibadah, bunuh diri dengan misi membunuh yang tak kasat mata, mengkafir-kafirkan, membantai manusia lain dan semacamnya.

Tentu saja laku kurang (w)ajar yang saya sebut di atas adalah potensi terpendam manusia. Kemungkinan menjadi serupa malaikat 50% dan peluang maujud sebangsat—bahkan lebih—Setan juga 50%. Pilihan-pilihan mengikutsertakan hati nurani yang akan menggeser peluang lebih dekat ke mana. Apakah lebih dekat ke arah ‘serupa’ malaikat atau malah menjadi Setaniyah—pengikut Setan taat.

Jika sebagian kecil kita merasa belum cukup sebagai Setaniyah, ingin lebih sialan dari Setan, cukup praktikkan ketakberpikiran pada tindakan, pengekoran buta, kekerdilan imajinasi, ketakpekaan rasa dan penghilangan kemanusiaan—peristiwa Holokaus yang mencerminkan Banalitas Kejahatan adalah salah satu puzzle pelengkap. 

Sependek dugaan saya, dan senyeleneh pikiran saya, Setan pun tak pernah mengkafirkan sesamanya. Itu yang kadang membuat saya iri. Senista apa pun tujuan mereka dan seburuk apa pun ‘inti tindakannya’ pada kita, koordinasi mereka dalam upaya berkhdimat pada Tuhan sangat elegan.

Entah apa yang terjadi. Apakah ini isyarat bahwa ‘nalar’ mereka dalam upaya menyesatkan manusia berjalan baik sedangkan sebagian kita tengah lalai menggunakan isi kepala dan hati nurani?   

Maafkan guyon saya. Itu hanya tafsir saya saja. Jika ada kesalahan dari sesat pikir saya tentang Setan, mungkin itu karena saya tertolak sebagai juru bicara Setan.

Tentu saja Setan bisa juga—tak melulu—kita pandang hanya dengan terma materi atau jasadiyah. Bagi saya, ia lebih merupakan potensi, energi jiwa tak sehat, gelombang ketiadaan hati nurani.

Namun sebelum kita berikhtiar memahami Setan yang bersemayam dalam kepala-kepala—yang tak mempergunakan daya pikirnya—, tentulah kita harus meyakini diri sebagai manusia lebih dahulu. Sebagai wadah di mana Setan-setan mungkin saja ada. Entah  dalam peran kita sebagai makhluk soliter, makhluk sosial, warga negara Indonesia, bagian dari masyarakat dunia, kaum profesional, anggota parlemen, pejabat, mistikus, penganjur paham, penyebar ujaran kebencian, golongan intelektual atau apa pun.

Sesungguhnya sebagian kita belum benar-benar mengenali diri. Kita pada—atau beberapa—dimensi-dimensi yang lebih substansial kadang luput. Mungkin gegara itu—alih-alih menjadi manusia terlebih dahulu sebelum menjadi penganut suatu agama—kita bisa jadi boneka-boneka Setan. Kita bertransformasi hanya menjadi robot yang dikendalikan sepenuhnya oleh kehendak Setan. Kita hanya piranti-piranti dari kemauan-kemauan setan yang tertabal di muka Bumi.

Saya tidak bermain-main walau tentu saja saya bukan Doktor Ilmu Setan. Saya hanya Fisikawan Teoretik dan Matematikawan Ruang yang kebetulan resah.

Kompetensi saya sebagai ilmuwan tak etis saya gunakan dalam ranah Setan, dedemit, tuyul, kuntilanak dan siluman. Saya tidak dapat mengandalkan ilmu pengetahuan baku dari sekolahan dan universitas. Pun dari pengetahuan setelah ikut ragam konferensi Fisika nasional dan internasional tak terlalu berguna.

Walau tak berdasar pijakan yang jelas, lebih baik Anda tidak membantah dulu tulisan saya ini yang tak disokong teorema atau postulat-postulat mapan. Tentu saja pelajaran tentang setan ini saya harap berguna untuk individu masing-masing, untuk keluarga, untuk keselamatan anak-anak kita di tahun-tahun tak terperediksi yang akan datang. Bahkan saya harap semoga ini akan berguna untuk masyarakat dan bangsa.

Pertama-tama kita harus meragukan keaslian diri kita. Membuka kemungkinan bahwa hampir semua sisi kehidupan kita sudah berubah jadi palsu.

Saya menduga kepalsuan masing-masing kita akan membuat setan akan bersorak-sorai lalu berujar santai : “Tidak ada gairah lagi menggoda manusia. Toh manusia sekarang lebih setan daripada kami. Sesetan-setannya setan, setan tak pernah menuduh sesamanya kafir dan mencap setan lain melakukan bid’ah.

Setiap hal baru untuk menyesatkan manusia adalah inovasi. Ya masa cara yang sama menggoda Nabi Adam digunakan untuk anak-cucunya. Tak ada tantangan lagi. Manusia bukan tandingan Setan sama sekali.”

Saya berharap tak mendengar kalimat itu dari Setan. Agar Setan kembali bersemangat menguji kita di Bumi, kita harus memberi tantangan pada Setan. Jangan biarkan mereka pensiun dini. Tapi jika sebagian kita tak mampu, ya apa boleh buat.

Tidak usah khawatir, kalaupun Setan telah pensiun menggoda manusia—karena merasa tak ada sensasi lagi—, saya berencana akan mengajak mereka bekerjasama dalam pengembangan teknologi tembus tembok dan stasiun teleportasi. 

Menghalau Setaniyah


Apakah Tuhan sedang tidur setelah menciptakan manusia, bumi dan keseluruhan isi jagad raya?

Apakah di tangan para teroris, Tuhan berubah wajah menjadi penghancur?

Tuhan tidak dapat menghalangi saya menjatuhkan pulpen ini. Jika ia sanggup harusnya gravitasi lari ke atas, bukan membawa buku ini jatuh ke bawah. Mana kuasa Tuhan?

Tuhan itu dongeng. Ia harus dibunuh oleh sains dan teknologi.

Itu adalah empat pertanyaan dan pernyataan dari orang-orang di sekeliling saya di komunitas riset. Allah “mengangkat” mereka menjadi pemantik dan penyulut bara api yang melahirkan “ilmu dan pemahaman” dahsyat tentang Tuhan dan Ketuhanan.

Munculnya pertanyaan seperti yang saya sebut di atas boleh jadi memang karena kekritisan sebagian kita sudah lebih baik. Mungkin saja itu juga disebabkan pertukaran informasi yang semakin terbuka. Bisa juga karena pengaruh pihak lain.

Bisa juga karena beberapa kekeliruan para pemuka agama dalam memperkenalkan ajaran-ajaran kedamaian dan spiritualitas. Dalam Islam, para pemuka agama itu mungkin sedang malas mencontoh Rasulullah yang mengenalkan Allah dan Islam kepada umatnya dengan cara penuh kasih, keteladanan dan kedamaian.

Saya tak bermaksud menyinggung hati para pemuka agama. Tapi jika kita berusaha jujur pada diri masing-masing, marilah kita telaah beberapa hal. Sekarang coba kita ingat-ingat pengajaran agama kita sejak SD sampai di bangku perkuliahan. Sebagian kecil kita mungkin hanya diajarkan syariat, fiqh, rukun Islam, rukun Iman, tata cara ibadah, halal-haram dan lain-lain.

Saya tak mengatakan pelajaran-pelajaran itu tak penting. Tentu saja itu sangat penting. Tapi perlu dipikirkan cara lebih baik agar agama Islam misal, tidak diajarkan monoton. Apatah lagi jika sang guru, taruhlah, pengikut fanatik taat mazhab tertentu. Bisa jadi bingunglah anak-anak, adik-adik kita yang diajarinya.

Sependek pengamatan saya, beberapa pemuka agama perlu meninjau ulang upaya baiknya mengajarkan agama kepada anak didiknya. Tentu saja sangat berbeda, pelajaran agama dan pelajaran tentang agama.

Jangan sampai ada ironi-ironi yang mengecewakan. Mungkin bisa jadi guru spiritual ternyata mengajarkan hal keliru, seorang pemuka agama tanpa sadar menanmkan bibit-bibit radikalisme dan hal-hal lain yang kurang patut.

Keasyikan dan fokus mengajarkan ritual disertai dalil-dalil yang mengikutinya hanya dapat membawa anak-anak sekadar tahu. Nilai-nilai mistik, spiritual yang mewarnai mereka tak sampai ikut tertanam dalam laku.

Sungguh ironis. Hal tersebut bisa jadi hanya membawa fanatisme pada ajaran agama, bukan fanatisme menjalankan nilai-nilai luhur agama. Mari kita bandingkan sesuatu. Seberapa banyak orang mengaku beragama yang membangun industri besar lalu mengabaikan ekosistem dibanding suku tertuduh primitif?

Coba lihat kebanyakan suku tertuduh primitf yang dekat dengan alam. Mereka mungkin tak mengenal agama formal tapi mereka menjalankan aturan adat karena diajarkan sejak awal oleh nenek moyang mereka tentang pentingnya merawat alam.

Saya pikir, kunci penting keberagamaan adalah kesalehan sosial. Mampunya kita keluar dari ego pribadi menuju keinginan mengajak sesama ikut bersama kita kelak ke Surga. Juga sanggupnya kita tidak hanya sibuk menjalankan ritual agama, berlama-lama diri di tempat ibadah, namun bersedia juga turun memeriksa keadaan, merasakan dinamika dari masyarakat di sekitarnya.

Ia tidak terjebak dalam anggapan bahwa ritual agama adalah “tiket” ke surga, namun ia sadar bahwa sebenarnya agama diturunkan untuk kebaikan di dunia, dan perkara surga itu hanya imbas dari amal manusia di dunia.

Dalam terma yang lebih luas, mestinya kesalehan pribadi sebagian kita harus diimbangi dengan kesalehan lain seperti kesalehan sosial dan kesalehan profesional. Jika kita memiliki ketiganya, semoga Allah menjadikan kita manusia yang tergolong saleh secara kaffah.

Semoga dengan upaya kita menjadi saleh, Setan akan kembali bergairah dan membuat kehidupan keberagamaan kita menjadi berdinamika, berfluktuasi dan berwarna.

@ muh. syahrul padli

Fisikawan teoretik, Matematikawan ruang

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment