Monday, December 5, 2016

Bangga Menjadi Muslimah

DUNIA HAWA - Dengan menyebut nama Tuhanku Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.


Demi rambut pomade Pak Jokowi, demi apapun itu, saya tidak berbakat menulis politik. Saya merasa selalu kerasukan roh pujangga yang entah dari mana yang lebih cocok mengarang cerita atau puisi, baik puisi gelap atau puisi terang, baik puisi religi atau puisi mbeling. Tetapi, di hari kedua dalam bahasa Arab ini (yaumul isnain) dan hari pertama kerja di negri ini (Senin) izinkan saya menjadi pujangga yang kerasukan roh politikus.

Kita tengok prahara yang terjadi beberapa minggu ke belakang. Semua topik hangat selalu membawa tagar Ahok dan Al Quran. Pelecehan dan pembelaan. Pro dan kontra. Bohong dan benar. Sebuah konsep dualitas yang terus-menerus digaungkan. Semua orang dewasa membicarakan dualitas ini, karena saya lihat anak-anak acuh dan tidak terbawa suasana, begitu pula ibu-ibu yang sehari-harinya tidak pernah nonton tivi, tidak pegang hape canggih, tidak pula berlangganan surat kabar, yang sudah pasti tidak tinggal di Jakarta dan bertetangga dengan Ahok. Dualitas ini terus menerus disajikan baik di dunia nyata, maupun dunia antah berantah. Tak terhitung berapa keuntungan yang didapatkan stasiun televisi dan media massa yang selalu aptudet menghadirkan berita keduanya.

Sementara saya di sini hampa, tidak merasakan apa-apa selain bingarnya pasar dan banyaknya potongan bibir yang merajai layar kaca, baik LCD maupun LED. Merinding rasanya saat terbangun pagi hari tanggal 2 Desember 2016. Para pembela Al Quran akan berkumpul di Jakarta. Ketika melihat begitu banyaknya manusia berbaju putih memenuhi jalan-jalan hingga melaksanakan sholat Jumat di bawah guyuran hujan yang tidak rintik, tidak pula tumpah deras, hati saya semakin bergetar melihatnya. Inikah masyarakat imajiner seperti yang Benedict Anderson katakan? Sudah pasti ia keliru. Masyarakat ini nyata, mereka semua saudaraku se-Islam, dunia dan jannah. Begitu kata hati saya.

Tidak sedikit ramalan yang saya baca dari masyarakat awam kalau Pak Jokowi akan jadi pecundang lewat absennya di perkumpulan akbar ini. Nyatanya, ia datang dengan santun berkemeja putih bersih andalannya. Semua ramalan telah menguap disaput bulir hujan, kehadirannya terang benderang. Kapan rakyat Indonesia akan benar-benar mencintai pemimpinnya? Mulai dari pemimpin yang kalem, yang ilmuwan, yang kyai, yang wanita, yang militer, yang anak desa, sepertinya tak pernah bebas dicela. Mengapa rakyat Indonesia lebih senang suudzon kepada presidennya? Apakah kita memang tipe rakyat yang kecanduan aib dan tragedi? Sehingga lebih gemar mencari-cari kekurangan dibanding mensyukuri niat luhur mereka memimpin negri? Presiden macam apa yang sebenarnya rakyat kita butuh?

Lama-lama saya setuju dengan candaan serius Emha Ainun Nadjib dalam bukunya, bahwa ia akan memilih Dorce sebagai presiden, karena Dorce dapat mewakili kaum pria sekaligus wanita.

Apakah reaksi ini akibat dari didikan acara-acara tivi yang selalu menghadirkan gosip dan sinetron tiada akhir yang seringkali diboyong dari luar negri? Rakyat jadi kecanduan drama dan air mata, pula sumpah serapah ketika sinetron favoritnya tidak sesuai jalan cerita.

Demi rambut pomade Pak Jokowi, semoga keteguhan senantiasa ada dalam dadanya. Semoga ia bisa meneladani tokek budek yang terus memanjat dan memanjat demi memenangkan lomba Tujuh Belas Agustus tanpa mendengarkan cemooh orang-orang apatis kritis krisis kepercayaan di bawah sana. Semoga ia pernah baca buku motivasi Setengah Isi Setengah Kosong tentang tokek budek ini.

Sebagai seorang muslim yang tidak ikut berjihad di Jakarta, apa yang saya lakukan? Apa yang muslimah-muslimah seperti saya lakukan? khidmat dan takzim menonton sembari menangis berderai-derai haru karena melihat begitu banyak saudara yang rela mati demi kitab suci dan agamanya?

Sebuah percakapan dengan sahabat terjadi Jumat itu. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya Ahok memiliki wajah lucu, mirip Minguk, bayi yang sering nongol di drama Korea.

Tetapi yasudahlah, biar hukum yang berbicara. Ia memang perlu diberi pelajaran akibat berbicara sembarangan. Sudah semestinya seseorang itu membela dan melindungi apa yang mereka miliki, termasuk bagaimana muslim membela Islam dalam aksi apapun selagi dilakukan dengan cara yang disyariatkan. Belum pernah sekalipun saya dengar ada pemimpin dan pejabat yang beragama Islam atau ulama yang menghina Injil, Weda, atau Tripitaka, mungkin mereka sadar bahwa pedang yang baik adalah yang disarungkan saat tidak sedang digunakan untuk perang. Pedang saja disarungkan, seharusnya lidah diapainlah kan lebih tajam. Tetapi kejadian berikut sudah cukup jadi pelajaran bagi para pemimpin, pejabat, atau siapapun yang dianggap orang besar, agar senantiasa menjaga hati dan lisannya dari kata-kata yang berpotensi melukai banyak orang.

Lewat peristiwa ini, semoga muslim dan muslimah semakin bangga atas jati dirinya. Yang kemaren acuh karena memang tak mau tahu dan tak perduli karena keegoisan diri, semoga hari ini nuraninya hadir kembali. Masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat imajiner yang seolah-olah saling bersaudara padahal kenal saja tidak. Tengoklah, berapa bala bantuan yang datang tanpa diminta pada 212 itu, betapa banyak orang bahu membahu menjalankan perannya masing-masing. Betapa persaudaraan atas nama rakyat Indonesia, atas nama muslim nyata adanya.

Saya bangga menjadi muslimah…

@pramudya utari



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment