Saturday, December 3, 2016

Alasan Saya Tak Datang ke Monas

DUNIA HAWA - Sejak kemarin, berita tentang aksi 212 padat merayap di beranda saya, mulai dari Facebook sampai Twitter, bahkan yang paling privat sekali pun macam Path. Mulai dari berita doa bersama super damai itu, santri dari Ciamis yang disambut di Jakarta, turunnya Presiden Jokowi dengan segenggam payung biru, ceramah Habib Rizieq, ditangkapnya para terduga makar sebelum aksi, sampai pada sosok Wiro Sableng yang terlihat berbaur di tempat kejadian.

Yang paling ramai tentu, foto aksi 212 yang saya dipaksa untuk mengucek-ucek mata, memastikan jumlah khalayak yang meluber sampai ke jalan-jalan, subhanallah.


Foto Monas menjulang, yang biasanya hanya dihiasi dengan sejumlah warga yang menikmati akhir pekan, sekedar olahraga atau jalan-jalan bersama keluarga, atau pun pedagang-pedagang yang ingin menyambung hidup dan keramaian lainnya, sekarang sungguh sangat tak berarti dibandingkan kerumunan massa jamaah salat Jumat dengan kostum serba putih.

Bahkan hanya melihat foto dari sepetak layar laptop saja sudah membuat takjub, orang Islam mana yang tidak tergerak hatinya melihat saudaranya sesama muslim berbondong-bondong salat Jumat segitu banyaknya, segitu semangatnya, segitu khusyuknya (paling tidak di foto), di tengah guyuran hujan yang turun rintik-rintik syahdu. Itu hanya lewat foto, bagaimana jika langsung dengan mata kepala sendiri? Saya hanya bisa membayangkan.

Di hari aksi 212, aksi super damai itu, yang katanya semata-mata berdoa untuk keutuhan bangsa, pas saat umat Islam tanah air berbondong-bondong menggaungkan takbir di sekitar monas, saya sedang tertidur pulas dengan gaya ala kadarnya, celana tidur yang entah punya siapa, dan sarung untuk pengganti selimut menolak dingin.

Tidak hanya aksi yang sudah menginjak jilid tiga ini, episode sebelumnya (satu dan dua) pun saya masih asyik dengan mimpi saya sendiri. Karena memang perbedaan jam antara Indonesia dan negeri tempat saya kuliah yang berjarak sampai tujuh jam. Jadi aksi yang didirikan pagi sampai siang di Jakarta, di kamar saya ini masih tengah malam sampai menjelang subuh.

Ini juga yang menjadi alasan pertama dan utama saya tidak ikut turun langsung di aksi Bela Islam berjilid-jilid itu. Bagaimana mau ikut, sedangkan tiket pulang ke rumah seharga satu Iphone 6. Dua kali lebaran saya memilih tinggal, lalu atas dasar apa saya pulang sekarang?

Jika Anda sudah mengerti titik persoalannya, maka akan mudah untuk saya menjelaskan poin berikutnya. Baiklah, saya tidak turun langsung ke lapangan, lalu bagaimana dengan ucapan selamat atau semangat kepada para mujahid yang pergi membela Islam itu? Setidaknya sebagai mahasiswa Studi Islam saya bisa menuliskan beberapa kalimat dalam selembar kertas untuk mendukung aksi 212, lalu difoto dan disebarkan lewat medsos, ya kan?

Namun yang ini juga tidak saya lakukan. Pertama, saya tidak yakin pesan saya sampai kepada khalayak itu, jumlah like dan comment tiap postingan saya saja hampir selalu mentok di bawah seratus. Jadi ini perbuatan yang tidak efisien. Maka saya tinggalkan. Saya harus sadar diri bahwa saya bukan orang terkenal. Kedua, saya tidak mendukung aksi 212 kemarin, jadi tidak ada alasan untuk saya menulis surat seperti itu.

Lalu seandainya saya punya kesempatan untuk pulang ke Indonesia kemarin, atau dengan alasan apa pun sedang berada di Indonesia pada tanggal 2 Desember 2016, saya akan tetap Jumatan di masjid dekat rumah dan tidak berangkat ke Monas.

Berdosakah saya? Biar itu jadi urusan Tuhan. Yang pasti saya akan berdosa jika tidak Jumatan, karena itu wajib bagi kami. Tapi Jumatan di Monas? Kalau itu sebagai aksi benar-benar bela Islam, menjadi wajib bagi saya. Tapi dari awal, ini sudah sarat intrik, penuh dengan bumbu politik (menurut pandangan saya pribadi) dan dikemas dengan cara yang bervariasi.

Episode satu dan dua berkutat di demo, unjuk rasa kepada pemerintah. Yang terakhir ini, doa bersama. Tak ada demo, tak ada ricuh. Namun substansinya tetap, tangkap Ahok, penjarakan Ahok. Justru ini yang menjadi poin pentingnya. Dan jika nanti pengadilan memutuskan Ahok bebas, episode selanjutnya dari aksi Bela Islam akan bergulir, percayalah. Entah dalam bentuk apa.

Umat Islam mana yang tak tergerak hatinya melihat Monas dikelilingi entah berapa banyak muslim Indonesia itu. Namun alangkah indahnya jika itu memang dimaksudkan doa bersama untuk keutuhan bangsa dan negara, tanpa iming-iming apa pun.

Siapa yang tidak bahagia melihat umat Islam bersatu? Namun sangat disayangkan jika kerumunan massa itu hanya digunakan sebagian golongan untuk memenuhi hasrat politiknya. Sebagai umat Islam kita harus bersatu, bergandengan tangan dengan saudara muslim yang lain. Namun sebagai warga Indonesia, kita harus bersatu, bergandengan tangan dengan pemeluk agama apa pun, dari golongan mana pun.

@ agus g ahmad


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment