DUNIA HAWA - Tragedi kemanusiaan dalam histori peradaban manusia sepanjang zaman selalu berulang. Akar dari semua tragedi itu erat kaitannya dengan kebencian.
Kebencian melahirkan perseteruan. Perseteruan melahirkan peperangan. Peperangan melahirkan pembunuhan, penyiksaan dan penghancuran. Selalu begitu urutannya.
Sayangnya semua tragedi itu selalu memakan korban anak anak dan perempuan. Ada banyak catatan sejarah penderitaan yang dialami anak anak dan perempuan dalam tragedi peperangan.
Kita pernah mendengar catatan harian Anne Frank, seorang anak yang dipaksa masuk camp konsentrasi Nazi pada Perang Dunia 2. Anne Frank menulis kisah penderitaannya bersama ribuan anak anak lainnya saat disiksa di kamp konsentrasi Auschwitz.
Catatan buku harian Anne Frank berjudul The Diary of Young Girl menjadi saksi sebuah tragedi betapa manusia bisa begitu kejam dan brutal memperlakukan sesama manusia lainnya.
Kisah tak kalah tragisnya juga berlangsung belum lama ini. Gadis kecil asal Afghanistan Malala Yousafzai, lahir di Mingora, Distrik (Lembah) Swat, Pakistan, 12 Juli 1997 ditembak penyerangnya hanya karena mereka tidak ingin melihat Malala sekolah.
Pada 9 Oktober 2012, sebuah truk yang dimodifikasi sebagai bus Sekolah “Khushal” – sekolah milik ayah Malala — di kota Mingora, sedang membawa sejumlah murid perempuan pulang dari sekolah mereka, salah satunya adalah Malala.
Tiba-tiba sekolah itu dihadang oleh dua laki-laki muda bersenjata dari Taliban. Pemuda Taliban itu menembaknya dua kali, tembakan pertama mengena kepala di dekat mata kirinya, dan yang kedua mengena lehernya. Malala roboh bermandikan darahnya sendiri.
Kisah tragis Malala terjadi hanya karena Malala ingin berkeras ingin sekolah, sementara Taliban melarang keras anak perempuan bersekolah.
Tragedi lain tidak kalah menyayat hati kita lihat saat ratusan ribu pengungsi Suriah meninggalkan negaranya melewati laut menuju Eropa. Seorang ayah menggendong bayinya yang tewas menangis di tengah guyuran hujan deras. Seorang bayi terdampar di tepi pantai karena kapal yang ditumpangi orang tuanya karam dihantam ombak.
Tragedi kemanusiaan pengungsi Suriah ini lagi lagi terjadi karena peperangan di dalam negeri sendiri.
Jutaan anak anak tewas dan cacat akibat peperangan yang lahir dari kebencian para orang dewasa.
Hari Minggu lalu, empat orang anak balita harus menerima kobaran kebencian dalam bentuk api. Kobaran api melahap tubuh tubuh tak berdosa mereka.
Mereka anak anak polos suci harus menderita terbakar wajah dan tubuhnya karena seorang pria gondrong berkaos oblong melemparkan bom api ke tengah tengah anak balita ini.
Tragis sekali akhir hidup bayi Intan yang masih berumur 2.5 tahun saat api melahap habis tubuhnya. Ia terbakar bukan di medan perang. Ia terbakar di rumah Tuhan, Rumah Suci tempat doa dan puji kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dipanjatkan. Rumah doa tempat orang memuji Tuhan Yang Maha Penyayang.
Tiga anak balita teman Intan Olivia lainnya, sampai saat ini berada dalam kondisi sekarat. Trinity Hutahaean (4) masih berjuang untuk hidup. Wajah dan badannya habis terbakar. Alat kelaminnya terkena pecahan kaca.
Alvaro Sinaga menjerit kesakitan saat kulit wajahnya melepuh terkena api panas. Kupingnya hancur terkena serpihan ledakan kaca. Wajah gantengnya berubah menjadi gosong hitam mengerikan.
Anak anak kecil yang masih balita ini akan menderita seumur hidup karena kebencian pelaku bom molotov Juhanda yang memiliki keyakinan bahwa membunuh anak anak tak berdosa ini adalah panggilan dan tugas suci teologi yang diyakininya.
Mereka menjadi korban bukan karena hutang piutang, perebutan lahan atau perselisihan bisnis melainkan karena keyakinan iman Juhanda. Kita jadi bertanya seperti apa sih sebenarnya rupa dan bentuk Wajah Ilahi itu? Berwajah Maha Pengasih atau pembenci jahat?
Setiap tragedi selalu memunculkan pertanyaan filosofis.
“Mengapa Tuhan membiarkan anak anak menderita? Mengapa Tuhan membiarkan tragedi menimpa anak anak? Mengapa Tuhan membiarkan hal-hal semacam ini terjadi pada kami? Anak-anak tidak bersalah apa-apa.” tanya seorang anak bernama Palomar sambil sesunggukan kepada Paus Fransiskus.
Glyzelle Palomar adalah seorang anak gelandangan asal Philipina hidupnya tercampak karena kemiskinan dan penderitaan. Ia menemui Paus dan bertanya saat Paus Fransikus mengunjungi kotanya pada 2012 lalu.
Paus tertegun dan terdiam. Lalu Paus menjawab lirih “Inti dari pertanyaanmu anakku… hampir tidak punya jawabannya.”
“Dia hanyalah salah seorang yang mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak ada jawabannya dan dia bahkan tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata tetapi dengan tangisan,” kata Paus lebih lanjut.
“Ada sejumlah realitas tertentu dalam hidup, yang kita hanya bisa lihat melalui mata yang dibersihkan dengan air mata kita,” kata Paus.
Rasanya apa yang diungkapkan Paus Fransiskus memang tidak ada jawabannya. Tapi satu hal yang pasti cara kita menyikapi tragedi atas nama kebencian itu bisa memutus tragedi kemanusiaan baru atau memperparah tragedi baru.
Apakah peperangan melahirkan peperangan baru. Apakah korban kemanusiaan menimbulkan korban kemanusiaan baru. Apakah api kebencian memunculkan dengan api kebencian baru.
Pengampunan Ibunda Intan Olivia, Ibunda Trinity dan Bapak Gembala HKBP Samarinda Pdt. Edmon Rumah Horbo kepada pelaku bom molotov itu dan mendoakannya telah memutus rangkaian tragedi lanjutan. Iman mengampuni mereka telah memutus peperangan baru. Mata ganti mata membuat dunia buta.
Diana Susan Ibunda Intan Olivia ikhlas menerima kematian anak semata wayangnya meski dadanya remuk redam menahan perih tak terkira. Diana Susan percaya pada imannya bahwa kasihilah musuhmu. Berdoalah bagi dia karena dia tidak tahu apa yang dia perbuat.
Tragedi kemanusiaan yang merenggut anak anak ini tidak akan pernah berakhir. Ia akan selalu ada ketika kebencian itu masih ada. Maka tepatlah jawaban Paus Fransiskus bahwa tidak ada jawaban atas pertanyaan mengapa Tuhan membiarkan penderitaan menimpa anak anak.
Hanya orang yang bisa menangis dan punya air mata yang bisa menjawabnya. Dan kita bisa melihat semakin jarang orang menangis meski tragedi itu menimpa anak anak. Malah yang kita dengar adalah suara prasangka baru bahwa tragedi itu hanya pengalihan isu.
Prasangka jahat pengalihan isu inilah sesungguhnya tragedi di atas tragedi. Tragedi terbesar ketika rasa empati kemanusiaan lenyap saat melihat kobaran api menjilat tubuh bayi bayi tak berdosa. Tragedi di atas tragedi itu saat manusia telah mati rasa kemanusiaannya sekalipun didepannya Ia melihat anak kecil melolong perih terbakar. Mengerikan.
birgaldo sinaga
No comments:
Post a Comment