Sunday, November 20, 2016

Menyikapi 411 Dari Kacamata Parlemen

DUNIA HAWA - Sudah terlalu banyak media yang membahas Demo 411 kemarin dari berbagai sisi, namun sangat sedikit yang mengulas mengenai sikap “Orang-orang Senayan” terhadap demo 411 tersebut. Entah mengapa orang hanya fokus kepada para ulama, para cagub dan pemerintah saja. Sementara DPR yang biasanya kepo terhadap segala sesuatu yang terjadi di negeri ini, seperti terlihat bersembunyi. Hanya Ruhut Sitompul, Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang suaranya “kenceng” dan terlihat jelas sikapnya. Bukan itu saja, duo FF ini juga menjadi orator dan provokator dalam demo tersebut.


Adalah menarik melihat kiprah keduanya kemarin itu, karena terlihat sangat aneh dan tidak wajar. Biasanya warga demo ke gedung DPR, lalu anggota DPR nya ngumpet atau kabur lewat pintu belakang. Duo FF ini malah ikut berdemo dengan gerombolan berdaster dengan menaiki truk yang disulap menjadi sebuah “mimbar” tempat untuk “berbicara hal-hal yang kotor dan tidak pantas” Padahal duo FF ini digaji masyarakat untuk melakukan “pekerjaan parlemen” seperti membuat undang-undang. Ini pekerjaan yang sangat mendesak karena tak sampai 20% undang-undang yang berhasil dirampungkan DPR dari target semula! Begitulah kinerja DPR kita!

Gobloknya lagi, si Fahri Hamzah yang sok pintar itu malah mengajari warga cara-cara untuk mengguling pemerintahan dengan dua cara, yaitu lewat parlemen Senayan atau lewat parlemen jalanan. Apa yang dilakukan oleh Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang notabene adalah orang parlemen Senayan ini sungguh memalukan bagi seluruh anggota DPR yang masih punya rasa malu, apalagi kedua FF ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPR!

Lalu timbul pertanyaan. Kalau memang berseberangan dengan pemerintah, mengapa Fahri Hamzah tidak menjalankan fungsinya melalui parlemen beneran untuk menekan pemerintah? bahkan bila perlu menjatuhkannya saja, seperti yang dulu dilakukan “DPR Taman Kanak-kanak” kepada Gus Dur? Jawabannya sederhana. Fahri Hamzah ini “Impoten!” Dia hanyalah “lelaki tak berdaya, tapi bermulut comberan” Walaupun menjabat Wakil Ketua DPR di Senayan, tetapi suaranya seperti “angin busuk” yang tidak patut didengar. Itulah sebabnya dia hanya bisa “merayu” para penyuka “nasi bungkus” untuk melakukan aksi parlemen jalanan.

Menarik untuk dicermati strategi Fahri Hamzah ini dan juga perilaku tersembunyi para orang senayan lain, yang didalam “keheningan” mereka itu menyimpan kesan seperti bersiap-siap untuk “menangguk di air keruh” karena peristiwa 1998 bisa saja terjadi, sementara peristiwa 2001 (Gus Dur dijatuhkan DPR) mustahil bisa dilakukan. Mari kita simak “keperluan” Fahri Hamzah dalam kisah 411 ini.

Akibat terlalu banyak membacot, nasib Fahri Hamzah di Senayan seperti telur diujung tanduk. Sebenarnya Fahri sudah lama dipecat PKS. Dia kini orang independen, dan satu-satunya wakil ketua DPR didunia ini yang bukan orang partai politik! Padahal diseluruh dunia ini, DPR itu adalah representatif partai politik dalam keikutsertaan mereka dalam penyelenggaran negara. Kalau dulu Gus Dur mengatakan DPR itu Taman Kanak-kanak, kelihatannya ada benarnya juga. Saya tidak tahu bagaimana perasaan seluruh anggota DPR yang mewakili parpol tersebut menyikapi hal ini.

Ini seperti orang-orang yang berbaris rapi menyambut tamu terhormat. Akan tetapi, ternyata ada seorang diantara mereka yang berbaris itu, berdiri sambil tersenyum manis, tetapi tidak pakai celana! Itu memang hal yang memalukan. Akan tetapi yang lebih memalukan lagi adalah mereka-mereka yang berdiri disamping “lelaki tak bercelana” itu. Mereka tidak perduli dan mengacuhkan saja, bahkan mereka kelihatan bersenda gurau dengan “lelaki tak bercelana” itu. Hanya Ruhut Sitompul yang selalu tak suka kepadanya, bahkan ketika dia masih memakai celana.  “Walaupun kawan tuh bercelana, tetapi ritsletingnya suka terbuka, ngeri-ngeri sedap awak liatnya bang, jadi peninglah kepalaku tante……” imbuh siraja minyak itu…

Ketika dipecat PKS dan posisinya terancam, Fahri lalu merapat ke Cikeas. Belum sampai “gerbang,” Ruhut yang ketika itu masih mesra dengan pak beye, langsung meneriakinya! Dulu Fahri ini memang suka mengejek IQ pak beye. Tapi kini berbalik memujinya. Awalnya Cikeas yang suka baper ini memang seperti melayang, apalagi semua orang-orang telah melupakannya. Kalaupun ada yang ingat, ingatnya hanyalah pada proyek mangkrak Hambalang atau Lebaran Kuda saja!

Bagi Fahri, mini seri demo-demo anti Ahok ini sangat diperlukan untuk eksistensi dirinya sebagai seorang politisi. Di Senayan dia sudah impoten dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bukan mujizat juga kalau dia belum “dicampakkan” dari Senayan. Keberadaannya di Senayan hanyalah sebagai “kartu truf” penguasa saja. Fahri adalah “duri dalam daging” bagi PKS. PKS adalah partai yang “keras dan sedikit nyentrik” Dulu ketika berkoalisi dengan Demokrat yang berkuasa, PKS sering mendemo pemerintah, padahal menterinya juga adalah orang PKS! Ini entah karena “bos yang berkuasa agak oon” atau karena PKS-nya yang suka bermain “dua kaki!” Dan kelihatannya Fahri dipakai pemerintah sebagai solusi jitu untuk mengurusi PKS!

Sialnya bagi Fahri, “membacot itu rupanya sudah bawaan badan” Walaupun kemarin itu dia menangis sedih dan terlihat insaf, Fahri tidak tahan “digantung, dan dia butuh ketegasan” Dia harus membacot untuk menarik perhatian Cikeas, “Orang-orang sakit hati” dan masyarakat. Kelihatannya ada sedikit peluang baginya menggeser Ruhut yang sudah “pekong” (pecah kongsi) dengan Cikeas. Sebab sekali PKS bisa meyakinkan pemerintah, maka nasibnya di Senayan akan langsung berahir!

Jabatan Wakil Ketua DPR rupanya berhasil menempatkan Fahri dan Fadli Zon menempati posisi penting dalam perhelatan 411. Yang menarik adalah, ketika berdemo mereka membawa nama pribadi karena Prabowo telah menegaskan Gerindra tidak ikut dalam 411, sedangkan Fahri adalah “jomblo parpol!”Akan tetapi ketika mengundang “para penyuka nasi bungkus” itu untuk menginap di kantor DPR, mereka memakai nama “Wakil Ketua DPR” Karena kalau memakai nama pribadi, tentu saja Satpam tidak akan mau membuka pintu gerbang bagi mereka. Kalau tidak percaya, coba saja rakyat biasa, atau ketika duo FF itu sudah berhenti atau dipecat dari DPR, memangnya mau satpam melayani mereka?

Dunia politik memang dunia penuh intrik dan misteri. Tiak ada kawan sejati atau musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan. Itupun kepentingan jangka pendek sesaat. Dunia politik selalu menyesuaikan diri sesuai dengan dinamika perkembangan yang terjadi dimasyarakat. Saat ini trendnya adalah Ahok. Para politisi berlomba-lomba untuk menunjukkan eksistensi diri mereka dalam perhelatan Ahok ini. Sebagian dari mereka itu tidak perduli apakah Ahok menistakan setan atau orang lain. Yang penting momen ini bisa dipakai untuk menunjukkan diri mereka yang sudah lama terhilang dari peredaran.

Politisi yang lain sengaja memakai momen ini untuk menaikkan pamor jagoannya dalam ajang pilgub 2017. Mereka tidak perduli dengan kapasitas dan kapabilitas jagoannya, yang penting mereka pasti mendapat keuntungan besar kalau jagoannya berhasil meraih kursi DKI.1.

Bagi kebanyakan politisi Senayan, mereka lebih suka dengan posisi “wait and see” Walaupun kini berkoalisi dengan pemerintah, pada dasarnya mereka ini adalah “oportunis yang punya masa lalu yang gelap dan penyuka kegelapan!” kini mereka harus terlihat “bersih” dan ini sangat menjengkelkan dan membosankan! Tetapi mereka tidak punya pilihan lain selain berkoalisi dengan pemerintah. Berseberangan dengan pemerintah akan sangat membahayakan karena rawan tergaruk KPK, yah karena itu tadi, mereka itu punya masa lalu yang gelap!

Bagi orang Senayan ini sangat dilematis. Dulu pada saat musim Kemarau melanda, para anggota Dewan yang mulia itu sering kebanjiran rezeki dari pemerintah, baik dari Dana Bansos, Dana Bantuan Daerah dan Dana-dana Siluman lainnya. Akan tetapi kini ketika musim banjir melanda, para anggota Dewan yang mulia itu “kekeringan rezeki yang tak terperihkan!” kini selain gaji, tak ada lagi yang bisa “dipegang” kalau tidak mau digaruk KPK! Pendapatan tidak sesuai lagi dengan biaya yang telah dikeluarkan! Itulah sebabnya anggota dewan tidak begitu bernafsu lagi untuk mengurusi hal-hal yang terjadi dalam masyarakat.

Ini memang seperti minum kopi simalakama. Tak diminum, aromanya sungguh menggoda. Kalau diminum, takut ada sianidanya! Yah memang sudah begitulah keadaannya. Para anggota dewan yang terhormat itu kini sedang puyeng merenungi nasibnya, jadi mohon maaf saja kalau kemarin itu ada teman mereka yang berencana mengajak ribuan orang untuk menginap dikantor mereka itu, sungguh mereka itu bukannya tidak tahu, tetapi… mereka tidak perduli!

Ini juga adalah sebuah pertanda sinyal kepada pemerintah. DPR jauh lebih besar dan kuat dari MUI! Kalau pemerintah bisa memberikan “kelonggaran” kepada DPR, maka merekapun bisa membereskan segalanya. Dunia politik adalah dunia kepentingan. Dan harap diingat, DPR itu adalah mitra sejati pemerintah! Demikianlah kura-kura terdengar bisikan lembut dari Senayan….

@reinhard f hutabarat


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment