Monday, November 14, 2016

Mengapa 'Tak Banyak Suara' untuk Intan dan Korban Bom Gereja Samarinda

DUNIA HAWA - Linimasa dipenuhi ungkapan duka, sedih, dan marah setelah bom meledak di pelataran Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda Kalimantan Timur, Minggu (13/11) lalu. Sebagian bahkan mempertanyakan mengapa penolakan atas 'aksi teror yang mengatasnamakan agama' itu tidak kencang disuarakan seperti dugaan penistaan agama baru-baru ini.


Empat balita mengalami luka bakar akibat ledakan bom molotov, satu di antaranya Intan Olivia Marbun berusia dua tahun, meninggal dunia Senin (14/11) akibat luka bakar yang diderita hampir di seluruh tubuhnya. "Sayangnya, dokter tidak bisa menyelamatkan korban... dia meninggal pagi ini," kata Fajar Setiawan kepada AFP.


Suasana duka menyelimuti media sosial hari ini, sebagian menggunakan tagar 'RIP Intan' untuk mengungkapkan kesedihan.

"Duka yang mendalam," kata satu pengguna Twitter. "Kamu enggak salah apa-apa nak, istirahatlah dengan tenang. Maafkan kami. Maafkan kami. Maaf," kata yang lain.

"Turut berduka cita untuk Intan Olivia, anak kecil lugu tanpa dosa yang jadi korban kebiadaban orang yang mengaku membela agama," kicau Abi Hasantoso.

Terduga pelaku, yang menggunakan kaos bertuliskan 'Jihad, way of life' ketika ditangkap, tercatat pernah melakukan aksi teror sebelumnya termasuk kasus bom buku di Jakarta pada 2011 lalu, kata polisi.


Presiden Joko Widodo dengan tegas mengatakan kasus bom Samarinda 'harus diusut secara tuntas' dan meminta kepolisian melakukan 'penegakan hukum yang tegas'. Dan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj menyatakan pihaknya 'mengutuk keras peristiwa kekerasan oleh dan atas nama apapun'.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sejumlah laporan juga menyatakan mengutuk aksi teror yang 'bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai Pancasila.


'Penistaan luar biasa'

Namun di balik duka itu, banyak orang di media sosial mempertanyakan mengapa perlawanan atas aksi teror itu tidak banyak bergaung di media sosial. 

Sebagian bahkan membandingkannya dengan suara-suara yang riuh berkomentar tentang kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Basuki Tjahaja Purnama, yang menuai aksi turun ke jalan melibatkan puluhan ribu orang.

"Yang kencang bela agama kebanyakan anteng-anteng saja ketika bom molotov di gereja yang menewaskan anak kecil di Samarinda, bahkan cenderung sinis," kata satu pengguna Twitter.

Ezki Suyanto bertanya, "Bapak-bapak MUI, Bapak-bapak FPI, Bapak-bapak NU, Bapak-bapak Muhammadyah, Ibu-ibu khilafah, maukah mendoakan Intan yang wafat korban bom Samarinda atas nama Islam?"



Aktivis LSM Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP) Ahmad Nurcholish mengungkap pertanyaan yang sama. "(Aksi teror) itulah yang sesungguhnya penistaan terhadap agama. Tapi di mana suara mereka yang tanggal 4 November kemarin turun ke jalan? Mana komentarnya? Saya menunggu tetapi tidak ada?"

"Pelaku yang melakukan pengeboman di gereja kemarin itulah penistaan luar biasa terhadap agama," sambungnya. "Harusnya, seberapa besar pun teror, semua masyarakat Indonesia perlu merasa prihatin dan mengupayakan bagaimana supaya itu tidak terjadi."

Ahmad Nurcholis mengatakan semua pihak "harus berkomitmen kepada landasan hukum."

"Kita punya konstitusi bernama Pancasila dan UUD 1945. Itu sebagai perekat utama bagaimana kita tetap bersatu dalam konteks NKRI," katanya.

[bbc]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment