Tuesday, October 25, 2016

Keliru Bila Takut Ahok Akan Terpilih Lagi



DUNIA HAWA - "Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku."

Kalimat di atas dikutip dari Kitab Ayub, kitab kuno yang sudah ada ribuan tahun yang lalu. Meski sudah berumur ribuan tahun, bukan berarti tidak relevan dengan  situasi kita di masa kini.  

Kutipan di atas seringkali terjadi pada siapapun dari setiap kita. Tentu harus dengan pemahaman bahwa bukan setiap peristiwa, dimana kita takut dan cemas, lalu demikianlah akhirnya. Tentu tidak demikian, untuk segala sesuatu ada alasannya.

Demikian juga fenomena yang ada di masyarakat kita saat ini. Bukan hanya yang ada di Jakarta, bahkan di banyak daerah ada semacam kekhawatiran dari sekelompok orang yang merasa takut dan cemas, bahwa nanti Ahok akan terpilih lagi menjadi gubernur DKI.

Kekhawatiran itu semakin mengganggu ketika ada rumor bahwa di 2019, Ahok akan dipasangkan dengan Pak Jokowi di Pilpres, dan selanjutnya di 2024, Ahok akan maju di Pilpres.

Kenapa harus takut?

Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan dari Ahok. Ahok bukanlah pemakan orang, pemakan babi mungkin iya. Akan tetapi, karena ia makan sesuatu yang kita anggap haram, bukan lantas menjadikan Ahok dan tindakannya menjadi haram. Tindakannya juga belum tentu menjadi lebih haram dari mereka yang hanya memakan sesuatu yang katanya halal.

Apa yang dimakan tentu tidak otomatis menjadikan seseorang seperti apa yang dimakannya. Haram dan halal tentu ada konteksnya ketika larangan itu diadakan, dan artikel kali ini memang tidak dimaksudkan untuk mengulasnya.

Seseorang tidak bisa hanya dinilai dari tubuh  fisiknya, yakni aspek lahiriahnya semata.  Seseorang justru ditentukan oleh jiwanya.

Jiwa terdiri dari pikiran, perasaan, dan kehendak yang ada pada setiap orang. Jiwa ini akan terbentuk oleh apa yang masuk ke dalamnya. Indera jasmani setiap orang, itulah yang menjadi jendela atau pintu ke dalam jiwa. Jika pintu dan jendela dibuka lebar-lebar terhadap sesuatu yang tidak baik dan tidak benar, maka jiwa pun akan terbentuk demikian. Demikian juga sebaliknya.

Apa yang masuk dan mendominasi jiwa, kemudian akan mengkristal dan sampai level tertentu akan membentuk nurani, suara hati yang menjadi ukuran atau nilai bagi seseorang. Inilah yang kemudian yang menjadi seseorang dalam arti yang sesungguhnya, yakni nuraninya. 

Kembali ke soal ketakutan jika Ahok menang lagi

Kalau Ahok menang lagi memang kenapa? Sebenarnya tidak apa-apa bila Ahok menang. Kita sudah menyaksikan sendiri, dua tahun Ahok menjadi gubernur dia tidak pernah memakan orang.

Dia juga tidak pernah memaksa orang mengikuti keyakinannya, yang ada malah ada beberapa orang yang berupaya bagaimana supaya Ahok mengganti keyakinannya.

Ini suatu kasus yang cukup menarik sebenarnya, dan ini bukan soal hakekat dari keyakinan itu sendiri, namun lebih pada pemahaman individu-individu terhadap keyakinan itu.

Jadi beda, keyakinan itu sendiri dengan pemahaman individu terhadap keyakinan itu, adalah dua hal yang berbeda. Dan ini seringkali menjadi persoalan, ketika pemahaman individu atau sekelompok orang disamakan dengan keyakinan itu sendiri, padahal seharusnya tidak demikian.

Masalah pun kemudian timbul, ketika pemahaman atas keyakinan itu dibalut oleh kepentingan. Sudah barang tentu, bukan lagi hakekat dari keyakinan itu sendiri yang disuarakan, namun kepentingan yang menjadi jiwa dari klaim pemahaman itulah yang sebenarnya menjadi tujuan.

Ini tentu menjadi masalah besar tatkala ada benturan kepentingan di dalamnya. Padahal sama-sama mendasarkan klaim atas keyakinan yang serupa. Namun bisa menjadi berbeda ketika kepentingan yang ada di belakangnya berbeda.

Lalu siapa yang benar?

Tentu mereka yang benar tidak perlu takut. Karena mereka yang salahlah yang perlu takut. Takut bila kepentingannya tidak terlaksana. Takut bila hasratnya tidak terealisir. Takut bila tujuannya tidak terwujud. Ketakutan ini seringkali membuat sesorang tidak lagi rasional. Bahkan tidak jarang terperangkap pada kebohongan dan kemunafikan.

Jika ini dibiarkan, maka sangat dekat pada kebodohan. Kebodohan dalam arti,  membuat pernyataan dan tindakan yang bertentangan dengan akal sehat dan kelaziman yang umum diterima oleh pikiran sehat dari orang yang beradab.

Bila ini terus diulang-ulang maka satu ketika nalar pun tidak lagi sehat, maka pernyataan dan tindakan pun bisa ada di luar kendali nalar, karena tercengkeram oleh kepentingan yang terus memaksa untuk diwujudkan.

Tindakan yang didasari oleh ketakutan, umumnya membuat orang kehilangan akal sehat dan kejernihan pikiran. Jauh dari kejujuran, dan absen dari niat baik. Respon  dalam menyikapi dan mengatasi keadaan umumnya  lebih menitikberatkan kepada emosi. Emosi yang tidak matang dan tidak terkontrol tentu bukanlah dasar yang baik dalam menyikapi atau meresponi satu situasi.

Demikian halnya dalam menyikapi majunya Ahok kembali untuk bisa menjadi gubernur DKI untuk lima tahun mendatang. Ketakutan bila Ahok menang lagi begitu membebani sekelompok warga. Akhirnya, ketakutan ini memaksa mereka melakukan apapun yang bisa, walaupun seringkali hal tersebut terlihat begitu primitif dan sulit untuk  bisa diterima akal sehat.

Sudah jelas, Ahok berhak untuk menjadi gubernur. Dan kita, sesuai dengan warisan pendahulu dan Bapak Bangsa kita sudah sepakat melalui konstitusi akan hal itu.

Namun ketika ada seruan atas dasar pemahaman individu,  maka tentulah hal itu tidak bisa dibenarkan karena menyimpang dari kesepakatan kita bersama. Dan ironisnya, pemahaman tersebut juga dibantah oleh pemahaman lain yang juga bersumber dari keyakinan yang serupa.

Lalu, apakah kita akan membiarkan hakekat keyakinan itu terdegradasi oleh pemahaman sekelompok individu  yang kemudian juga ternyata berbenturan dengan pemahaman individu atau kelompok yang lain?

Jika kita benar, tentulah kita tidak perlu takut. Dan juga tidak ada gunanya memaksakan kepentingan kita harus terlaksana, apalagi dengan memaksakan satu pemahaman menurut perspektif dan pola pikir kita untuk diterima oleh semua pihak.

Tentu hal demikian tidak perlu. Karena kita adalah apa yang kita isi ke dalam jiwa kita. Sehingga manusia kita satu dengan yang lain tidak harus selalu dan bisa sama, tergantung dengan apa yang kita isi ke dalam jiwa  dan yang kemudian membentuk siapa kita.

Bila jiwa kita kita asupi dengan segala hal yang baik dan benar, tentu kita tidak perlu takut. Bila kita tidak menghendaki Ahok, tentu ada alasannya, dan semestinya hal itu didasarkan pada adanya pilihan yang lebih baik dari Ahok, bukan yang lain.

Dan jika kita terus dihantui ketakutan dan kecemasan bahwa Ahok akan menang lagi, maka seperti kalimat pembuka artikel ini, hal itulah yang akan terjadi.

Untuk segala sesutau ada alasannya, tidak ada yang terjadi begitu saja. Termasuk bila Ahok menang dan terpilih lagi. Kecuali kita bisa membuktikan dengan jujur ada yang lebih baik dari Ahok, maka jika benar demikian adanya, itulah yang akan terjadi.

Namun karena tidak ada, atau mungkin saja belum muncul, atau kemungkinan lain adanya di tempat lain bukan di sini, maka kita menjadi takut dan cemas. Ahok pasti akan terpilih lagi.

Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku.

Ahok akan terpilih lagi, Siapa takut?

[omri l toruan/ qureta]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment