Tuesday, October 25, 2016

Islam Garis Keras Tidak Marketable


DUNIA HAWA - Sebagian orang di Indonesia “khawatir” kalau kelompok “Islam garis keras” atau kelompok “Islam ekstrim” akan berkembang biak karena “laku di pasaran”. Tetapi menurutku kelompok ini tidak akan laku di “pasar global” masyarakat Indonesia. Saya mengkaji berbagai perkembangan kelompok ini di berbagai negara sejak negara-negara pecahan Uni Soviet di Asia Tengah sampai negara-negara di kawasan Asia Seatan, Afrika, Arab, dan Timur Tengah, mereka gagal “memasarkan” ide-ide keagamaan mereka kepada masyarakat. 

Ciri-ciri kelompok “Islam Sontoloyo” (istilah ini dari Bung Karno) ini hobi menebarkan pandangan dan tindakan intoleransi, anti-pluralitas, “takfiri” (gemar mengafir-sesatkan orang atau kelompok lain), tidak ramah alias “mbesengut” dengan kelompok luar, tertutup dalam pergaulan alias tidak mau membuka diri dengan dunia luar, arogan alias seenak perutnya sendiri, dan juga gampang ngamuk. Dikit-dikit marah, tersinggung, main pentungan. Silakan kenali ciri-ciri mereka di lingkungan Anda masing-masing. Juga jangan lupa pesan “Bang Napi”.  

Di berbagai negara, pemerintah menumpas habis kelompok-kelompok “tengil” pengganggu stabilitas politik, harmoni sosial, dan perdamaian antar-umat manusia ini, sementara di negara-negara lain, pemerintah melarang ormas “Islam garis keras” dan terus diawasi aktivitas dan gerak-gerik kelompok ini.   

Karena tidak laku memasarkan ide-ide dan praktek keislaman yang mereka anut dan percayai, maka mereka menggunakan cara-cara kekerasan: pemaksaan, menakut-nakuti, sampai pada kekerasan fisik. Kalau laku kan gak perlu pakai cara-cara kekerasan karena orang akan dengan suka rela memeluk versi atau jenis keislaman yang mereka “pasarkan”. Dengan kata lain, kekerasan bagi kelompok ini adalah akibat sekaligus strategi untuk memasarkan “dagangan Islam” yang mereka tawarkan. Maka Anda jangan heran kalau sejarah eksistensi kelompok “Islam garis keras” ini selalu diiringi dengan kekerasan. 

Kultur masyarakat Islam Indonesia itu pada umumnya adalah “kultur Islam nominal” yang sangat fleksibel dalam beragama dan berislam serta kurang begitu menyukai “ekstrimitas” keagamaan. “Geografi kutural” Indonesia yang warna-warni, yang kontras dengan kawasan Arab dan Timur Tengah, sangat mempengaruhi corak keislaman dan keberislaman kaum Muslim disini. Budaya keislaman Indonesia itu tidak dibentuk secara tiba-tiba tetapi melalui proses sejarah yang begitu panjang. Karena itu sejak abad-abad silam, munculnya aneka kelompok keislaman yang kaku-regeng kayak tiang listrik ini selalu mendapatkan penolakan dan reaksi negatif masyarakat setempat.

Jangan melihat atau mengukur Islam di Indonesia dari yang tampak hingar-bingar di tv-tv atau di titik-titik tertentu di sejumlah kota besar. Tetapi tengoklah ke kota-kota kecil di berbagai daerah, ke pinggiran-pinggiran kota, ke kampung-kampung, maka kita akan merasakan Islam seperti apa yang didambakan oleh kaum Muslim di Indonesia.

Tidak seperti kelompok “Islam eskrim” eh “ekstrim” maksudku, yang hobi berkoar-koar seperti ayam mau bertelur, kaum Muslim kebanyakan di Indonesia itu lebih memilih diam dan fokus dengan aktivitas sehari-hari ketimbang grudak-gruduk kesana-kemari. Meski begitu, mereka tahu mana yang baik, mana yang buruk. Pada waktunya nanti mereka akan bersikap. Terbukti setiap Pemilu, kaum Muslim kebanyakan tidak menggubris ajakan, seruan, dan propaganda para elit “Islam garis keras” ini. Ya kan? Kannn...

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment