Tuesday, September 20, 2016

Antara “Manusia Tuhan” dan “Manusia Setan”


DUNIA HAWA - Jika diperhatikan seksama, dunia, termasuk Indonesia juga dihuni oleh sejumlah “manusia-manusia Tuhan” Apa definisi fenomena “manusia-manusia Tuhan” ini ? 

Yang saya maksud dengan “manusia-manusia Tuhan” ini tentu saja bukan sosok seperti Fir'aun di zaman Mesir Kuno atau sejumlah tokoh legenda “manusia dewa” di zaman Yunani Kuno atau India Kuno. Bukan pula merujuk pada sejumlah elit suku di Afrika, Amerika Latin dan lainnya yang “mengtahbiskan” diri sebagai “Tuhan” dan mengklaim memiliki kekuatan supranatural untuk mengatur kehidupan dengan tujuan agar mendapat “sesembahan” dari—dan ditaati oleh—warga sukunya.

Yang dimaksud dengan “manusia-manusia Tuhan” dalam tulisan ini adalah sekelompok umat manusia dan kaum beragama—di belahan bumi manapun mereka berada—yang berlagak seperti “Tuhan” yang mengatur nasib orang lain kelak di dunia pasca-kematian atau di alam akhirat.

Mereka juga dengan “genitnya” memvonis kelompok manusia mana yang akan selamat masuk surga dan yang akan terjerumus ke jurang neraka. Pada saat yang sama, mereka begitu pede-nya merasa sebagai satu-satunya golongan yang kelak akan selamat di “dunia lain” dan menempati indahnya surga dan manikmati segala isinya.

Lebih lanjut, para “manusia Tuhan” ini juga dengan congkaknya “meluruskan” sistem teologi, tata-ibadat, ritual keagamaan, dan amalan-amalan ibadah orang lain atau pemeluk agama / sekte lain karena dinilai telah menyimpang dari “aturan-aturan resmi ketuhanan”. Mereka bahkan dengan pongahnya “mengbid'ah-sesatkan” adat, tradisi, kebudayaan dan aneka local wisdoms warisan nenek-moyang mereka sendiri.

Catut nama Tuhan


Atas nama menegakkan “aturan Tuhan” itu—dan demi mewujudkan atau menghayalkan “ajaran yang murni”—mereka tidak sungkan-sungkan alias tidak tahu malu melakukan berbagai tindakan norak tak bermoral. Serta aksi yang jauh dari “etika profetis” dan norma-norma agung yang ditanamkan para pendiri agama. Menghujat, mengumpat dan menyumpahserapahi orang lain termasuk para tokoh, pejuang, klerik, ulama, sarjana, dan pemikir agama dengan kata-kata kotor dan kasar sudah sering dipertontonkan oleh “manusia-manusia Tuhan” ini. Hanya karena berbeda agama, mazhab, pandangan, haluan, wawasan dan pemikiran keagamaan-kebudayaan, mereka ngotot melakukan tindakan tidak pantas bahkan anarkis itu kepada orang lain.

Bukan hanya dengan kata-kata verbal saja, mereka bahkan secara sadar melakukan tindakan kekerasan fisik secara brutal (mengamuk, menjarah, merusak, membakar, menggeruduk, mengeroyok dan bahkan menghabisi nyawa dan memerkosa) orang lain, pemeluk agama lain, pengikut sekte lain, aktivis ormas lain dan seterusnya beserta propertinya. Mereka mengklaim, lagi-lagi, aneka tindakan biadab dan tidak manusiawi itu sebagai bagian dari upaya untuk merealisasikan “mandat Tuhan”.

Apakah Tuhan menghendaki keseragaman ?


Apakah klaim teologi-keagamaan mereka valid dan bisa dibenarkan? Betulkah Tuhan Yang Maha Agung dan Bijak itu “merestui” berbagai tindakan konyol, brutal, dan inhuman yang dilakukan oleh para hamba-Nya yang sedang berakting “menjadi Tuhan” ini? Benarkah fakta-fakta pluralitas dan kemajemukan tradisi-kebudayaan umat manusia ini harus “disingularkan” dan “diseragamkan”?

Betulkah Tuhan menghendaki keseragaman, bukan keragaman, seperti klaim mereka selama ini? Jika memang benar Tuhan menghendaki keseragaman tetapi mengapa Dia ciptakan alam semesta beserta segenap isinya ini dalam keadaan warna-warni: flora-faunanya, etnik-sukunya, bahasanya, rasnya, warna kulitnya, agamanya, dan seterusnya?

Sejumlah pertanyaan diatas adalah pertanyaan filosofis-teologis fundamental yang mestinya perlu direnungkan dan dijawab dengan bijak oleh umat manusia, lebih-lebih para pemeluk agama, sebelum melakukan aksi-aksi sosialnya. Dalam rangka menyikapi keanekaragaman itu, dalam konteks Islam, Al-Qur'an (misalnya dalam Surat Al-Hujurat) sudah dengan tegas menegaskan agar manusia mengenali dan mempelajari keragaman itu dan bukan membumihanguskannya sehingga diharapkan bisa bersikap secara adil dan bijak terhadap fakta-fakta pluralitas kemanusiaan dan kebudayaan itu.

Bukankah Islam itu memang dihadirkan di muka bumi ini sebagai rahmat dan anugerah bagi semua mahluk di alam semesta ini (istilah Al-Qur'an-nya: “rahmatan lil alamin”), bukan sebagai bencana atau malapetaka bagi kemanusiaan? Dan bukankah Nabi Muhammad yang mulia itu lahir di dunia ini dalam rangka untuk memperbaiki moralitas atau ahlak manusia, khususnya para suku Arab, yang amburadul dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, dan bukannya untuk “mengagamakan” atau “mengislamkan” orang lain?

Apakah Tuhan membenarkan kekerasan?


Berdasarkan sejumlah argumen ini, maka saya khawatir aneka tindakan kekerasan—verbal maupun fisik—dan segala perilaku intoleran, tak bermoral dan tidak manusiawi yang mereka klaim sebagai “amanat Tuhan” itu sejatinya merupakan “mandat setan” yang berasal dari egoisme dan nafsu keserakahan mereka sendiri.

Keserakahan bukan hanya dalam konteks politik-ekonomi tetapi juga bisa dalam konteks teologi-keagamaan. Orang-orang yang bernafsu mengagamakan orang lain adalah termasuk golongan orang-orang serakah ini.

Lagi pula, menganggap Tuhan telah memberi legitimasi atau menjustifikasi aneka tindakan biadab yang dilakukan umat manusia, jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap “harga diri” dan “martabat Tuhan” yang mereka anggap “pro-kekerasan” dan “anti-kemajemuan.” Jadi, alih-alih ingin menjadi “manusia Tuhan”, mereka justru telah berakting memerankan atau meniru perilaku setan.

[dw.com]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment