Thursday, July 28, 2016

Jendera TNI Purnawirawan Wiranto


Dunia Hawa - Pasca reshuffle kabinet kerja, banyak orang kecewa. Kali ini, Jokowi dinilai terperosok terlalu jauh dalam politik dagang sapi. Selain Anies yang sangat disayangkan pencopotannya, kenaikan satu nama yang dianggap memiliki noktah hitam dalam sejarah, menjadi satu poin minus. Orang itu adalah Wiranto.

Tidak salah dengan penilaian itu. Tapi kita terlalu sering melihat segala sesuatu secara hitam-putih. Kita mengabaikan persoalan lain yang juga lebih pelik. Saya tidak sedang membela Wiranto. Kemanusiaan bagi saya adalah prioritas pertama yang mesti dibela. Kemanusiaan ini yang jadi batu sandungan baginya. Namun di balik itu, ada banyak labirin. Dan sebenarnya, kita melihat kasus ini hanya secara politis.

Jika menilik lebih jauh, keputusan-keputusan yang diambil Wiranto (yang berakibat pada pelanggaran HAM), tidak sepenuhnya mesti dibebankan kepadanya. Ia adalah seorang prajurit. Ada prioritas tertentu yang sulit dipahami orang-orang di luar lingkaran mereka. Saya juga pernah memiliki pandangan demikian. Tapi ketika saya tahu keponakan saya bertarung di belantara Papua, di medan perang sana membunuh atau dibunuh adalah soal kemestian. Kita tidak bisa mengukur kemanusiaan dari sana begitu saja. 

Soal Wiranto mungkin memang sedikit berbeda. Ini memang bukan pemakluman baginya. Tapi penyair besar sekelas Rendra pernah mengalami konflik batin serupa.

Suatu hari Wiranto datang ke rumah Rendra. Penyair idealis yang mengalami represi Orde Baru ini tidak mau menemuinya. Rendra memandang Wiranto sebagai iblis yang haus darah. Kemanusiaan, sebagaimana yang disuarakan oleh banyak aktivis itu, menciptakan jarak antara mereka berdua. Rendra tak mau menemuinya karena penilaian tersebut. Wiranto, seperti dikabarkan murid Rendra kepada saya, tidak mau menyerah begitu saja. Di depan rumah Rendra itu, ia berdiri tegak sepanjang malam. Ia prajurit. Malam itu di halaman rumah Rendra, Wiranto hendak mengukuhkan posisinya. Sebagai seorang prajurit.

Setelah subuh menjelang, Rendra akhirnya keluar rumah dan memeluk Wiranto. Di sanalah, Wiranto menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Hakikatnya, ia seperti Karna. Di Kuruhshetra ia harus berperang dengan saudaranya sendiri. Ia mengambil keputusan yang menyalahi batinnya.

Saya membayangkan Wiranto sebagaimana keponakan saya. Di belantara Papua itu, keponakan saya menembak kepala pemberontak dari jarak dekat. Darah yang muncrat ke tubuhnya adalah sebuah kekejian. Ia seorang prajurit. Naluri membunuh ada dalam darahnya. Sisi-sisi kemanusiaannya tentu menolak kekejian itu. Tapi ada kepentingan lain yang mesti dibela. Ada perintah yang wajib dilaksanakan. Mereka menyebutnya nasionalisme.

Saya sadar sepenuhnya, doktrin militer tak bisa dipahami secara umum. Untuk itu, kejahatan tetaplah kejahatan. Tapi kita juga harus besikap adil. Jika Wiranto hendak dihukum, maka komandan tertinggi militer (presiden) juga mesti diseret. Prajurit-prajurit lain yang melakukan dosa kemanusiaan di masa lalu juga mesti diadili. Beranikah bangsa ini melakukannya? Beranikah meniru bangsa lain mengadili mantan pemimpinnya?

Persoalan Wiranto lebih berat pada sisi politisnya. Mestinya jangan hanya Wiranto. Jangan hanya ketika ada momen politis pengangkatannya sebagai menteri. Soeharto juga harus diseret. Sarwo Edie juga mesti diadili. Prabowo, SBY, Ryamizard, atau siapapun yang punya andil dalam dosa kemanusiaan harus mendapat hukuman. Beranikah kita memulai tradisi baru itu? Atau kita hanya bisa membual seperti biasanya?

Saya juga menyayangkan adanya tragedi kemanusiaan. Saya tidak setuju dengan represi militeristik. Kalau perlu, perang di dunia ini mesti dihilangkan seluruhnya. Kejahatan harus diakhiri di segenap penjuru dunia. Tapi apakah itu mungkin? 

Para prajurit itu seperti peluru, mereka meluncur ketika pelatuk digerakkan. Mereka tak punya banyak pilihan. Dalam posisi terjepit seperti itu, agaknya saya pribadi harus taklid kepada Rendra. 

[kajitow elkayeni]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment