Saturday, June 25, 2016

Pernyataan Politikus PPP Ruki yang Menyesatkan tentang Kasus Sumber Waras


Dunia Hawa - Mantan pelaksana tugas Ketua KPK, yang kini adalah Ketua Mahkamah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Taufiequrachman Ruki angkat bicara soal kasus pembelian lahan Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) yang telah diputuskan KPK tidak ada unsur pelanggaran hukum dan korupsinya.

Ruki memberi komentar yang pada intinya menyatakan bahwa kasus tersebut sebenarnya ada pelanggaran hukum dan unsur korupsinya.

Pertanyaannya adalah apakah etis seorang mantan pimpinan KPK memberi komentar tentang substansi suatu hasil pemeriksaan KP? Apalagi komentar tersebut adalah komentar yang negatif yang mengarah kepada pernyataan bahwa keputusan KPK itu tidak benar? Padahal dia sendiri mengakui bahwa saat dia menjadi pelaksana tugas Ketua KPK, kasus tersebut masih dalam tahapan penyelidikan, dan dia juga tak mengikuti perkembangannya secara komprehensif.

Lebih-lebih lagi bahwa sekarang ini Ruki adalah seorang petinggi partai politik yang nota bene merupakan lawan politik Ahok terkait pemilihan umum gubernur DKI Jakarta 2017, yang pasti sarat dengan demi kepentingan partainya itu.

Rekam Jejak Ruki

Berdasarkan catatan rekam jejak Ruki ketika menjadi Ketua KPK periode pertama, lebih-lebih di masa dia menjadi pelaksana tugas Ketua KPK pasca Abraham Samad dan Bambang Widjojanto berhasil disingkirkan oleh suatu konspirasi politik busuk terkait kasus Komjen Polisi Budi Gunawan, prestasi Ruki tidak pernah menonjol.

Sebaliknya, di kala menjadi pelaksana tugas Ketua KPK Ruki justru menoreh sejarah kelam KPK, setelah baru dua minggu memegang jabatan itu: Untuk pertama kalinya KPK menyatakan mengaku kalah dari tersangka korupsi (kasus Budi Gunawan), dan untuk pertama kalinya pula sejak didirikan Ketua KPK didemo oleh semua pegawainya (karena dianggap justru menjadi musuh dalam selimut KPK dengan berbagai kebijakan dan keputusannya yang melemahkan KPK dari dalam).

Setelah menyatakan KPK menyerah kalah dari tersangka korupsi (Budi Gunawan), berkat Ruki pula akhirnya berkas pemeriksaan Budi Gunawan di KPK pun dialihkan kembali ke Bareskrim Polri dengan maksud terselubung yang mudah diduga sebelumnya, yaitu supaya pemeriksaan kasus itu bisa dihentikan Polisi (di-SP-3-kan), karena kalau masih di KPK penyidikan terhadap kasus itu harus dilanjutkan (KPK tidak mengenal SP-3).

Padahal, sebelum menjabat sebagai pelaksana tugas Ketua KPK itu, di sebuah acara talk show televisi, Ruki dengan berapi-api pernah menyatakan tidak boleh polisi mengambilalih kasus yang sedang diperiksa KPK (karena tidak ada Undang-Undangnya), kalau sebaliknya itulah yang boleh (berdasarkan UU KPK). 

Untuk menghibur (baca: menipu) publik, Ruki menyatakan alasannya KPK melepaskan kasus Budi Gunawan itu: yakni karena masih ada 36 kasus besar lainnya yang akan terbengkalai jika KPK terlalu fokus pada kasus Budi Gunawan itu, seolah-olah kasus itu hanyalah kasus ecek-ecek.Faktanya, sampai habis masa jabatannya, apa yang disebut 36 kasus besar itu tak pernah jelas, apalagi ditangani KPK.

Komisi III DPR sudah punya rencana akan memanggil Ruki sebagai mantan pelaksana tugas Ketua KPK untuk dimintai pendapatnya tentang kasus Sumber Waras yang sesungguhnya sudah selesai itu setelah KPK sesuai dengan wewenangnya sudah menyatakan tidak menemukan pelanggaran  hukum dan korupsi dalam kasus itu.

Diduga, lewat “kerjasama DPR-Ruki” nanti serangan terhadap KPK akan dilancarkan, indepensi kewenangan KPK akan diguncang mereka, demi meracuni opini publik, bahwa ada sesuatu antara KPK dengan Ahok.

Ruki, seorang mantan Ketua KPK, jabatan yang sangat mejunjung tinggi indepedensi, pantang dipengaruhi kepentingan politik apapun, ternyata selama di KPK itu dia berupaya menahan diri untuk tidak independen, setelah tak lagi menjabat, hasrat kepentingan politiknya itu pun disalurkan dengan menjadi ketua Mahkamah PPP.

Ruki Menyesatkan

Ruki menyatakan, pembelian  tanah dengan menggunakan anggaran negara menggunakan cash and carry, saat tanah itu otomatis milik Pemda DKI saat terjadi pembayaran, tetapi, katanya:

"Sekarang perjanjiannya, dua tahun kemudian baru bisa jadi milik Pemda DKI. Logikanya sudah menyalahi UU Keuangan Negara. Itu yang saya bilang cluetadi. Pembayaran cek kontan. Menimbulkan banyak question mark."

Saya curiga, Ruki sengaja membuat penilaian dan pernyataan seperti ini dengan maksud menyesatkan pikiran publik, sengaja membuat opini publik bahwa memang terdapat keganjilan, pelanggaran hukum, kerugian keuangan negara, dan korupsi di pembelian lahan Sumber Waras itu, seturut dengan strategi politik PPP untuk menyingkirkan  Ahok dari pilgub DKI 2017. Dan, bahwa keputusan KPK itu adalah keputusan yang salah.

Saya heran juga, Ruki kok bisa ikut-ikutan gagal paham dalam memahami transaksi jual-beli lahan Sumber Waras, yang sama dengan gagal paham, atau informasi-informasi pelintiran dari musuh-musuh politik Ahok?

O ya, harap maklum, kan Ruki sekarang petinggi PPP yang nota bene lawan politik Ahok di pilgub DKI 2017, jadi dia pun termasuk lawan politik Ahok, yang pasti akan mengerahkan segala cara untuk menjegal Ahok maju di pilgub DKI 2017 itu.

Siapa bilang dalam perjanjiannya, dua tahun kemudian baru lahan Sumber Waras itu menjadi milik Pemda DKI Jakarta?

Saat pembayaran (31 Desember 2014) dilakukan sesungguhnya lahan tersebut sudah beralih ke Pemda DKI, yang harus dibuktikan dengan telah terjadinya balik nama dalam bentuk sertifikat tanah tersebut atas nama Pemprov DKI Jakarta.

Untuk itu tentu saja memerlukan waktu untuk proses pengurusan dokumen-dokumennya, dan tindakan hukum lainnya yang diperlukan atas lahan tersebut, seperti pengukuran ulang lahan itu oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Semua proses hukum itu sudah selesai dilakukan, dan pada awal Juni 2016, BPN sudah menerbitkan sertifikat tanah tersebut atas nama Pemprov DKI Jakarta. Sertifikat tanah itu sudah ada di tangan Pemprov DKI Jakarta (dalam hal ini Dinas Kesehatan Pemrov DKI).  Artinya, secara hukum, perikatan jual-belinya tidak ada masalah. Jika suatu transaksi atas tanah ada masalhnya, BPN pasti akan menunda penerbitan sertifikatnya.

Duduk Peristiwa yang Sebenarnya

Tentang tenggang waktu dua tahun:

Yang benar, di dalam perjanjian tersebut bukan menentukan peralihan haknya baru terjadi setelah dua tahun sesudah perjanjian/pembayaran, tetapi tenggang waktu dua tahun itu merupakan tengggang waktu untuk memberi kesempatan kepada pemilik lahan yang lama (YKSW) untuk melakukanpengosongan terhadap lahan tersebut.

Klausul ini tentu saja sangat wajar, dan juga lazim ada di dalam perjanjian jual-beli lahan/bangunan pada umumnya, di mana pemilik lama masih menempati lahan tersebut saat perjanjian ditandatangani. Pasti ada klausul tentang tenggang waktu bagi pemilik lama melakukan pengosongan terhadap lahan itu. Tidak mungkin, hari ini perjanjian terjadi, hari ini juga  atau besoknya, pemilik lahan lama sudah harus menggosongkan lahan tersebut.

Pada perjanjian jual-beli lahan Sumber Waras itu tenggang waktu pengosongan dua tahun tersebut adalah sesuatu yang sangat wajar, menginat besarnya rumah sakit itu. Tidak mungkin begitu Pemprov DKI membayar lunas lahan itu, hari itu juga, atau dalam tempo yang tidak masuk akal, pihak YKSW itu sudah harus mengosongkan lahan tersebut.

Tidak mungkin, dalam tempo singkat, rumah sakit yang masih menjalankan operasionalnya harus menghentikan semua kegiatannya, tak mungkin dalam tempo singkat pengosongan sudah harus dilakukan seketika itu juga; semua pasiennya, semua peralatan medis dan lain-lainnya harus dikeluarkan dari bangunan rumah sakit. Semuanya itu pasti memerlukan proses dan prosedur, persiapan-persiapan yang matang.

Waktu dua tahun yang diberikan Pemprov DKI kepada YKSW sebagai pemilik lahan lama itu merupakan tenggang waktu yang masuk akal.  

Direktur Utama RS Sumber Waras Abraham Tedjanegara sudah pernah menjelaskan hal ini, bahwa saat perjanjian pembelian dengan Pemprov DKI, pengosongan bangunan akan dilakukan dua tahun setelah pembelian. Dalam waktu dua tahun itu, RS Sumber Waras masih dapat menggunakan lahan yang sudah beralih kepemilikannya ke Pemprov DKI tersebut untuk sementara.

"Operasional berjalan dari dulu karena dari awal kami sudah bilang bahwa kami enggak akan jual kepada DKI apabila kami enggak dikasih kesempatan melakukan itu," jelas Abraham pada  16 Juni 2016.

Pada perjanjian saat itu, RS Sumber Waras meminta Pemprov DKI memberi waktu pengosongan dan penyerahan lahan agar operasional rumah sakit bisa tetap berjalan dan pasien tetap dapat ditangani.

"Karena kalau kami tidak dikasih kesempatan, terpaksa rumah sakit kami tutup, dan itu bukan konsep kami," tegas Abraham.

Sekarang, juga jelas Abraham, pihaknya sudah mulai melakukan persiapan-persiapan pengosongan terhadap lahan dan bangunan Rumah Sakit yang sudah dibeli Pemprov DKI Jakarta itu, agar pada Desember 2016 nanti, pengosongan sudah bisa dilakukan seluruhnya.

"Oh sudah. Kami sudah siapkan. Pokoknya kami punya target, menjelang Desember kami laksanakan (pengosongan). Kami berkomitmen," ujar Abraham.

Apa masih kurang jelas duduk persoalannya tentang klausul dua tahun tersebut?

Selama ini musuh-musuh politik Ahok, termasuk yang di Kompasiana, memang sengaja menyebarkan informasi-informasi plintiran yang menyesatkan opini publik, sebagaimana yang terjadi di seputar kasus pembelian lahan Sumber Waras itu.

Sampai-sampai tentang klausul dua tahun itu pun diplintirkan seolah-olah Ahok baru bisa membangun rumah sakit kanker -- sebagaimana dicita-citakan itu  -- di atas lahan tersebut paling cepat pada 2018, karena pada tahun tersebut peralihan hak baru terjadi, dan setelah itu masih perlu waktu dua tahun lagi untuk menyelsaikan pembangunan rumah sakit tersebut.

Salah satu kompasiner yang paling sering melakukan pelintiran informasi menyesatkan tersebut adalah pembenci Ahok sejati, Go Theng Shin (GTS). Dalam sebuah artikelnya yang berjudul: Buntung Logika dan Nurani Pendukung AHOK, ia menulis:

“ ...ingat bahwa lahan RS itu hanya diserah-terimakan pada tahun 2018. Jadi sampai dengan diserah-terimakan, tidak akan ada pembangunan RS. Pembangunan sendiri makan waktu bisa 2 tahun, berarti baru tahun 2020 atau paling cepat akhir 2019 akan ada RS Kanker di atas bekas tanah Sumber Waras.”

Faktanya, sebagaimana saya uraikan di atas, saat perjanjian dan pembayaran terhadap lahan Sumber waras itu sudah dilakukan saat itu juga peralihan hak sudah terjadi, sedangkan mengenai dokumen bukti pemilikannya (balik nama di sertifikat tanahnya menjadi atas nama Pemprov DKI) pasti memerlukan waktu untuk pemrosesannya.

Sekarang, proses itu sudah selesai, sertifikat lahan tersebut sudah atas nama Pemprov DKI Jakarta.

Sekarang, pihak YKSW sudah mulai mengadakan persiapan-persiapan awal pengosongan lahan tersebut, agar sesuai dengan perjanjian, Desember 2016 nanti lahan tersebut sudah bisa dikosongkan.

Setelah KPK memutuskan menghentikan penyelidikan terhadap kasus pembelian lahan Sumber Waras itu, Pemprov DKI memperoleh kepastian hukum, untuk sesuai dengan rencananya, akan mulai proses pembangunan rumah sakit kanker di atas lahan itu, pada 2017.  

Ahok sudah memulainya dengan merancang bentuk bangunan rumah sakit kanker itu sesuai dengan yang dicita-citakan, katanya:

“Saya telah selesai membuat desain di atas tanah eks-RS Sumber Waras, yang nantinya akan ada 1.000 ranjang untuk penderita kanker dan 1.026 untuk penderita stroke dan lumpuh otak. Juga akan diabangun apartemen dengan 500 unit kamar untuk pelayanan variatif. Jadi, jika ada pasien tak mampu yang sudah stadium 4, kami takkan kembalikan ke rumah yang tak layak. Kami akan tempatkan di apartemen fan merawat beliau, supaya bisa meninggal dengan terhormat, sebagai orang yang mampu.”

Anggaran pembangunan rumah sakit kanker tersebut diperkirakan akan memakan dana sebesar tiga triliun rupiah, dengan masa pembangunan selama dua tahun.

Karena adanya larangan bagi kepala daerah menganggarkan proyek yang melebihi akhir tahun masa jabatan kepala daerah (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011), maka Ahok berencana membebankan pelaksanaan pembangunan rumah sakit tersebut kepada pihak swasta sepenuhnya, yaitu dengan menggunakan dana yang diperoleh dari kewajiban Koefisien Lantai Bangunan (KLB).

Rencana Ahok membangun rumah sakit milik Pemprov DKI Jakarta dengan 1.000 ranjang, plus 500 unit kamar apartemen itulah yang membuat akhirnya dia memilih membeli lahan YKSW itu, ketimbang lahan di Jalan Sunter Permai Raya, yang sebelumnya pernah direkomendasikan Kepala Dinas Kesehatan DKI.

Lahan rekomendasi Kepala Dinas Kesehatan itu luasnya hanya 8.000 meter persegi, tentu tidak cukup luas untuk membangun rumah sakit dengan 2.000 ranjang plus 500 unit kamar apartemen itu. Bandingkan dengan luas lahan YKSW yang luasnya 3,64 hektare itu.

Rekomendasi yang pernah disampaikan Kepala Dinas Kesehatan DKI kepada Ahok untuk mendirikan rumah sakit kanker di lahan di Sunter itu juga dijadikan bahan musuh-musuh Ahok sebagai bukti versi mereka bahwa ada niat jahat Ahok di dalam pembelian lahan YKSW itu. Ahok dituduh sengaja mengabaikan rekomendasi tersebut, dan terburu-buru membeli lahan YKSW.

Padahal, kejadian sebenarnya adalah: pada awalnya Ahok sudah menindaklanjuti rekomendasi Kepala Dinas Kesehatan DKI tersebut, tetapi perkembangan keadaanlah yang kemudian Ahok mengubah rencananya, dengan memutuskan memilih lahan YSKW, bukan lahan di Sunter untuk pembangunan rumah sakit kanker.

Ketika itu, Ahok sudah membuat disposisi kepada Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Saefullah untuk menganggarkan rencana pembelian lahan rekomendasi Kepala Dinas Kesehatan DKI itu sesuai dengan aturan yang berlaku.

Rencaan awalnya, lahan di Jalan Sunter Permai Raya itu untuk rumah sakit kanker, dan lahan di dekatnya, Jalan Kesehatan untuk rumah sakit jantung.

Ketika disposisi itu dibuat YKSW masih tidak berniat menjual lahannya itu.

Tetapi, kemudian pihak YKSW berubah pikirannya, mereka mengirim surat kepada Gubernur DKI Jakarta Ahok, bersedia menjual lahannya itu kepada Pemprov DKI, lalu terjadilah kesepakatan perjanjian jual beli lahan itu dengan harga NJOP 2014.

Rancangan proyek rumah sakit kanker pun dialihkan ke lahan seluas 3,64 hekater itu dengan konsep perpanduan antara rumah sakit dengan 2.000-an ranjang plus 500 unit kamar apartemen tersebut.

Selain luasnya yang memenuhi syarat pembangunan rumah sakit kanker sesuai dengan konsep Ahok itu, pertimbangan lain memilih lahan Sumber Waras tersebut adalah karena lahan itu berstatus zona suka sarana kesehatan, dan dekat dengan RS Kanker  Dharmais, dan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.

Kini, lahan di Jalan Sunter Permai Raya itu sudah dibangun Gedung Ambulans Gawat Darurat, dan lahan di Jalan Kesehatan itu telah dibangun rumah sakit spesialis jantung dengan nama RS Tarakan.

Dari uraian ini, terlihatlah siapa sebenarnya yang punya niat mulia demi warga DKI Jakarta, dan siapa sesungguhnya yang punya niat jahat demi terpenuhinya am terpenuhinya ambisi kepentingan politiknya itu.

[daniel h t / kompasioner]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment