Wednesday, April 27, 2016

Ketika Jokowi Membongkar Kuburan PKI


Dunia Hawa  - Presiden Joko Widodo benar-benar serius ingin membuka sejarah kelam Bangsa Indonesia. Sebagai titik awal, Jokowi membedah induk tragedi kemanusia yang kemudian kita kenal dengan Gerakan 30 September oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).  Selanjutnya akan ditulis Geger 65 sebagai bentuk netralitas penulis atas peristiwa kelam tersebut.

Presiden Jokowi tidak dalam semangat mencari siapa yang salah, siapa yang benar. Juga bukan sedang mencari siapa pelaku sesungguhnya peristiwa Geger 65. Perdebatan mengenai hal tersebut telah berlangsung puluhan tahun dan sampai hari ini rakyat belum juga mendapatkan titik simpul yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan fakta di lapangan. Pemerintah orde baru mengklaim pelakunya PKI. Namun tidak sedikit dokumen dan juga fakta-fakta yang ada menjelang meletuskan Geger 65, menunjukkan saat itu adanya suatu kondisi yang berbeda. Sadar akan banyaknya pro-kontra dan potensi terjadinya ketegangan sosial di tengah masyarakat,  Jokowi membatasi pembahasan Geger 65 hanya seputar korban yang timbul sebagai ekses lanjutan peristiwa tersebut.

Setelah pemerintah dan Komnas HAM sukses menggelar Simposium 1965 bertajuk “Membedah Tragedi 1965 dari Aspek Kesejarahan” yang dilangsungkan selama dua hari, 18-19 April lalu, di Hotel Aryadhuta, Jakarta Pusat, Jokowi memerintah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari bukti adanya kuburan massal  terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia 1965.

Mengapa hanya kuburan massal  Geger 65 saja yang ‘dicari’. Padahal korban yang jatuh pasca Geger 65 mayoritas adalah orang-orang dicap, dituduh, atau ditengarai sebagai anggota, kader dan simpatisan PKI. Apakah Jokowi pro PKI? Apakah Jokowi keturunan PKI sebagaimana diisukan lawan politiknya menjelang Pilpres  2014 lalu?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya penulis kutip omongan Luhut Panjaitan secara utuh, “Selama ini berpuluh-puluh tahun kita selalu dicekoki bahwa ada sekian ratus ribu orang yang mati. Padahal sampai hari ini belum pernah kita temukan satu kuburan massal.” 

Isu adanya kuburan massal korban pembantai orang-orang yang dituduh PKI, memang sudah lama terdengar.  Setelah Presiden Soeharto tumbang, isu itu semakin santer, bahkan menjadi konsumsi publik di dalam dan luar negeri.  Dalam salah satu laporan utama Majalah Tempo yang banyak menukil hasil observasi lapangan Joshua Oppenheimer  dan belakangan difilmkan dengan judul The Act of Killing Art (Jagal), sejumlah tempat disebut sebagai lokasi kuburan massal.  Di antaranya Sonolayu, Lapangan Kaligentong, Jurang Porong, Gunung Butak, Alas Kopen, Lapangan Skeep  dan beberapa dareah lain di sekitar Kabupaten Boyolali, Semarang dan Klaten, Jawa  Tengah.    

Belakangan, Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) juga mengaku menemukan kuburan massal di kawasan Perhutani di Kampung Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngalian, Kota Semarang. Menurut PMS-HAM, kuburan massal itu diperkirakan digunakan mengubur 24 jenazah dalam dua lubang.

Kabarnya, kuburan massal juga ada di Jawa Timur, Bali hingga Nusa Tenggara. Belum lagi sungai-sungai yang katanya berubah merah dengan tumpukkan tubuh manusia tak bernyawa.     

Beberapa peserta Simposium 1965 dari kelompok yang mengaku ‘korban’ Geger 65, berkali-kali menyuarakan tingginya angka korban yang dibantai usai Geger 65.  Angka 1-3 juta dianggap sebagai angka ideal. Tidak heran jika angka 500 ribu yang disampaikan mantan anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Letnan Jenderal (Purn) TNI Sintong Pandjaitan, dianggap ‘kekecilan’.

Bertahun-tahun jumlah korban penumpasan PKI menjadi berhala politik yang digunakan berbagai pihak untuk menekan pemerintah Indonesia. Para pejabat, termasuk Presiden Indonesia, saat melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, selalu menyiapkan jawaban diplomatis terkait peristiwa itu karena pasti akan ada pertanyaan dari jurnalis asing yang dibungkus dengan isu HAM. Kita tidak ingin suudzon bahwa pertanyaan itu titipan pihak tertentu, karena faktanya memang pernah terjadi peristiwa pembantaian tersebut, Namun pertanyaan yang terus-menerus, bahkan hingga era Presiden Jokowi, jelas merugikan Indonesia. Bukan rahasia lagi jika pembelian senjata dan kontrak-kontrak bisnis G to G, banyak yang dikaitkan dengan persoalan HAM di tanah air. Bahkan Australia, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa pernah  memboikot Indonesia karena isu HAM.

Jokowi tidak ingin masalah tersebut diwariskan kepada generasi  mendatang. Jokowi  pun mengambil resiko untuk membuka kasus-kasus sensitif terkait pelanggaran HAM di masa lalu. Mencari fakta sebenarnya  terkait jumlah korban pembantaian pasca Geger 65, menjadi sangat penting agar tidak selalu dijadikan isu oleh sekelompok orang untuk mendiskreditkan pemerintah Indonesia.

Dengan mendata jumlah dan mengakuinya, diharapkan semua pihak dapat menerimanya. Bahwa nanti jumlah korbannya ternyata ‘hanya’ 500 ribu atau benar-benar 3 juta, tidak penting lagi. Pemerintah akan melakukan langkah politik tertentu terkait korban Geger 65 agar masalah tersebut selesai. Agar tidak dijadikan berhala- sesembahan kaum sesat. Agar tidak ditumpangi isu lain untuk tujuan-tujuan tertentu di luar urusan HAM, semisal persaingan usaha.  

Perintah kepada Menko Polhukam untuk mencari kuburan massal korban  Geger 65 adalah langkah awal untuk menyingkirkan berhala politik itu. Tentu saja masih akan ada pihak-pihak yang kontra dengan model penyelesaian yang dilakukan pemerintah. Namun gaung mereka dipastikan tidak akan sedasyat manakala pemerintah terus tutup mata, bahkan menyangkalnya,  sementara di luar sana ribuan orang siap bersaksi atas kebenaran peristiwa itu.

[yon bayu/ kompasioner]

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment