Monday, March 21, 2016

Sejarah Memilih Pemimpin Muslim


Dunia Hawa - Anda tahu Yazid bin Muawiyah? Ia seorang muslim. Tentu saja. Bahkan bukan muslim sembarangan. Ia anak Muawiyah bin Abu Sufyan, sahabat Nabi. Yazid adalah seorang khalifah, menggantikan ayahnya. Bagaimana kelakuannya? Hemmm, ia bergelar Al-Khumur, artinya pemabuk. Itu gelar yang diberikan kepadanya atas kelakuan yang sering ia lakukan, yaitu bermabuk-mabukan.

Tidak hanya Yazid. Anak cucunya pun begitu. al-Walid I, Hisyam, Abdul Malik, Yazid II, semua suka minum anggur. Ada yang punya kebiasaan berendam di bak berisi anggur, sesekali ia menyelam untuk minum. Ia bahkan berani merobek-robek mushaf Quran dengan anak panahnya.

Cuma itu? Tidak. Pasukan Yazid itulah yang membunuh Husin, cucu nabi, di padang Karbala. Pasukannya juga menyerbu Madinah, melakukan pelecehan terhadap perempuan-perempuan muslimah. Bahkan sampai merusak Ka'bah.

Yazid itu muslim. Kalau mau pakai dalil-dalil yang sedang populer sekarang, dia sudah sah sebagai pemimpin. Pilihlah yang muslim, maka memilih Yazid itu sah. Ulama-ulama zaman itu tentu banyak yang mendukung Yazid. Ulama, lho. Ulama. Tentu tidak semua. Banyak juga ulama yang menentang dia. Tapi ditentang pun Yazid dan anak cucunya tetap berkuasa.

Kenapa bisa begitu? Karena ini adalah politik. Ulama pun berpolitik. Dari mulut mereka keluar dalil-dalil, tak jarang dipakai untuk memberi pembenaran terhadap kesalahan dan kezaliman. Mereka ikut menikmati kekuasaan. Atau, ada yang setengah buta, sekedar berpegang pada dalil-dalil normatif-formal, yang penting pemimpinnya muslim, yang penting syariah dipakai sebagai hukum negara.

Di masa moderen kita mengenal pemimpin bengis seperti Saddam Hussein atau Muamar Qadhafi. Mereka pun muslim. Mereka juga didukung sebagian ulama. Tapi lihatlah mereka. Mau punya pemimpin seperti itu? Saya sih tidak, nggak tahu gimana Anda.

Saya sudah melihat sepanjang sejarah bahwa memilih pemimpin muslim saja tidak cukup. Memilih pemimpin yang dianjurkan ulama saja tidak cukup. Anjuran ulama pun bisa salah. Karena ulama juga manusia. Maka saya memutuskan untuk memilih pemimpin yang baik. Baik dulu. Pilih yang terbaik. Kalau ia muslim, alhamdulillah. Kalau dia kebetulan non-muslim, apa boleh buat.

Memangnya tidak ada orang muslim yang baik untuk dijadikan pemimpin? Banyak. Tapi tidak selalu tersedia. Ada kalanya yang tersedia hanyalah pemabuk, koruptor, pembela koruptor, tukang makan lobster (baca: hamba perut). Mereka kita pilih, dan kita saksikan hasilnya. Mereka berlomba-lomba menghancurkan negara. Jadi, pada saat seperti itu, lupakanlah soal pemimpin muslim. Mari pilih yang baik saja.

Tidakkah ini melanggar ayat Allah? Ayat Allah itu ada 2 jenis, ayat qauliyah dan ayat qauniyah. Sejarah itu bagian dari ayat qauniyah. Sudah nyata dalam sejarah bahwa memilih pemimpin tidak boleh berdasarkan syarat minimal yang penting dia muslim. Karena kenyataan sejarah menunjukkan bahwa yang kita sangka penting itu ternyata tak penting. Maka syaratnya harus maksimal, ia harus pemimpin yang terbaik, dalam arti ia tidak korup dan bekerja baik. Kalau ia muslim, maka itu adalah pilihan super maksimal. Di bawah itu, bila kita berhadapan dengan pilihan yang terbaik tapi bukan muslim, berhadapan dengan yang nyaris minimal tapi muslim, maka pilihlah yang terbaik, meski bukan muslim.

Itu sih pilihan saya. Wong saya ini tidak kaffah, bahkan dianggap sesat. Jadi, jangan ikut saya. Ikutlah pada ulama-ulama, termasuk ulama-ulama yang mendukung Yazid, Saddam Husein, atau Qadhafi. Tapi bisa juga mengikuti ulama-ulama seperti Wahid Hasyim, atau anaknya Abdurrahman Wahid. Atau, silakan berijtihad sendiri.

[DR. Hasanudin Abdurakhman]




Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment