Monday, March 21, 2016

Poligami : Sunnah Yang Tertukar

Y
Dunia Hawa – “Kenapa sih bang orang Islam suka ber-poligami?” “Suka? Maksudmu mungkin boleh. Tidak semua orang Islam suka ber-poligami, tapi poligami boleh di Islam.”

“Oh, beda ya? Trus kenapa poligami boleh di Islam?”

Aku menyeruput kopiku.

“Untuk paham poligami, kamu harus memahami dulu situasi ketika hukum itu diterapkan oleh Nabi. Pada masa itu, di arab sana, wanita adalah simbol kemakmuran sehingga semakin banyak istri maka semakin makmurlah dia. Seseorang bisa beristri sampe ratusan orang. Tujuan mereka selain sebagai simbol juga utk membentuk klan-klan, bagian dari penguasaan suatu wilayah.

Nah, oleh Nabi diaturlah hukum2 pernikahan termasuk poligami. Dari ratusan orang dipampatkan-lah jadi maksimal empat saja. Kenapa empat? Yah itu batas maksimal yang Nabi sangat paham dari sisi kemampuan dan keadilan seorang manusia..”

“Nabi sendiri istrinya banyak kan, bang?”

“Yang perlu diketahui, Nabi beristri banyak bukan karena beliau suka melampiaskan nafsu birahi beliau. Nabi baru beristri lagi sesudah istri pertama beliau, bunda Khadijah meninggal. Jadi proses kenapa beliau beristri banyak bukan kemudian semua beliau nikahi berjejer, tapi karena ada yang meninggal kemudian Nabi menikah lagi..

Dan yang penting diketahui, setiap Nabi menikahi seorang wanita, selalu ada alasan kuat untuk itu. Ada yang janda karena ditinggal mati suaminya, ada yang sudah tua dan miskin sehingga tidak ada yang mengurusnya, ada istri yang tidak ada yang mau menikahi sehingga akhirnya Nabi menikahinya, ada istri dimana Nabi menyelamatkannya karena tidak ingin kembali kepada keluarganya yang menentang Nabi.

Dari semua alasan2 itu, tidak ada alasan bahwa Nabi menikah karena wanita itu lebih cantik, lebih semlohai dari istri sebelumnya, karena seorang Nabi tidak pernah dikuasai oleh nafsu dalam menjalankan syariat, tetapi karena pertimbangan kemanusiaan dan keadilan.

Jika bukan Nabi yang turun tangan, maka tidak ada yang menikahi mereka. Dan ketika Nabi membantu mereka tanpa menikahi, maka yang muncul adalah fitnah2 bahwa Nabi sudah berduaan dengan seorang non muhrim…”

“Oh, begitu.. Jadi ada alas an-alasannya.. Lalu apa poligami masih relevan dengan masa sekarang?”

“Hukum itu tidak terikat zaman, berlaku ketika ditentukan sampai masa berakhirnya manusia. Relevansinya tergantung situasinya. Ketika banyak janda-janda yang miskin disekitarnya, misalnya, yang perlu disantuni dan tidak ada yang mau menikahi dia sedangkan seorang wanita pasti punya kebutuhan sebagai manusia.

Atau juga untuk menghindari terjadinya zina, ingat zina itu punya konsekuensi berat baik di dunia maupun di akhirat.

Jadi poligami itu, jika ingin memenuhi sunnah Nabi, harus melihat banyak aspek juga, terutama kemanusiaan dan keadilan. Nah masalahnya sebenarnya bukan di hukumnya, tapi di manusianya. Hanya dengan berbekal “sunnah Nabi”, banyak yang sekedar melampiaskan nafsu birahinya.

Mereka menikah lagi lebih karena nafsu dengan ukuran-ukuran yang mereka terapkan sendiri, biasanya berhubungan dengan fisik. Atau kembali ke masa arab jahiliyah, semakin banyak istri semakin tampak kemakmurannya. Akhirnya hukum poligami sudah tidak lagi murni ketika diterapkan, karena disana lebih besar unsur syahwat dan kesombongan.. Sudah paham, kan?”

“Paham, bang… Ehm, kalau boleh tanya, abang mau poligami? Aku siap bang….” *tertunduk malu dengan muka memerah.

Kopiku mendadak tumpah. “Apa maksudmu, Bambangggg??”

[denny siregar]




Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment