Monday, March 14, 2016

Masuk Surga



Dunia Hawa - Orang Islam sering betul membahas soal ini. Soal apakah orang-orang kafir, yaitu orang yang tidak memeluk agama Islam, akan masuk surga atau tidak. Saya tidak paham soal ajaran agama lain, jadi tidak tahu apakah mereka juga suka melakukan kajian seperti itu atau tidak. Dugaan saya sih sama saja. Beberapa kali saya baca debat antara orang Islam dan Kristen soal siapa yang benar, masing-masing mengutip ayat-ayat kitab mereka. Sebuah perdebatan yang konyol menurut saya.

Cobalah orang-orang Islam itu membuka kitab-kitab suci agama lain, misalnya Injil, atau Weda. Cari penjelasan tentang surga di situ. Apakah Anda akan tertarik untuk masuk ke surga yang digambarkan itu? Tidak. Kenapa? Karena itu bukan surga yang Anda imani. Begitulah yang dipikirkan oleh orang-orang non-muslim. Mereka sangat tidak tertarik untuk masuk ke surga yang diimani oleh umat Islam. Jadi, kenapa pula kita mau repot-repot berpikir atau membahas soal apakah mereka akan masuk surga atau tidak?

Tuhan, nabi, malaikat, surga, neraka, semua itu adalah anggota himpunan iman. Satu set. Masing-masing agama punya definisi sendiri tentang itu. Mana yang benar? Embuh. Kita tidak tahu. Kita tidak punya perangkat untuk menguji mana yang benar di antara agama-agama itu. Yang kita punya hanya keyakinan, bahwa iman saya yang benar.

Kita sering lupa bahwa agama adalah soal keyakinan. Meski kita bicara soal sesuatu yang sama, pada hakikatnya kita berbeda. Orang Islam dan Kristen bicara tentang Isa atau Yesus. Menurut orang Islam, Isa itu nabi. Tapi menurut orang Kristen, dia itu Tuhan. Mana yang benar? Embuh. Tidak ada yang benar atau salah di situ. Yang ada hanyalah, mana yang kau yakini.

Debat soal kebenaran agama itu mirip dengan perdebatan soal mana yang lebih enak antara semur dan rendang. Mana yang lebih enak? Tidak ada yang lebih enak, karena tidak ada alat ukurnya. Yang ada hanya selera. Yang suka rendang, akan mati-matian bilang bahwa rendang itu lebih enak. Demikian pula sebaliknya. Mana yang lebih enak? Sebenarnya tidak penting. Yang penting perut kita kenyang.

Yang menyedihkan adalah, pembahasan seperti ini mereduksi kebaikan. Banyak orang baik, dari kalangan non-muslim. Tapi kita tidak pernah menghargai kebaikan itu sebagai kebaikan yang perlu kita tiru. Kita hanya bisa melihatnya sebagai keburukan semata. Karena betapapun baiknya, mereka tetaplah kita pandang sebagai manusia-manusia hina, karena mereka ingkar kepada Tuhan. Ingkar kepada Tuhan kita, tepatnya.

Sebaliknya kita menjadi lebih toleran kepada keburukan-keburukan, ketika keburukan itu dilakukan oleh sesama muslim. Toh, seburuk-buruknya seorang muslim, mereka toh saudara kita. Kita bahkan tak boleh mengritiknya. Yang mengritik akan dituduh membuka aib, atau melakukan ghibah. Tak jarang pula disebut memfitnah, atau bahkan memusuhi Islam.

Padahal dengan nalar sederhana saja kita tahu bahwa tidak semua orang muslim itu baik, dan tidak semua orang non-muslim itu buruk. Orang baik dan buruk ada di manapun. Maka seharusnya kita melihat kebaikan dan keburukan sebagai kebaikan dan keburukan belaka, bukan berbasis pada siapa pelakunya.

Agama seharusnya menjadi penuntun bagi kita untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Tapi kenyataannya, agama justru sering mengaburkan batas keduanya.

[DR.Hasanudin Abdurakhman]


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment