Umumnya, dalam mempertahankan kekuasaan orang akan menempel parpol, tokoh masyarakat, apalagi kalau pendatang, bermanis-manis agar dipilih orang. Berbeda dengan sang gubernur DKI kali ini. Beberapa kegilaan yang patut dicermati apakah sudah tingkat lanjut atau masih ada kewarasan sedikit?
· Melabrak parpol
Ini bukan satu dua kali. Bagaimana ia ribut dengan parpol, dimulai dengan Gerindra yang ia tinggalkan dengan dalih berbeda visi dan misi. Tidak heran memunculkan musuh yang frontal mengakui bukan lagi basa-basi seperti M. Taufik, Fadli Zon, dan yang lainnya masih wajar. Mereka marah karena kehilangan sosok berani berkelahi yang diperlukan, respon berbeda ditunjukkan dengan keberanian yang dipikir seperti kebanyakan orang yang takut gertakan ala parpol. Soal wakil gubernur pun demikian, ia permainkan parpol dalam hal ini PDI-P yang akhirnya ngikut idenya. Melahirkan barisan sakit hati baru.
· Menabrak tembok dewan
Paling parah kegilaan yang ini, bagaimana dewan yang setelah reformasi menjadi ajang bandit paling ditakuti, berapa saja pejabat dan pengusaha harus masuk bui karena tingkah mereka, lha malah dia tabrak. Lawan yang tidak sebanding, sendirian menghadapi puluhan bandit demokrasi berdasi. Bandit-bandit kecil kelaparan akan tamaknya, mengusahakan berbagai cara untuk mark up, memalak, menyandera RAPBD, perda, dan program, bukannya sowan dengan amplop, eh malah dia gandeng KPK, BPK, dan bareskrim. Tidak heran anggota dewan yang waras, merasa modal belum balik melakukan perlawanan dengan bak babi buta, dan membentur-bentur sendiri. Tokoh yang mewakili seperti Lulung.
· Membentur situasi seksi dengan cara lain.
Biasanya juara bertahan akan menyajikan muka manis, mulut aroma madu janji-janji ini itu, eh malah dia menggusur ikonik daerah yang sangat dikuasai mafia. Coba saja dia main mata tidak digusur, nanti semua coblos dia, akan dengan suka cita mereka setor suara juga bisa materi. Bukan hanya sekali, malah hampir semua tempat yang sekian lamanya hidup dalam keadaan aman sejahtera dengan upeti tentunya, ia bersihkan. Metromini itu sumber suara dan uang, malah ia berangus. Memangnya metromini baru sekarang buat masalah, tidak bukan? Gubernur lainnya saja diam, napa juga dibersihkan. Pedagang di Monas, biarkan saja setoran banyak, PNS tetap kerja dengan bahagia, suara pasti mengalir. Malah diobrak-abrik, coba berapa ribu PNS dengan keluarga besarnya yang dapat ia dulang. Pedagang dan preman di Monas, Tanah Abang, Ria-Rio, bantaran Ciliwung, kali ini Kalijodo. Semua gubernur merasakan, tahu, dan melihat mereka juga di sana, PNS memangnya dulu rajin?
· Memukul maling yang berkedok alim
Berbagai bidang maling dia hantam, mulai kelas coro di pasar, hingga kakap di gedung dewan dan kantornya sendiri. Maling penuh codet dan tatoo hingga berdasi dan berkata lemah lembut mengalahkan lembutnya Pak Beye pun kena ia serang.
· Pecat, bukan rotasi birokrasi
Parah dia ini, mendekati pilgub akan banyak bermanis-manis ke anak buah, eh malah ia pecat. Umumnya akan dirotasi, tahu lah istilah rotasi itu setoran agar kembali ke tempat yang lebih empuk dan enak, lha ini malah pecat, yang artinya menambah musuh dan perlawanan. Diam saja juga bisa kog, nyatanya bisa juga bekerja sejak lama begitu-begitu saja. Gak ada bedanya, selain membuat ia dimaki karena dinilai ganggu kesenangan pingpong, jalan-jalan jam kerja, mendapatkan upeti dan mark-up. Rugi bagi Ahok.
Ternyata pilihan itu yang telah ditentukan dan sekian lama masih dipakai, bukan buatan, namun memang model yang ia yakini paling pas dan tepat untuknya dan DKI. Untung rugi telah dicermati dan tetap saja dilakukan. Lanjutkan sepanjang demi kebaikan Jakarta dan Indonesia
No comments:
Post a Comment