Meskipun telah mengenal batik sejak kecil, karena banyak mengamati
nenek buyutnya merawat kain batik, sutradara Nia Dinata mengaku wawasannya tentang batik belum cukup banyak. Ketika melakukan riset untuk film dokumenter yang mengabadikan keragaman corak batik di Indonesia, Batik: Our Love Story (2011), ada beberapa hal yang baru diketahuinya.
Yang paling mengejutkan, menurut Nia, adalah bahwa ia ternyata tidak bisa membedakan batik print yang
memakai mesin atau yang memakai malam (kombinasi). Padahal, teknik
pembuatan batik ini kelak akan memengaruhi kisaran harganya. Seperti
Anda ketahui, selembar batik tulis nilainya akan jauh lebih mahal karena proses pembuatannya yang bisa memakan waktu satu tahun, bahkan dua tahun.
"Dulu
saya juga suka batik yang murah. Kalau lagi ke pameran, wah... pasti
ditawar habis-habisan. Harusnya kita nggak nawar harga batik ya, karena
ternyata bikin batik itu susah banget. Sudah begitu, untungnya juga
nggak gede," katanya, saat diskusi mengenai filmnya di @america, Pacific
Place, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, boleh-boleh saja kita membeli batik printing,
selama si penjual juga mengakui bahwa batik yang dijualnya memang bukan
jenis batik tulis. Masalahnya banyak penjual yang "nakal", memanfaatkan
ketidaktahuan pembeli dengan mengatakan bahwa batik print yang ditawarkannya adalah batik tulis.
Para
pakar batik, atau pakar kebudayaan, selama ini mendorong kita untuk
membeli batik tulis, untuk menghargai proses pembuatannya yang rumit.
Karena, yang dikukuhkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan
dan Nonbendawi dari UNESCO adalah teknik membatiknya. Setidaknya, orang
bisa membeli batik print atau batik cap yang pembuatannya dikombinasikan dengan teknik tulis.
Ada pun batik print, pembuatannya tidak mendukung konsep batik. Oleh karena itu, batik print sebenarnya hanyalah tekstil bermotif batik. Atau, kain yang diberi motif batik. Alhasil, harganya pun lebih murah, dan biasanya diproduksi secara massal.
Namun, Nia punya pendapat lain. Menghargai batik dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya adalah dengan mengenakan kain atau busana yang bermotif batik. Jika pilihannya jatuh pada batik printing, soal harga pun tidak bisa diperdebatkan. Dengan harga yang terjangkau, justru semakin banyak orang yang bisa mengenakan kain bermotif batik.
"Menurut saya batik itu justru harus accessible.
Saya setuju saja kalau desainer muda bikin batik cap. Iwed Ramadhan,
misalnya, dia membuat Tik Shirt. Itu bukan batik tulis, tapi teknik cap
pakai sablon. Cuma, motifnya batik," katanya.
Nia berpendapat,
ide-ide baru seperti itu diterima saja, dan diperkenalkan kepada
masyarakat luas agar anak muda bangga memakai batik. Siapa tahu hal itu
juga mendorong mereka untuk turut menciptakan teknik membatik yang baru.
Sebut saja batik fractal, motif batik yang diciptakan melalui komputer dengan sebuah software yang disebut JBatik.
"Yang masih muda, silakan beli batik yang hanya aksen batik. Tetapi untuk yang sudah mapan, sebaiknya ganti strategi. Harus punya kebanggaan untuk membeli batik tulis, nggak cuma bangga kalau beli Hermes. Daripada membeli Hermes, lebih baik beli batik tulis. Nggak apa-apa, sekali-sekali beli batik yang mahal, daripada beli gadget. Jadi, ketika sudah mapan kita harus shift our priority," sarannya.
"Yang masih muda, silakan beli batik yang hanya aksen batik. Tetapi untuk yang sudah mapan, sebaiknya ganti strategi. Harus punya kebanggaan untuk membeli batik tulis, nggak cuma bangga kalau beli Hermes. Daripada membeli Hermes, lebih baik beli batik tulis. Nggak apa-apa, sekali-sekali beli batik yang mahal, daripada beli gadget. Jadi, ketika sudah mapan kita harus shift our priority," sarannya.
sumber :
No comments:
Post a Comment