Monday, January 2, 2017

Kasus Ahok dalam Perspektif HAM

DUNIA HAWA - Sidang perdana dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah dimulai pada Selasa 13 Desember 2016.


Persidangan dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang terdiri atas satu orang hakim ketua dan empat orang anggota. Sementara itu, jaksa penuntut umum berjumlah 13 orang dan tim pembela Ahok terdiri atas sekitar 80 orang.

Di sidang perdana, Ahok menyampaikan nota keberatan atas dakwaan terhadap dirinya. Ia dengan tegas menyampaikan bahwa dirinya tidak mungkin menista agama Islam, karena ia sangat menghormati agama yang dianut oleh orang tua angkatnya Andi Baso Amir dari Bugis yang adalah Muslim yang taat.

Di dalam ruang sidang berkapasitas 90 orang dan penuh sesak oleh pengunjung itu, Ahok membacakan sendiri nota keberatannya. Sementara di luar, ratusan massa berkumpul mengikuti sidang.

Proses hukum atas Ahok yang disebut supercepat menjadi kekhawatiran bahwa prosedur hukum akan menjadi alat untuk menghukum Ahok karena besarnya tekanan massa, khususnya yang direpresentasikan oleh aksi 411 dan 212.

Dari sisi fakta sosial, penyidik, penuntut umum, dan hakim bekerja di bawah stigma dan judgement publik bahwa Ahok harus bersalah. Hal ini menjadi tekanan yang luar biasa bagi penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya agar tetap independen, obyektif, dan profesional dengan hanya berpegang pada alat bukti yang sah.

Dalam aspek perlindungan dan pemenuhan HAM, setiap orang–begitu pula Ahok–harus dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (presumed of innocence) sebagaimana diatur di Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.

Penegak hukum harus berpegang pada asas due process of law, yaitu segala tindakan penegak hukum harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Hal ini agar proses hukum atas Ahok dilakukan secara bermartabat dan dalam koridor penegakan HAM melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak (Pasal 17 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia)

Sidang Ahok adalah peristiwa yang mengundang perhatian publik nasional maupun internasional. Untuk itu, aparat keamanan harus memastikan keamanan dan kenyamanan selama sidang berlangsung agar tidak ada intimidasi dan kekerasan (verbal maupun non verbal), baik atas terdakwa, hakim, jaksa, saksi, dan pengunjung. Independensi dan martabat pengadilan harus dijaga oleh semua pihak.

Sidang Ahok diharapkan juga menjadi tuntunan bagi publik agar menghormati proses hukum dan menghormati HAM. Dengan terbukanya proses persidangan, majelis hakim akan mengemban misi edukasi publik baik dari perspektif agama maupun hukum. Hal ini agar kasus ini menjadi terang benderang karena publik berhak untuk tahu sehingga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat.

Transparansi dan akuntabilitas atas proses dan hasil persidangan harus dijaga untuk membangun kepercayaan publik. Dengan demikian, apa pun yang menjadi putusan majelis hakim harus dihormati dan dilaksanakan.

Proses peradilan yang akan membuktikan melalui alat-alat bukti dan mengkonfirmasi keterangan-keterangan para pihak untuk menguji apakah dakwaan atas Ahok terbukti ataukah tidak.

Jika dicermati, Pasal 156 dan 156A KUHP tentang penistaan agama tidak mempunyai batasan yang jelas dan sumir. Menurut kajian yang dilakukan oleh Freedom House, pasal penistaan agama memicu terjadinya pelanggaran HAM, khususnya hak atas kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan kebebasan dari diskriminasi, khususnya terhadap kelompok minoritas.

Karenanya, dalam pemeriksaan nanti, majelis hakim harus memeriksa apakah ada niat dari Ahok untuk menistakan agama (mens rea) ketika berceramah di Kepulauan Seribu? Niat itu di antaranya bisa diperiksa dari ada tidaknya perencanaan dan penyiapan bahan untuk melakukan tindak pidana yang didakwakan itu.

Selain itu, apa bentuk tindakan yang dikategorikan sebagai menista agama itu (acts rea)? Apakah ucapan Ahok itu merupakan bentuk dari tindakan yang menista agama? Majelis hakim harus memeriksa secara utuh isi video Ahok di Kepulauan Seribu itu.

Terkait dengan konteks, peristiwa ini terjadi di tengah proses politik Pilkada DKI Jakarta, karenanya majelis hakim harus bisa mencermati dugaan motivasi politik di balik peristiwa itu, agar tidak terjadi politisasi hukum.

Pada akhirnya, kasus Ahok akan menjadi ujian bagi kita agar semakin dewasa menghadapi perbedaan pendapat, keyakinan, aspirasi politik, dan dinamika penegakan hukum. Asas kepastian hukum dan keadilan harus ditegakkan selama proses persidangan agar membawa harmoni dan stabilitas kemasyarakatan di tanah air.

Sebagai negara hukum (rechtsstaat), maka hukum menjadi alat untuk mencari kebenaran bukan berburu kemenangan. Dengan begitu, tujuan hukum untuk memberikan manfaat dan kebahagian sebesar-besarnya bagi masyarakat bisa tercapai (Jeremy Bentham).

@mimin dwi hartono


Jokowi dalam Pusaran Isu Sensitif dan Kontroversial

DUNIA HAWA - Sepanjang tahun 2016, Presiden Joko Widodo berada dalam pusaran isu-isu sensitif dan kontroversial.  Dari soal LGBT, narkoba, aliran-aliran agama/kepercayaan yang dituduh sesat (Ahmadiyah, Syiah, Gafatar), jutaan pendatang gelap (pekerja) dari Tiongkok, bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI), intoleransi agama, terorisme, hingga yang paling menghebohkan adalah tuduhan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) serta rencana penggulingan presiden (makar).


Masih banyak isu lain yang berseliweran di ruang publik yang umumnya lebih merupakan hoax ketimbang fakta. Dari sekian banyak isu itu, yang paling sensitif dan barangkali cukup mengganggu pemerintahan Jokowi adalah ihwal pendatang gelap dari Tiongkok, bangkitnya PKI, tuduhan penistaan agama, dan makar.

Merebaknya isu pendatang gelap dari Tiongkok bermula dari penyampaian target kunjungan wisata pemerintah Indonesia. Kunjungan wisatawan Tiongkok ke Thailand diperkirakan mencapai angka 10 juta orang pada tahun 2016. Padahal tempat-tempat yang layak dikunjungi wisatawan di Indonesia jauh lebih banyak, dan mungkin juga jauh lebih menarik ketimbang yang ada di Thailand. Karena itu, rasanya tidak salah jika Presiden Jokowi juga menargetkan hal yang sama, 10 juta wisatawan Tiongkok ke Indonesia.

Untuk memaksimalkan pencapaian target wisatawan ke Indonesia, Jokowi mengeluarkan setidaknya tiga Peraturan Presiden: (1) Nomor 69 Tahun 2015; (2) Nomor 104 Tahun 2015; dan (3) Nomor 21 Tahun 2016. Menurut data yang dikeluarkan Direktoral Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, ada 169 negara yang resmi dibebaskan dari visa untuk kunjungan ke Indonesia.

Dari 169 negara tersebut, Tiongkok menjadi satu-satunya negara yang paling banyak disorot karena beberapa faktor. Pertama, arah kiblat pembangunan Jokowi dianggap lebih condong ke Tiongkok ketimbang ke Amerika atau negara-negara Eropa. Kedua, para konglomerat terkaya di Indonesia yang menyebabkan tingginya indeks rasio gini (kesenjangan ekonomi) sebagian besar, atau bahkan hampir semuanya, berasal dari WNI keturunan Tionghoa (Tiongkok). Ketiga, merebaknya isu kebangkitan PKI.

Selain itu, isu tentang asal usul Jokowi yang berasal dari keturunan Tiongkok dan dari keluarga PKI juga tetap muncul hingga saat ini. Semua isu ini apabila dikumpulkan akan menjadi bumbu yang sedap untuk digoreng oleh pihak-pihak yang tidak menyukai pemerintah. Target 10 juta wisatawan pun diputarbalikkan menjadi isu 10 juta warga Cina yang mau beranak pinak di Indonesia.

Para aktivis media sosial yang sangat kritis dengan Jokowi melahap isu ini dengan menyampaikan pernyataan-pernyataan yang provokatif. “10 juta jiwa mau beranak pinak di Indonesia? Menularkan ideologi-ideologinya?…” tulis Zara Zettira melalui akun @ZaraZettiraZR yang memiliki 180 ribu lebih followers. “10 juta jiwa itu setara dengan jumlah penduduk satu negara di Eropa Timur! Transmigrasi antar daerah aja bermasalah apalagi antar negara,” tegasnya.

Isu yang bekelindan dengan pendatang gelap dari Tiongkok adalah bangkitnya PKI. Fakta-fakta yang tidak masuk akal pun dibuat untuk menguatkan isu ini seperti munculnya gambar palu arit (lambang PKI) di sejumlah daerah yang tidak pernah terungkap siapa yang membuat/menyebarkan; beredarnya buku Jokowi Undercover karya Bambang Tri yang menyebut-nyebut Jokowi keturunan Cina dan PKI; dan lambang “BI” (Bank Indonesia) dalam uang kertas yang beredar saat ini pun, kata si penyebar isu, sama dengan lambang palu arit. Maka, tak heran jika “BI sudan disusupi komunisme” menjadi viral di media sosial.

Kebijakan bebas visa yang dikeluarkan Jokowi pun dikait-kaitkan dengan upaya memuluskan kebangkitan PKI. Juga tentang kebijakan pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas Jokowi yang ternyata banyak mendatangkan investor dari Tiongkok.

Dilema Jokowi


Selain isu Cina/Tiongkok dan komunis dengan variannya masing-masing, yang sangat mengganggu pemerintahan Jokowi adalah soal tuduhan penistaan agama yang dilakukan Ahok dan masalah dugaan rencana persekongkolan jahat yang dilakukan sejumlah tokoh untuk menurunkan Jokowi (makar).

Diakui atau tidak, dua isu (kasus) ini menempatkan Jokowi pada dilema antara upaya penegakkan hukum seadil-adilnya, atau mengikuti saja apa yang menjadi tuntutan massa. Atau antara mengupayakan stabilitas sebagai keniscayaan konsolidasi demokrasi, dengan membiarkan ekspresi politik sebebas-bebasnya.

Dalam kasus tuduhan penistaan agama, jika hukum benar-benar ingin ditegakkan, harus dihindari “trial by the mob”, tapi dengan gelombang aksi massa pada 4 November (411) dan 2 Desember (212) yang melibatkan jutaan orang, apakah mungkin tidak mempengaruhi ketukan palu hakim?

Belum lagi, pada saat Jokowi menegaskan tidak akan melakukan intervensi (sebelum Ahok dijadikan tersangka), ia dituduh membela Ahok karena tuntutan massa pada saat itu adalah meminta agar Presiden memerintahkan polisi untuk menangkap Ahok.

Dalam kasus tuduhan makar, dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan tokoh-tokoh yang sudah ditangkap, memang jelas ada upaya untuk mengganti pemerintahan karena Jokowi dianggap tidak layak menjadi presiden. Upaya yang sejatinya sangat sulit direalisasikan mengingat mayoritas anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden (UUD 1945 Pasal 7A) adalah berasal dari partai politik yang mendukung pemerintah.

Tapi, jika mereka dibiarkan melakukan deseminasi gagasan dengan cara terus-menerus mendelegitimasi kewenangan dan kekuasaan Presiden, tentu akan sangat mengganggu stabilitas politik yang menjadi salah satu syarat konsolidasi demokrasi.

Membiarkan ekspresi politik tanpa kendali berpotensi menjerumuskan negara pada instabilitas politik yang disebut O’Donnel dan C. Schmitter (1996) sebagai bentuk transisi menuju “sesuatu yang lain” yang tidak pasti.

Maka, menyeimbangkan posisi negara antara mencegah terjadinya “transisi berkepanjangan” atau kembali pada pemerintahan yang otoriter, merupakan tugas berat yang ada di pundak Presiden Jokowi saat ini.

@abd rohim ghazali


AHY dan Anies Memperebutkan FPI

DUNIA HAWA - Sejak KPUD DKI Jakarta menetapkan calon gubernur berikut nomor urut pasangan calon, masing-masing calon memutar otak untuk mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Cara-cara yang digunakan setiap calon kerap jauh dari hati nurani dan pikiran.


Sejak kasus Ahok menjadi viral di berbagai media, banyak yang menuding bahwa AHY telah bermain isu SARA untuk menjatuhkan lawanya. Ironisnya, dampak masifnya isu SARA yang terus disuarakan melalui media sosial telah memengaruhi opini publik yang membawa pada lunturnya pemahaman tentang Bhinneka Tunggal Ika.

Front Pembela Islam (FPI) secara terang-terangan telah mendukung pasangan AHY-Sylviana setelah bergulirnya isu penistaan agama yang mencuat ke ranah publik.

Keterlibatan FPI dalam Pilkada DKI Jakarta terlihat jelas dengan gerakan yang dilakukanya untuk memenjarakan Ahok. Hal ini terbukti dengan beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan FPI secara masif. 

Belakangan ini, demonstrasi yang telah melibatkan umat Muslim dari berbagai wilayah di seluruh tanah air yang dipimpin oleh FPI dan GNPF-MUI telah membuat tekanan begitu besar bagi penegak hukum dan pemerintah.

Terlepas dari cara-cara untuk menjatuhkan lawanya, tidak seharusnya para calon bermain isu SARA. Sebab, berpotensi memecah-belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam sebuah pertemuan di bilangan Sunter Agung, Jakarta Utara pada tanggal 15 November 2016, Agus mengungkapkan soal dukungan FPI terhadap dirinya. Ia mengatakan, “Semua organisasi, semua kelompok masyarakat, semua individu yang mendukung saya, tentu saya sikapi dengan sebuah sisi yang positif."

Sementara itu, dalam acara pengajian bulanan FPI di Markaz Syariah Petamburan pada 1 Januari 2017, salah satu calon gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mendatangi pengajian tersebut. Dalam acara itu Anies mengklarifikasi berbagai tuduhan dan fitnah yang ditujukan kepada dirinya yang menyatakan dirinya sebagai Syi’ah, Wahabi, dan Liberal.

Dalam acara tersebut Anies menyatakan bahwa dirinya bukan Syi’ah tetapi penganut Ahlussunnah Wal Jamaah. Selain itu, ia juga menyangkal tudingan kepada dirinya yang menyatakan bahwa ia wahabi. Anies pun menjelaskan bahwa dirinya bukan wahabi.

Terakhir, mengenai tudingan bahwa ia liberal. Anies menjelaskan, bahwa dirinya adalah rektor Universitas Paramadina, menggantikan Shohibul Iman yang saat ini menjabat sebagai presiden PKS. Dalam hal ini, tentu mantan rektor Shohibul Iman tidak menginginkan Universitas Paramadina dipimpin oleh seorang liberal.

Mengenai berbagai macam tudingan terhadap dirinya, Anies melakukan klarifikasi di depan ribuan jamaah FPI. Pertanyaan paling mendasar dalam hal ini adalah, apa sebenarnya kepentingan Anies menghadiri acara tersebut? 

Peran FPI dalam pilkada DKI Jakarta memang terlihat jelas menyudutkan salah satu calon gubernur DKI Jakarta yakni Ahok. Kebencian FPI terhadap Ahok memang sudah lama, terhitung sejak Ahok menjabat sebagai kepala derah Jakarta. Saat itu, ormas-ormas yang mengatasnamakan Islam tidak mengakui keberadaan dan otoritas Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta.  

FPI Ancaman Demokrasi


Dalam berbagai kasus yang bersifat keagamaan, FPI menjadi garda terdepan sebagai pembela Islam. Ideologinya yang radikal dan fundamental dapat merusak tatanan demokrasi. Tindakan yang menjustifikasi orang lain seolah menjadi dasar untuk melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Padahal, sebagai organisasi pembela Islam tidak seharusnya FPI melakukan cara-cara yang intoleran.

Pilkada DKI Jakarta telah menjadi wadah yang tepat untuk organisasi ini dalam menyuarakan ideologinya: Khilafah untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara. Sementara itu, Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan keberagamanya dan kerap menjadi contoh bagi negara mayoritas muslim yang menganut demokrasi di dunia.

Peran FPI dalam Pilkada DKI Jakarta disinyalir dapat memecah-belah keutuhan bangsa Indonesia. Sebab, isu SARA yang terus disuarakan rentan menjadikan umat beragama lain terisolasi.

Dalam tulisanya yang berjudul “Musuh Dalam selimut”, mendiang KH. Abdurrahman Wahid memberikan pandangan terkait penyusupan organisasi dan gerakan fundamentalisme dan subversif yang telah masuk ke lembaga-lembaga agama di tanah air.

Menurut almarhum Gus Dur, Penyusupan itu masuk ke lembaga-lembaga tertentu. Oleh karena itu, ia tidak heran jika banyak fatwa-fatwa dan gerakan-gerakan Islam yang menuai kontroversi dari berbagai elemen masyarakat.

Oleh karena itu, sebagai negara mayoritas Muslim yang menganut demokrasi dan menampung berbagai macam ras, suku, agama, dan etnis, dalam memperebutkan kekuasaan tidak semestinya menggunakan cara-cara yang intoleran, seperti memainkan isu SARA dan menyebarkan berita yang tidak valid.

Merawat keutuhan NKRI merupakan bagian dari iman. KH. Hasyim Asy’ari pernah berkata: Hubbul Wathon Minal Iman, yang berarti cinta kepada negara bagian dari iman.

Tentunya, peran FPI dalam menggiring opini harus dibendung dengan kecintaan terhadap Indonesia. Terutama para calon yang merapat dengan FPI, seharusnya mereka menghindari memainkan isu-isu SARA demi mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


@ali razak mustafa

Iqbal Kholidi ; Gerak Klandestin ISIS di Indonesia [Catatan Terorisme 2016]

DUNIA HAWA - Pada akhir November 2016 Detasemen Khusus Anti-Teror Polri berhasil mengungkap jaringan teroris di Majalengka, Jawa Barat, yang merencanakan teror bom untuk momentum Desember. Yang mengejutkan dari terungkapnya kasus ini adalah komposisi bom yang berhasil disita diketahui memiliki daya ledak tinggi, konon lebih dahsyat dari bom Bali.


Keberhasilan aparat membongkar plot terorisMajalengk sungguh mengesankan. Terlebih diikuti dengan penggerebekan sel-sel teroris sepanjang Desember, sebut saja teroris “bom panci” (10/12) yang disiapkan untuk menyerang Istana Negara dan teroris di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (25/12).

Kita bersyukur rencana jahat di penghujung tahun 2016 berhasil dicegah, setelah pada awal tahun negeri ini dihajar teror bom di ibukota.

Pada 14 Januari 2016, aksi bom bunuh diri dan dilanjutkan serangan senjata api meneror Jakarta di Jalan MH Tamrin. Dalam kejadian itu, 7 orang tewas 5 di antaranya adalah pelaku dan 2 adalah warga sipil, salah satunya WNA Kanada. ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan ini.

Ini teror pertama kali yang dilancarkan ISIS di Indonesia. Wajar ketika itu publik terperanjat mengapa Indonesia menjadi sasaran teror kelompok ISIS, mengingat militan ini orbitnya di Timur Tengah.

Motif aksi teror Jakarta ketika itu adalah upaya pengikut ISIS yang ingin menyeret Indonesia lebih jauh dalam perang melawan ISIS secara global.

Pada Februari 2016, atau satu bulan setelah teror di Jakarta, publik dikejutkan media Australia ABC News yang menayangkan liputan investigasi tentang adanya kegiatan perekrutan ISIS di sebuah masjid Jakarta. Video “perekrutan” itu juga beredar di internet, dengan durasi hampir 3 jam yang diunggah di internet pada 19 Februari 2016.

Dalam rekaman kegiatan tersebut, seorang mensosialisasikan ideologi kekhalifahan ISIS pada orang-orang yang hadir, dan iming-iming kehidupan islami di bawah kekuasaan ISIS.

Beredarnya aktivitas video pengikut ISIS tersebut telah menguak gerakan perekrutan ISIS selalu dibungkus dengan kegiatan keagamaan, dan mereka selenggarakan di masjid, sehingga sejumlah pihak tidak banyak menaruh kecurigaan.

Lalu, pada 16 Mei 2016, sebuah video propaganda ISIS berbahasa Indonesia beredar di internet yang menampilkan anak-anak militan asal Indonesia yang berada di Suriah. Mereka unjuk kebolehan kematangannya menghayati doktrin ISIS hingga kemahirannya mengoperasikan senjata api.

Dari video tersebut, ISIS mencoba menginspirasi pengikutnya di Indonesia untuk mengenalkan doktrin kekerasan ISIS sejak dini terhadap anak-anak di bawah umur. Ini sungguh mengerikan. Kita tidak bisa membayangkan jika “kurikulum teror” ini berhasil niscaya akan menjadi problem serius di kemudian hari saat anak-anak tersebut sudah dewasa.

Pada Juli 2016 terjadi aksi bom bunuh diri terjadi di Markas Kepolisian Resor Surakarta. Pelaku diketahui bernama Nur Rohman seseorang buronan dari jaringan Arif Hidayatulloh alias Abu Mush’ab yang sudah lebih dulu berhasil ditangkap pada akhir tahun 2015. Mush’ab diketahui aktif berkomunikasi dengan Bahrun Naim yang saat ini bergabung ISIS di Suriah.

Bom bunuh diri ini hanya menewaskan pelaku dan melukai seorang polisi. Peristiwa ini terjadi di bulan suci Ramadhan, di mana pada saat itu serangan teror bom ISIS juga terjadi di beberapa negara seperti di Turki dan Arab Saudi. Besar dugaan aksi ini terinspirasi atas seruan juru bicara ISIS Abu Muhammad Al-Adnani yang ketika itu menyerukan pada pengikut ISIS di seluruh dunia untuk meningkatkan serangan di bulan Ramadhan.

Masih di bulan yang sama, pada Selasa 18 Juli 2016, pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso aka Abu Wardah tewas tertembak dalam kontak senjata dengan tim Satgas Operasi Tinombala di daerah Tambrana, Poso, Sulawesi Tengah. Bersamaan dengan tewasnya Santoso, geliat kelompok bersenjata yang bergerilya di hutan Poso ini semakin menurun.

Kelompok ini sejak tahun 2014 tak hanya berbaiat kepada ISIS, tapi juga mencoba menduplikasi gaya militan ISIS, seperti merekrut jihadis asing, melibatkan kaum perempuan dalam gerakan bersenjata dan memadukan strategi pemberontakan dan terorisme.

Satu bulan kemudian (28 Agustus 2016) terjadi percobaan bom bunuh diri dan penikaman terhadap seorang Pastor saat misa di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep di Medan. Pelaku serangan bernama Ivan yang masih berusia 17 tahun. Meskipun bom gagal meledak, pelaku sempat melukai Pastor sebelum akhirnya berhasil diringkus oleh jemaat.

Di ransel yang dibawa Ivan berisi bom rakitan bertuliskan “I Love Al-Baghdadi”, merujuk pada sosok Abu Bakar Al Baghdadi pemimpin sentral ISIS. Dari ponsel pelaku terdapat jejak digital bahwa yang bersangkutan kerap menonton video propaganda ISIS. Hasil penyelidikan akhir, pelaku teror adalah “solo karir”, tidak terkait dengan kelompok atau komunitas ektremis yang selama ini diburu aparat keamanan. Pelaku belajar merakit bom dari internet.

Peristiwa teror Medan ini telah membuka mata publik tentang isu bahaya self radicalization, seseorang yang menjadi radikal secara mandiri. Pada tahapan berikutnya orang tersebut berani melakukan aksi teror secara mandiri (leaderless).

Pada 20 Oktober 2016 teror kembali terjadi, kali ini di kota Tangerang. Teror kali ini lebih menantang dan bernyali karena menyerang target aparat kepolisian bermodal senjata tajam. Pelaku akhirnya tewas ditembak setelah berhasil melukai tiga polisi.

Berdasar pelacakan, pelaku bernama Sultan (22 tahun), yang diketahui pernah mengunjungi Nusakambangan menjenguk Oman Abdurrahman, terpidana terorisme ISIS di Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Sultan terdeteksi telah melakukan ikrar setia (bay’at) pada ISIS. Polisi menyebut Sultan terinfeksi paham ekstremisme ISIS sejak ia bergabung dengan Jamaah Ansharu Daulah.

Ansharu Daulah secara harfiah artinya “Pendukung Negara”, lazim di kalangan para simpatisan menyebut ISIS dengan “Daulah”. Singkatnya, simpatisan ISIS mengimani bahwa organisasinya tersebut sebagai sebuah negara, tepatnya Negara Islam (Daulah Islamiyah), dan mereka para simpatisan ini menyebut dirinya sendiri sebagai Anshar.

Teror yang dilakukan para “Ansharu Daulah” ini kembali lagi terjadi sebulan kemudian. 13 November 2016, teror bom menyasar Gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur. Bom meledak beberapa saat setelah jemaat melaksanakan ibadah Minggu. Tragedi ini sangat memilukan, 4 korban dari serangan pecundang ini semuanya adalah anak-anak, 1 di antaranya meninggal dunia saat mendapat perawatan di rumah sakit.

Faktanya adalah parade teror sepanjang tahun 2016 didominasi ektremis terkait ISIS. Mereka beraksi dengan berbagai varian teror, perpaduan bom bunuh diri dan senjata api seperti di Thamrin, bom bunuh diri seperti di Surakarta, perpaduan bom bunuh diri dan penikaman seperti di Medan, aksi penikaman seperti di Tangerang, atau bom molotov di Samarinda.

Sementara itu, temuan bom Majalengka dan “bom panci” menarik untuk dicermati. Ada gejala bahwa gerakan teror Indonesia kembali ke versi awal; mereka mempersiapkan operasi teror besar pada momentum yang tepat dan dengan target objek penting, seperti teror bom era 2000-an, dengan daya ledak tinggi.

Pendeknya, aksi terorisme yang terjadi di tahun mendatang masih terkait ISIS, apa pun jenis terornya dan nama kelompoknya.

@iqbal kholidi