Saturday, May 6, 2017

Intoleransi “Premanis Agama” Tidak Bisa Dihadapi dengan Diam


DUNIA HAWA - Apa yang terjadi sekarang bukan sekadar komodifikasi agama, tetapi sudah merupakan untuk islamisasi. Jika yang pertama mengacu hanya pada penggunaan agama sebagai instrument sebagai akumulasi ekonomi, maka yang kedua lebih dari itu. Aksi-aksi bela Islam sudah merupakan kegiatan politis yang mengandung visi dan ideologi tertentu.

Visi dan ideologi yang dimaksud adalah islam. Meski tidak lagi bertujuan untuk mendirikan Negara islam, aksi-aksi tersebut lahir dari suatu usaha yang sistematis untuk menciptakan suatu masyarakat islami. Dari luar kelihatannya tidak ada masalah dengan itu, tetapi dengan sedikit renungan saja kita bisa melihat masalahnya.

Salah satu masalahnya adalah karena masyarakat Islam yang dibayangkan tersebut hanyalah satu versi dari sekian banyak versi mengenai Islam itu sendiri. Namun keragaman yang sudah inheren dalam Islam sejak awal itu direduksi sedemikian rupa menjadi seolah-olah hanyalah ada satu jenis Islam. Dalam konteks Pilkada Jakarta baru-baru ini, misalnya, seakan-akan Islam yang benar adalah Islam yang rajin demo di Istaqlal. (Amin Mudzakkir)

Apa yang dituliskan oleh Amin, bagi saya adalah sederhana dan saya menyepakatinya, karena apa yang terjadi belakangan ini memang adalah sebuah “identitas”. Dan hal ini sudah saya paparkan beberapa bulan yang lalu dengan mengkaitkannya pada kelompok radikal yang begitu massive di Timur Tengah. “Religion and Politic”, keduanya memang tidak bisa saling menegasikan, namun bukan berarti dalam konteks bernegara, agama untuk mengintervensi politik, hingga dapat memunculkan sebuah “politik identitas” yang kemudian melahirkan “proxy”. Namun pada kenyataannya semua itu terjadi bahkan menjadi strategi sangar bagi Imperium barat sekaligus Neolib untuk menguasai politik-ekonomi dari Negara lain yang bagi mereka dapat menguntungkan.

Saat rezim Orba, ketika platform partai dan militer mulai dilihat tidak bisa lagi diandalkan sepenuhnya, maka isu SARA dan Primordial juga menjadi pilihan untuk melanggengkan dominasi. Bedanya pada saat ini, di era Orba yang memainkan politik identitas adalah yang memegang kekuasaan, dan sekarang yang melakukan yang mau merebut kekuasaan. Namun yang melakukannya saat ini adalah orang-orang yang memang pernah menjadi bagian dari Orba, jikapun pelakunya adalah orang-orang yang justru menentang orba pada saat itu, setidaknya saat ini mereka justru lebih keji dari yang pernah menjadi bagian dari ditaktor Soeharto yaitu mengkhianati perjuangan reformasi itu sendiri. Kemudian berkolaborasi untuk merebut kekuasaan saat ini yang dipimpin oleh Jokowi.

Yang paling mengkhawatirkan jika kelompok fundamental di Nusantara berhasil merebut kelompok tradisi dalam konteks agama. Dan hal ini tentunya sangat diinginkan oleh kelompok fundamental, jika kita melihat ceramah dari imam besar FPI yaitu Rizieq pada saat di Madinah, jelas sekali betapa dia sangat mengharapkan untuk kelompok fundamentalis melebur menjadi satu dengan Islam tradisi. Bahkan dia (Rizieq) berani menyebutkan bahwa kedua kelompok ini sedang di adu domba.

Kita tentu tahu, yang dimaksud kelompok islam tradisi ini bisa kita sebut NU. Bagaimana mungkin kaum NU menyepakati kelompok fundamental yang menghendaki keseragaman ditengah Negara yang majemuk, apalagi sanggup saling mengkafirkan sesama yang merupakan watak dari wahabi salafi. Sementara salah satu yang melatar belakangi berdirinya NU adalah untuk menghalau / menghadang doktrin wahabi yang begitu massive pada saat itu hingga sampai sekarang.

Apa yang dikatakan Rizieq dalam ceramah di Madinah jelas menunjukkan bahwa mereka sedikit ketakutan, karena mereka tidak begitu leluasa untuk mencuci otak masyarakat agar mengikuti mereka menegakkan khilafah di Nusantara sebagaimana yang mereka yakini.

Saya pikir perlawanan yang dilakukan oleh NU untuk mengatakan “Tidak” pada kelompok fundamentalis, menjadi suatu keharusan untuk kita dukung.

Kenapa perlunya perlawanan?


Karena diluar sana, para capital borjuis rente oligarki, neolib serta imperial global terus membidik dan mengucapkan terimakasih pada “premanis agama”. Karena politik identitas adalah sebuah karya bagi mereka untuk menciptakan proxy, hingga dapat melakukan ekspansi dan menguasai politik-ekonomi sekaligus menciptakan watak liberal sekaligus konsumtif akut. 

Hemat saya, Presiden RI saat ini, perlu untuk mengambil sikap tegas untuk katakan “lawan” intoleren serta merangkul ulama tradisi yang sangat mencintai toleransi dan Islam yang sejuk, hal ini bukan saja untuk mempertahankan kemajemukan bangsa, jika tidak, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia tinggal menunggu waktu saja untuk dikembalikan ke era Orba. Dan 2019 bakal muncul kembali politik identitas yang mana rakyat kembali di cuci otaknya bahwa Islam yang benar adalah yang memilih Prabowo.

Jika terjadi, Indonesia kembali “Gawat Darurat”. Beberapa hari yang lalu Intoleransi sudah masuk dalam ruang pendidikan, dimana siswa tidak mau memilih pemimpin OSIS yang beda agama.

Apakah semua ini harus didiamkan saja, jika tidak “melawan” maka tidak menutup kemungkinan Indonesia tinggal menunggu waktu saja untuk dikuasai oleh “mereka”.

Banyak cara untuk “melawan”, yang paling sederhana untuk dilakukan adalah saling “menyadarkan”, mengatakan “Tidak” untuk khilafah, mempertahankan Pancasila dan UUD 45 serta semboyan Bhineka, melindungi anak-anak dan mengajarkan mereka culture Nusantara yang beragam serta tentang agama yang sejatinya membawa kedamaian bukan perpecahan, mencintai budaya Indonesia, dan seterusnya.

Disisi lain, Presiden RI saat ini, perlu untuk mengambil sikap tegas untuk katakan “lawan” intoleren dan kelompok fundamental. Tidak sedikit masyarakat yang akan mendukung.

@losa terjal


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment