Thursday, April 20, 2017

Surat Cinta untuk Nahdlatul Ulama


DUNIA HAWA - Pilgub DKI 2017 selesai sudah. Meski belum resmi, tetapi sudah bisa diprediksi bahwa Ahok kalah.

Saya selalu melihat suatu masalah secara global. Begitu juga apa yang terjadi di Jakarta. Apa yang terjadi di Jakarta, kita tahu bahwa ini bukan tentang Ahok vs Anies saja. Tetapi jauh lebih besar dari itu. Ini sebenarnya adalah pertarungan kelompok nasionalis vs radikal.

Saya setuju dengan pandangan Gus Tutut, Ketua DPP GP Anshor Jakarta, "Kami sangat menolak calon gubernur yang didukung Islam radikal dan Islam garis keras".

Meskipun pernyataan itu agak telat, karena baru diucapkan beberapa hari sebelum pemilihan, setidaknya saya bisa melihat NU -dalam hal ini Ansor- sudah bisa mengidentifikasi situasi.

Gerakan-gerakan Ansor di beberapa daerah seperti di Jatim dan Jateng dalam menghalau kelompok Islam garis keras adalah bukti bahwa NU sudah mulai menyadari ada yang salah di negeri ini.

Kalau kita melihat pola gerakan Islam garis keras, disana kita melihat kesamaan. Mereka tidak penting siapa calon pemimpin yang mereka dukung. Tetapi bisa dilihat bahwa mereka selalu ada di belakang calon pemimpin yang tidak berkarakter, lemah dan tidak tegas, kompromistis dan ambisius.

Pada calon pemimpin dengan model seperti itulah mereka berkembang biak karena mudah menungganginya.

Islam garis keras dengan baju HTI, FUI, FPI dan segala macam lainnya itu sebenarnya punya agenda tersendiri. Tujuan jangka panjangnya adalah KHILAFAH.

Tetapi mereka tahu bahwa mereka harus bisa menunggangi situasi dulu, sambil berkembang menyebarkan virusnya kemana-mana. Mereka harus menguasai pemerintahan, parlemen sampai elemen-elemen masyarakat yang tidak mengerti bagaimana agenda mereka sebenarnya.

Dan pada titik tertentu, disaat semuanya tepat, disaat mereka merasa sudah berhasil menguasai banyak wilayah, mereka akan membuka baju mereka.

Cara mereka bisa kita lihat dengan telanjang melalui peristiwa kampanye di Jakarta. Mereka menguasai masjid-masjid baik yang besar dan yang kecil, kelompok-kelompok pengajian, sampai sekolah mulai PAUD dan Universitas dengan menaikkan kebanggaan akan golongan.

Politisasi di semua lini -termasuk di masjid- sudah mewabah begitu kencang. Mereka bahkan berani memainkan ayat dan mayat untuk mencapai tujuannya.

Kemenangan mereka di Jakarta akan menjadi tolak ukur apa yang akan mereka lakukan juga di daerah-daerah selanjutnya dalam ajang pemilihan kepala daerah. Kita nanti akan banyak melihat model-model kampanye seperti di Jakarta, karena dengan begitu mereka memperoleh kemenangan yang nyata.

Mudah sebenarnya melihat mana yang benar dan mana yang salah. Dimana mereka berkumpul, dibalik sosok atau tokoh tertentu, disitulah sebenarnya letak masalah. Dari identifikasi awal ini sebenarnya -kita yang melawan ideologi mereka- harus berada pada posisi yang berseberangan, di lawan mereka.

Tidak mudah melawan mereka, tetapi mudah memancing keberadaan mereka. Pancing emosi mereka. Dan ketika kita dituding kafir, munafik dan sebagainya, berarti kita sudah berada pada posisi yang berseberangan dengan mereka.

Perang dengan mereka tidak perlu mengandalkan fisik karena itu yang mereka mau untuk memperkeruh suasana. Tetapi kita melawan dengan konstitusi, mendukung tokoh dan sosok yang dilawan mereka.

Karena itu, dalam setiap pemilihan kepala daerah selanjutnya, semoga kita bisa belajar dari peristiwa Jakarta. Dan NU -juga elemen-elemen di dalamnya seperti GP Ansor dan Banser- sudah mulai bisa mengidentifikasi diri harus kemana.

Tidak perlu bermain politik praktis, tetapi mendukung pemimpin yang tidak didukung kelompok intoleran adalah perjuangan yang sesungguhnya.

Rebutlah masjid-masjid yang dulu direbut mereka. Satukan barisan dalam satu komando dengan tujuan mempertahankan persatuan dan kesatuan negara. Negeri ini terlalu indah untuk harus diseragamkan dalam konsep khilafah.

NU adalah lapisan terakhir Indonesia yang masih berdiri gagah, meski sekarang di internalnya pun masih bergulat dengan kaum intoleran. Tetaplah moderat dan menjadi acuan bagi seluruh agama di Indonesia.

Karena Islam mayoritas sesungguhnya adalah NU dan bukan mereka..

Semoga secangkir kopi pahit yang tersuguh hari ini menyadarkan bahwa selalu ada makna dalam peristiwa yang diberikan Tuhan kepada kita.

Seruput.

@denny siregar


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment