Monday, April 24, 2017

Pilkada DKI : Kekalahan Calon Tunggal, Kemenangan Kotak Kosong


DUNIA HAWA -  Hal Pilkada DKI dengan hasilnya yang mengejutkan masih menarik untuk dibicarakan, dipergunjingkan, diperdebatkan. Kekalahan Ahok yang antara terduga dan tak terduga memang benar-benar menghentak, memukul nurani, dan menghempaskan jiwa yang waras.

Tunggu, ini bukan soal belum bisa move on. Saya orang Jogja, jadi tidak perlu move on. Ini seperti menonton pertandingan antara Belanda dan Brazil. Mungkin saya menjagoi Belanda, tapi siapa pun yang menang, untuk saya warga Indonesia tidak banyak pengaruhnya. Tapi tunggu juga. Pilkada DKI beda dengan pertandingan bola. Pertandingan bola, siapa pun yang menang, semua senang, semua terhibur. Mungkin pendukung yang kalah kecewa, tapi dua tiga hari kemudian sudah bisa move on dan kembali ke kehidupan normalnya. Karena itu hanya soal bola.

Tapi Pilkada DKI, lain. Kekalahan salah satu paslon dan kemenangan paslon lainnya, setidaknya untuk pilkada kali ini, akan sangat mempengaruhi kemajuan Jakarta dan kesejahteraan warganya. Ini yang membuat saya miris. Terlebih, proses  menuju kemenangan disinyalir, diduga dan disaksikan tidak sebersih dan se-ksatria yang diharapkan. Isu yang diangkat untuk menggenjot perolehan suara bukannya sesuai kebutuhan masyarakat Jakarta, yaitu program yang menyejahterakan mereka, tetapi justru isu lain yang sesungguhnya tabu untuk digunakan masyarakat beradab, yaitu isu SARA, dalam hal ini khususnya agama. Tabu dan tidak patut, karena melibatkan iming-iming surga dan ancaman neraka untuk memilih pemimpin di dunia fana, yang tidak ada kaitannya dengan alam baka.

Teman saya, orang Jogja juga, punya pendapat menarik mengenai Pilkada DKI ini. Dalam pilkada serentak di Indonesia, terdapat total sembilan daerah (propinsi atau kabupaten/kotamadya) dengan kontestan tunggal. Para calon tunggal itu adalah Umar Zunaidi Hasibuan – Oki Doni Siregar (pasangan calon petahana di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara), Umar Ahmad – Fauzi Hasan (petahana di Tulang Bawang Barat, Lampung), Haryanto – Saiful Arifin (petahana di Pati, Jawa Tengah), Karolin Margret Natasa – Herculanus Heriadi (paslon tunggal Kabupaten Landak, Kalimantan Barat), Samsu Umar Abdul Samiun – La Bakry (petahana Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara), Tuasikal Abua – Martlatu Leleury (petahana di Maluku Tengah), Benhur Tomi Mano – Rustan Saru (petahana di Jayapura), Gabriel Asem – Mesak Metusala Yekwam (petahana Kabupaten Tambrauw, Papua Barat), Lamberthus Jitmau – Pahima Iskandar (petahana di Sorong, Papua Barat).

Mereka, para calon tunggal itu, meski bertanding tanpa lawan, tetap harus mengikuti seluruh proses pilkada termasuk pemilihan dan penghitungan suara. Dalam pemungutan suara, KPU menyediakan dua kotak, yaitu kotak untuk pemilih calon yang bersangkutan (atau yang setuju dengan calon tersebut), atau kotak kosong (untuk pemilih yang tidak setuju dengan dengan calon tersebut). Bila sang calon tunggal memperoleh lebih dari 50% suara (dari jumlah pemilih yang memberikan suaranya pada hari pemungutan suara, bukan jumlah pemilih dalam daftar DPT), ia terpilih menjadi gubernur/bupati/walikota untuk periode berikutnya. Jika kotak kosong yang menang, calon tunggal tersebut dapat maju lagi untuk periode pilkada berikutnya. Sementara itu tampuk pimpinan daerah akan diisi oleh penjabat yang ditunjuk pemerintah (mungkin semacam Plt).

Yang menarik adalah, masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan boleh “mengkampanyekan” (istilah halusnya sosialisasi) kotak kosong. Mereka boleh mengajak warga untuk memilih kotak kosong, alias tidak setuju dengan calon tunggal tersebut. Tetapi, kampanye untuk kotak kosong tidak bisa difasilitasi KPU karena memang aturan untuk itu belum ada.

Kembali ke teman saya yang orang Jogja tadi, menurutnya, Pilkada DKI yang mencapai dua putaran ini seperti pilkada dengan calon tunggal. Calon tunggalnya pasangan Ahok-Djarot. Bagi Jakarta dan warganya, ini adalah antara memilih Ahok-Djarot atau kotak kosong. Kenapa? Karena secara kinerja (hal yang paling dibutuhkan dari seorang pemimpin daerah), tidak ada yang bisa menandingi Ahok. Tidak Anies, tidak juga Agus. Dan anggapan atau dugaan ini diperkuat dan semakin diyakini jika kita menyimak serangkaian debat yang diadakan KPU maupun TV swasta, maupun dari kampanye ketiga pasangan calon itu.

Jadi, pilihannya antara yang setuju dan yang tidak setuju dengan Ahok. Yang menginginkan Ahok dan yang menolaknya.  Yang menyukai dan membencinya, karena berbagai alasan. Lalu bagaimana dengan serangkaian demo berkode tiga angka yang melibatkan ratusan juta orang (nggak sebanyak itu kaleee) berbaju atau berdaster putih itu? Itu adalah bagian dari sosialisasi kotak kosong. Mereka mengajak warga lebih untuk tidak memilih Ahok (bukan untuk memilih Anies) dalam pilkada kali ini. Juga dalam spanduk-spanduk provokatif dan ceramah-ceramah di rumah-rumah ibadah, yang laporannya sempat masuk ke Plt Sumarsono. Intinya adalah mengajak untuk “tidak memilih pemimpin non muslim, menolak penista agama”. Bahkan mereka jarang spesifik mengajak untuk memilih Anies. Alih-alih, mereka mengajak untuk memilih pemimpin muslim. Siapa pun, asalkan muslim. Dalam hal ini, KPU sudah bertindak benar dengan tidak menfasilitasi demo-demo itu, karena memang aturannya belum ada. Bahwa ketuanya memasang foto demo 212 sebagai profile whatsapp-nya, itu hanya sekedar simpati.

Lalu, siapa kira-kira yang memilih Ahok? Adalah mereka yang senang dengan Ahok, yang merasa puas dengan kinerjanya selama menjadi gubernur, yang mendapatkan manfaat langsung maupun tidak langsung dari kebijakan-kebijakan Ahok termasuk KJP, KJS, naik Transjakarta gratis, sungai bersih, banjir cuma hitungan jam sudah surut, kemacetan berkurang, infrastruktur, ruang terbuka yang nyaman, dan pelayanan oleh birokrasi terhadap masyarakat yang cepat dan bermutu tinggi, dan kaum berpikiran rasional yang setuju bahwa Jakarta harus mendapatkan yang terbaik, yang mereka lihat dan buktikan dalam diri Ahok.

Kemudian, siapa yang kira-kira memilih kotak kosong alias tidak setuju dengan Ahok? Adalah :

Para pembenci Ahok, termasuk pimpinan, anggota dan simpatisan ormas-ormas radikal penggerak demo tiga angka.Pemilih dari berbagai kalangan, dari pedagang Tanah Abang yang tidak bisa berjualan di trotoar sampai anggota depan yang tidak bisa menitipkan anggaran di APBD, dari sebagian penghuni bantaran sungai yang direlokasi namun tidak puas dengan kehidupannya di rumah susun sampai sebagian penguasa Kalijodo yang dimatikan jalan rezekinya, dan mungkin juga PNS yang tersingkir, terkena sanksi atau termutasi dalam sistem pemerintahan yang dikembangkan Ahok.Pemilih yang sebenarnya puas dengan kinerja Ahok, namun memilih kotak kosong entah karena takut, terintimidasi atau berhasil diyakinkan untuk tidak memilih pemimpin beda agama.Sebagian pengusaha yang kurang sreg dengan gaya kepemimpinan Ahok yang terlalu saklek, selalu sesuai aturan dan tidak bisa digoyahkan walau dengan iming-iming suap, di mana hal itu mungkin menyulitkan usaha mereka.Pemilih, baik karyawan biasa, wiraswastawan, pengusaha kecil, pengusaha besar atau pihak lain yang sebenarnya puas dengan kinerja Ahok, mendapatkan manfaat dari kebijakan-kebijakannya, dan sama sekali ti Kidak masalah dengan kepemimpinan Ahok selama ini, tetapi memilih kotak kosong dengan alasan ingin Jakarta aman, damai dan mereka bisa bekerja atau berusaha dengan lancar seperti biasanya. Mereka percaya atau berhasil dibuat percaya bahwa kalau Ahok menang, Jakarta akan rusuh, terjadi anarkhi, dan usaha atau keselamatan jiwa mereka terancam.Para pendukung maupun simpatisan kotak kosong lainnya.

Setelah proses kampanye yang penuh haru-biru dan pemungutan suara yang dikabarkan aman dan lancar, prediksi hasilnya sudah muncul. Sekitar 42% pemilik hak suara memilih Ahok, sisanya memilih kotak kosong. Jadi, kotak kosonglah yang menang. Sesuai aturan KPU, Ahok masih bisa maju lagi pada pilkada periode berikutnya (alias tahun 2018), dan untuk sementara DKI Jakarta dipimpin oleh Plt Sumarsono, atau orang lain yang ditunjuk Mendagri. Jadi selama setahun ini, Ahok dan tim suksesnya bisa mempersiapkan diri, memoles strategi kampanyenya, mencerdaskan dan mewaraskan pemilih, sehingga mereka dapat memilih dengan akal sehat, pikiran jernih dan hati nurani yang berseru nyaring. Tapi sekali lagi, ini hanya dalam angan-angan teman saya yang orang Jogja itu.

Bagaimana pun, Jakarta sudah memilih pemimpinnya. Selama lima tahun ke depan, propinsi ini akan dipimpin oleh kotak kosong pilihan warga. Jadi pemerintahan diprediksi akan berjalan dengan mode autopilot. Tapi tidak perlu dicemaskan, kita sudah punya pengalaman berjalan dengan mode autopilot ini selama sepuluh tahun, dan kita “baik-baik” saja.

Ya, kita akan selalu baik-baik saja, kadang tanpa tanda petik, kadang dengan tanda petik.

@sutan saja



Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment