Tuesday, April 25, 2017

Isu Agama dan Politik


DUNIA HAWA - Banyak yang menganalisis penyebab kekalahan Ahok-Djarot. Ada yang bilang Ahok harus kalah agar tidak ada demo terus menerus dan banyak alasan lain.

Saya salah satu yang kecewa. Bukan karena saya pendukung Ahok, apalagi Anies. Karena KTP saya bukan DKI, cuma saya sedang cari duit di DKI dan sedang cari peluang diluar DKI. Jakarta sudah terlalu padat. Biaya hidup tinggi. Tapi saya suka kejujuran dan keterbukaan Ahok selama jadi Gubernur. Jujur saja, di jaman sekarang kita belum pernah lihat Kepala Daerah seperti Ahok. Bukan hanya jujur, tapi dia berani membela mati-matian kepentingan rakyat daerah yang dipimpinnya.

Jadi, bukan Ahok secara pribadilah yang disukai pendukungnya. Tapi kebijakannyalah yang buat orang memilih dia. Karena orang seperti dia sudah langka di jaman hedonis ini. Saya yakin banyak juga pendukung Ahok yang kurang ‘sreg’ kalau Ahok lagi marah-marah. Tapi karena itu untuk kebaikan penduduk DKI juga orang yang cerdas tidak terlalu mempermasalahkannya. Yang penting dia kerja yang benar, itu dalam hati pemilihnya.
Bagaimana orang bisa begitu buta melihat karyanya, kepeduliannya dan empatinya?

Penyebab utama saya kecewa adalah ternyata isu agama yang dimainkan itu berhasil. Bayangkan, Jakarta yang kaum intelektualnya paling banyak, masih bisa terhasut isu agama. Seolah Pilgub DKI adalah persaingan Agama. Hei, jangan bilang karena Ahok Kristen. Pak Jokowi seorang muslim yang taat juga dituduh macam-macam saat Pilpres kemarin. Sebentar lagi Pilpres lagi. Isu agama pasti dimainkan lagi. Aduh, rasanya kok capek. Kenapa bangsa Indonesia tiba-tiba jadi gini?

Saya punya banyak teman dari berbagai agama bahkan yang tidak beragama. Saya juga punya teman yang menurut agama saya aliran dia sesat dan tinggal di rumah saya beberapa bulan. Saya berteman berdasarkan perilaku orangnya. Yang seagama dengan saya juga pernah menipu saya. Yang penting orangnya baik saya tak peduli agamanya apa. Toh dalam setiap agama ada yang baik dan ada yang jahat. Apa anda mau berteman atau ngebelain orang yang jahat hanya karena agama di KTP-nya sama dengan anda? Bukan maksud saya bilang Anies-Sandi jahat, tapi isu agama dalam kampanyenya kental sekali dan tidak bisa disangkal kalau mereka melakukan pembiaran. Padahal mereka berdua bukan rohaniawan atau pemuka agama dan bukan pula dari kalangan radikal. Tapi mereka menggunakan jasa kelompok intoleran. Karena kampanye-kampanye seperti ini banyak terjadi perpecahan di kalangan pendukung masing-masing. Dan mereka tidak perduli itu.

Tidak semua pengusaha Kristen di DKI mendukung Ahok. Contohnya Hary T. Dulu saya kagum sama dia. Dia kaya tapi masih suka buat acara untuk membantu orang miskin. Sekarang kok sepertinya sibuk berpolitik. Apa kurang kaya?

Saya yakin, ada juga orang Kristen yang memilih Kepala Daerah berdasarkan agama, suku atau marga. Mungkin tidak banyak karena memang sedikit kesempatan bagi non muslim yang bisa maju sebagai kandidat di daerah yang multi etnis dan multi agama. Jujur saja. Sponsor juga tidak berani. Cuma buang-buang uang pertimbangan mereka. Ahok saja digituin. Dalam Pilkada DKI kali ini kebetulan saja Ahok bersih. Jadi bagi umat Kristen yang memilih berdasarkan agama tidak kelihatan.

Padahal pendukung Anies-Sandi juga berasal dari multi etnis dan berbagai agama, jadi kenapa bisa isu agama itu ditelan bulat-bulat. Adakah kebijakan Ahok yang merugikan umat muslim? Bukankah yang dia lakukan justru sebaliknya? Jangan-jangan orang yang pernah diuntungkan oleh program Ahok-pun ada yang tidak pilih Ahok karena beda agama.

Saya yakin, mereka yang mendukung berdasarkan agama akan kecewa. Seorang Hamba Tuhan saja bisa mengecewakan, apalagi politikus. Tidak percaya? Cobalah tinggal dengan seorang Hamba Tuhan sebulan saja, maka anda akan melihat kekurangan-kekurangan dia. Kita harus berharap sesuai kapabilitas seseorang. Tidak mungkin kita berharap tukang cat bisa memasang lantai keramik dengan rapi.

Kalau yang dicari perbedaan terus sampai kapanpun perbedaan tetap ada. Pertama agama, lalu suku, setelah itu marga, kemudian asal-usul atau kampungnya dan terus seperti itu. Kenapa sih suka sekali mengkotak-kotakkan diri sendiri?

Sewaktu kuliah di luar negeri kami menyebut warga Indonesia itu ‘anak Indo’. Bukan suku atau asal-usulnya.
Tapi herannya ada juga teman saya yang dulu satu kota dengan saya di Australia tiba-tiba sekarang jadi fanatik sekali. Entah apa yang membuatnya begitu.

Media sosial yang dulu penuh canda sekarang penuh kebencian. Banyak teman yang berubah menjadi ahli-ahli agama. Padahal kalau dibilang seorang yang taat tidak juga. Karena seorang yang taat tentunya bijaksana, penuh belas kasihan dan berbagai macam sikap yang meneduhkan, bukan ganas dan suka menghakimi orang, apalagi nyinyir.

Sejak Pilpres 2014 isu agama terus dimainkan. Nyinyir tak berkesudahan. Lucunya, yang memainkan isu agama bukanlah mereka yang dikenal hidupnya lurus, peduli sesama dan taat dalam ibadahnya. Mereka tega menghasut dan menaburkan benih perpecahan. Kenapa mereka memainkan isu agama, karena mereka tahu itu mempan. Banyak yang mulutnya mangap saja disuapin apapun. Jika rakyat negeri ini masih banyak yang bisa dibutakan dengan permainan isu agama maka isu ini akan terus dipakai oleh orang-orang yang gila kekuasaan. Jangan pikir hanya non muslim yang dirugikan. Karena mereka pakai ukuran sendiri mana muslim yang benar menurut mereka. Kalau penganut agama lain sudah tidak dianggap oleh mereka kecuali menguntungkan mereka.

Banyak yang berada ditengah-tengah. Memilih diam walau tak setuju. Ada juga yang bimbang, mereka berpikir jangan-jangan propaganda yang dilancarkan kaum radikal itu benar, karena mereka sendiri malas cari tahu tentang kebenaran agamanya sendiri. Inilah jumlah terbesar. Istilah kerennya silent majority. Padahal jika kelompok ini sekarang diam akan lebih sulit lagi nanti bila kaum radikal sudah lebih besar. Jangan sampai kengerian yang biasa kita lihat di televisi terjadi di negara kita.

Entah sampai kapan isu agama masih laku di negeri ini. Kalau penduduk London masih kemakan isu agama Sadiq Khan tidak akan jadi walikota. Begitu juga Janet Mikhail dan Vera Baboun yang pernah jadi walikota di Ramallah dan Bethlehem, Palestina. Dan banyak lagi.

Jadi, dari mana sebenarnya sikap intoleran ini datang? Mereka yang menggaung-gaungkannya belum tentu radikal. Tapi mereka menungganginya demi kekuasaan dan demi uang. Buat beli rumah mewah, mobil mewah dan membayar orang-orang di sekelilingnya yang menyenangkannya. Kaum radikal mengambil kesempatan untuk mengumpulkan kekuatan. Mereka bukan bodoh. Mereka juga tau seperti Anies-Sandi itu juga didukung oleh orang-orang yang tak sejalan dengan mereka.

Memang pasti ada dari kaum intoleran yang tujuannya bukan uang, tapi kekuasaan. Karena mereka berniat memaksakan kehendaknya, seleranya, alirannya kepada orang-orang. Mereka tidak suka kepada Undang-Undang yang menjamin kebebasan orang memeluk keyakinannya sendiri. Dan mereka perlu kekuasaan untuk mewujudkannya. Mereka bukan mencari kehendak Tuhan. Mereka ingin berperan sebagai Tuhan.

Jika radikal, kenapa tidak radikal dalam kebaikan?

Radikallah dalam membantu orang-orang yang tak mampu.

Semudah itukah memecah bangsa ini? Yang toleran dibilang sesat. Kebaikan diabaikan karena tak sealiran.

Kita sudah pernah diadu domba jaman penjajahan dulu. Kita semua tau devide et impera.

Sebuta itukah?

@edward anugrah


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment