Wednesday, March 15, 2017

“Tamparan” Keras Ketika Kyai Said Aqil Siradj mengatakan bahwa…


DUNIA HAWA - Bermaksud melakukan kunjungan politik berharap untuk dengan mulus mendapatkan klaim dukungan ataupun seakan niat berkomunikasi menunjukkan kerangka kesantunan “berbasa-basi”dilakukan pasangan calon nomor urut tiga (Anies-Sandi).

Mendapatkan pesan yang jelas dan tegas dari Kyai Said Aqil Siradj bahwa NU  tidak boleh berpihak dan juga tidak boleh ikut dalam kegiatan kampanye cagub-cawagub.

Kedatangan pasangan calon yang jelas diartikan untuk kepentingan pencalonannya dalam kerja-kerja politik dengan harapan mendapat dukungan justru mendapat tamparan “wejangan” yang keras, bahwa kebiasaan Anies yang selalu berpenampilan santun mendatangi setiap orang untuk berkomunikasi politik seperti yang dilakukan ke “markas” FPI  bertemu dengan Rizieq sebagai ormas yang intoleransi dengan maksud mendapatkan dukungan dengan alasan “menaungi semua” didapat dengan dukungan yang nyata dari gerakan FPI yang jelas-jelas bukanlah partai politik namun aktif sekali melakukan pembelaan seakan jelas menjadi tim sukses pasangan calon ini.

Saat berdalih “dicukupkan” menjadi menteri yang jelas dipecat oleh Jokowi karena budaya kerja yang tertinggal dari kecepatan gerakan dibandingkan “teman”nya di kabinet dan berkawan dengan partai Islam yang dalam aktifitasnya melakukan radikalisasi massa nya dengan isu menggeser ideology pancasila menjadi keislaman dan membuktikan garis politik Anies “kanan kiri oke oce” yang penting berkuasa, seperti dalam suatu kesempatan dia mengatakan yang penting berkuasa dahulu, bagaimana bisa menjadi pemimpin jika tidak memiliki kekuasaan.

Pernyataan yang sesaat bisa dibenarkan, namun jika direnungkan ternyata membuktikan “kehausannya” terhadap kekuasaan.

“Tamparan” keras ketika Kyiai Said Aqil Siradj mengatakan bahwa “….membangun Islam yang bermartabatlah, bukan Islam yang abal-abal, yang emosional, Islam yang bermartabat dan berbudaya”. Dan saya yakin beliau mantan rektor, mantan menteri, intelektual (lulusan) Amerika….” Seakan dengan sangat jelas mengatakan bahwa Anies yang kerap tampil dengan model komunikasi yang menjenuhkan dengan kelihaiannya bernarasi, merangkai kata dan berbicara runut runtut sebagai penggambaran dari kalangan mana dia berasal. Kesantunan yang tidak dilengkapi dengan niat yang tulus sesuai dengan apa yang diucapkan akan menjadi bukti bahwa Anies dituduh “membual”

Kedatangan Anies dan Sanidaga hadir di PBNU bersama ketua umum partai Perindo Hary Tanoesoedibjo ingin mendapatkan doa restu dan nasehat dan mendapatkan “tamparan” keras terhadap perilaku selama ini yang membuahkan kesan negative masyarakat terhadap pasangan calon ini yang selalu saja membawa isu agama dalam kampanyenya yang menandakan sebagai islam “abal-abal” dan tidak bermartabat.

Ini adalah pertemuan politik yang mungkin saja tidak menyenangkan buat pasangan calon ini, biasanya mereka datang keberbagai golongan yang dengan senyum-senyum dan simbul kesantunan berhasil “membius” dengan kata-kata Jakarta yang menyatukan, dari preman, mantan napi dan koruptor yang penting Islam..pilihlah pemimpin Islam, sebagai senjata permainan politik pasangan calon Anies-Sandi. Mendapatkan respon yang tegas dan jelas bahwa ketika memainkan isu agama, spanduk menolak jenasah yang keluarga atau dia mendukung Ahok-Djarot, memobilisasi masyarakat yang katanya mempersatukan namun golongan tertentu saja kenyataannya, saat dia dan massa pendukungnya memainkan isu SARA yang ditangkap oleh masyarakat dimana dampaknya terasa sekali perpecahan akibat dari permainan politik yang berbau agama ini.

Sebutan yang pantas terlontar saat kunjungan ini”…..membangun Islam yang moderat, yang bermartabat dan bukan Islam yang abal-abal yang emosional….”

Kedatangan ini bersama ketua umum partai Perindo Hary Tanoesoedibjo ketika berkunjung ke FPI mengapa tidak dilakukan Anies dengan jargonnya “Jakarta yang mempersatukan”, ajak HT saat ke FPI dan duduk dibarisan depan di dalam Mesjid saat Anies “memainkan “ orasi politiknya, hal ini tidak dilakukan oleh Anies.

Semakin tingginya tensi politik dan aktivitasnya serta  terbatasnya waktu yang singkat sehingga pilihan aksi “teror” yang cenderung dilakukan menjadi pilihan pasangan calon yang memang tidak mempunyai program yang masuk akal, dimengerti dan berguna untuk kebutuhan masyarakat.

Teror,fitnah-fitnah dan mobilisasi masa Islam radikal kerap dimainkan untuk memenangkan Pilkada DKI, pesan yang jelas bahwa membangun masyarakat  yang bermartabat, berbudaya dan tidak emosional adalah hal yang pantas dan harus dilakukan oleh orang hendak maju menjadi pemimpin di negara yang berbhineka ini.

@dudi akbar


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment